Mengejutkan! Pemkab Blitar Ternyata Wacanakan Festival Sound Horeg

Beritajatim.com


Fenomena sound horeg kembali mengemuka di Kabupaten Blitar, tetapi kali ini bukan karena pelarangan atau razia, melainkan karena sikap Pemerintah Kabupaten Blitar yang tak terduga. 

Di saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram atas keberadaan sound horeg, Pemkab Blitar justru mengambil langkah mengejutkan: bukan melarang, tapi mengatur dan bahkan mewacanakan festival untuk sound system berdaya besar yang kerap mewarnai acara desa ini.

Langkah tersebut sontak mengundang sorotan. Banyak pihak heran, tak menyangka pemerintah daerah justru mengambil pendekatan berbeda. 

Padahal, selama ini sound horeg kerap dipandang sebelah mata karena dianggap mengganggu ketenangan, berisik, dan rentan disalahgunakan untuk kegiatan yang melanggar norma sosial.

Namun, Bupati Blitar Rijanto dan Wakil Bupati Beky Herdihansah ternyata punya pendekatan yang lain. Dalam pernyataannya, Bupati Rijanto menegaskan bahwa Pemkab sejak awal Maret 2025 telah menerbitkan Surat Edaran khusus untuk mengatur teknis penggunaan sound horeg

Aturan tersebut mencakup pembatasan jumlah subwoofer, pengawasan terhadap panitia penyelenggara acara, hingga pelarangan jenis tarian tertentu yang dianggap tak sesuai norma masyarakat lokal ([1]).

Yang paling menyita perhatian adalah pernyataan Bupati Rijanto soal kemungkinan menggelar festival dan lomba sound horeg secara resmi di ruang terbuka. 

“Bahkan dulu kita sempat punya wacana membuat festival sound horeg, tapi digelar di tempat lapang agar tidak mengganggu masyarakat,” ujar Rijanto dalam wawancara ([1]). 

Ia menambahkan, “Kita kaji sisi positifnya. Sound horeg ini juga menggerakkan ekonomi masyarakat, terutama pelaku UMKM. Banyak dana yang dihasilkan dan bisa digunakan… dari tarif parkir penonton,” jelasnya dalam pernyataan lain ([2]).

Festival ini bukan hanya akan menilai kekuatan suara atau tata audio, tetapi juga estetika tampilan, etika pertunjukan, dan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat. 

Pemerintah akan menolak bentuk pertunjukan yang tidak senonoh, tetapi tetap memberi ruang bagi kreativitas warga desa.

Langkah ini jelas berbeda dari daerah lain yang umumnya memilih pelarangan langsung. Tak heran bila publik merasa terkejut. Apalagi, keputusan ini bertentangan secara terbuka dengan fatwa MUI Jatim yang menyatakan bahwa sound horeg tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman karena bisa menimbulkan maksiat dan gangguan.

Meski begitu, Pemkab Blitar punya alasannya. Menurut Rijanto, sound horeg memberi dampak ekonomi yang tak bisa dipandang remeh. 

“Kalau dilihat dari sisi ekonomi, jelas ada nilai tambah. Pedagang makanan ramai, parkir tertata, masyarakat juga punya hiburan,” katanya ([3]).

Dari sisi sosial, ada pula nilai gotong royong dan kekompakan yang tumbuh. Persiapan acara sound horeg biasanya melibatkan kelompok RT, karang taruna, hingga UMKM lokal. 

“Jangan karena ada satu dua oknum penyalahgunaan, lalu kita larang semuanya. Itu tidak adil,” imbuhnya ([3]).

Wakil Bupati Beky Herdihansah juga menunjukkan dukungan penuh. Ia diketahui terlibat dalam gagasan awal festival bersama Rijanto. 

Dalam sejumlah pemberitaan disebutkan bahwa gagasan lomba sound horeg diinisiasi bersama oleh keduanya, sebagai bentuk pengelolaan budaya yang tumbuh di masyarakat desa ([4]).

Namun, tidak semua pihak menyambut positif langkah ini. Beberapa tokoh agama mempertanyakan arah kebijakan yang dianggap tak selaras dengan nilai keislaman. Mereka khawatir, keberpihakan Pemkab pada sound horeg akan memunculkan toleransi terhadap praktik yang tidak bermoral.

Di sisi lain, pihak kepolisian tetap memberi peringatan tegas. Kapolres Blitar AKBP Arif Fazlurrahman mengatakan, 

“Jika kegiatan dengan sound system itu mengganggu kenyamanan, merusak, atau bahkan mengganggu kesehatan masyarakat, tentu akan kami tindak lanjuti” ([1]). 

Ia juga menegaskan bahwa penyelenggara wajib mematuhi ketentuan teknis. 

“Kalau memang jamnya harus selesai jam 10 malam, ya harus selesai,” lanjutnya.

Sikap Pemkab Blitar menjadi sorotan karena membuka babak baru dalam penanganan budaya populer yang kontroversial. 

Alih-alih menempuh jalur pelarangan yang selama ini umum ditempuh, Pemkab memilih jalur pengelolaan partisipatif. 

Dalam praktiknya, ini merupakan pendekatan visioner yang tidak hanya menyentuh sisi ketertiban, tetapi juga aspek pemberdayaan ekonomi dan kreativitas masyarakat.

Sejarah kedekatan Rijanto-Beky dengan komunitas sound horeg juga tidak bisa dipisahkan. Dalam kampanye akbar pasangan ini di Lapangan Tawangsari, Garum pada November 2024 lalu, sound horeg menjadi ikon utama acara. 

Ribuan massa hadir, ekonomi kecil berdenyut, dan pesta rakyat berlangsung meriah. Keberpihakan itu kini terus terjaga dalam kebijakan mereka setelah terpilih.

Sikap adaptif Pemkab Blitar membuka ruang diskusi nasional: apakah budaya populer semacam sound horeg layak dikelola atau harus dilarang? Bagi Blitar, jawabannya sudah jelas: kelola dengan aturan, rangkul potensinya, dan awasi dampaknya.


DAFTAR SUMBER RESMI

  1. Bupati Blitar Soal Sound Horeg: Jaga Kenyamanan Warga Namun Tetap Kaji Dampak Positif
  2. Tanggapi Fatwa Haram MUI, Bupati Rijanto Justru Ungkap Wacana Festival Sound Horeg
  3. Sound Horeg Dinilai Picu UMKM Bergairah, Bupati Blitar: Jangan Langsung Dilarang
  4. Wacana Festival Sound Horeg Diinisiasi Rijanto dan Beky – Blitar Raya


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini