Kasus HIV Cukup Tinggi di Kabupaten Blitar, Ini Penjelasannya

Kasus HIV di Blitar Tren Meningkat, Tantangan Berat, dan Upaya Serius Pemerintah


Kasus HIV di Kabupaten Blitar menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir. 

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan setempat, jumlah penderita HIV terus bertambah tiap tahunnya, meskipun terdapat sedikit fluktuasi pada 2024. 

Sejak awal Januari hingga 19 Juni 2025 saja, sudah ditemukan 91 kasus baru. Sementara itu, sepanjang 2024 tercatat 190 kasus, terdiri dari 138 kasus baru—94 orang terdiagnosis HIV dan 44 lainnya sudah berkembang menjadi AIDS. 

Angka ini memang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencatat 199 kasus, namun penurunan itu belum cukup signifikan untuk menunjukkan tren menurun secara konsisten.

Kelompok yang paling terdampak oleh penyebaran HIV di Blitar didominasi oleh laki-laki. Dari 138 kasus baru pada tahun 2024, sebanyak 93 orang merupakan laki-laki dan 45 perempuan. 

Sebagian besar kasus ini berasal dari populasi umum (38%), tetapi kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) menyumbang 16% dari kasus, diikuti pelanggan pekerja seks komersial (14%). 

Hubungan seksual berisiko, terutama seks bebas tanpa pengaman, menjadi penyebab utama penyebaran virus ini, diikuti oleh penggunaan jarum suntik tidak steril dan penularan dari ibu ke anak.

Metode identifikasi kasus HIV di Blitar, khususnya pada kelompok LSL, dilakukan melalui pendekatan yang mengedepankan kerahasiaan dan kepercayaan. 

Prosedur biasanya dimulai dengan wawancara saat seseorang menjalani tes HIV. Petugas kesehatan akan menanyakan riwayat perilaku seksual dan kebiasaan berisiko lainnya untuk mengkategorikan individu ke dalam kelompok tertentu seperti LSL, pelanggan PSK, atau populasi umum. 

Untuk menjangkau komunitas berisiko tinggi seperti LSL, Dinas Kesehatan bekerja sama dengan sejumlah LSM, salah satunya LSM Mahameru. LSM ini membantu menjangkau dan mendampingi komunitas tersebut dengan pendekatan yang inklusif dan humanis.

Semua data yang dikumpulkan selama proses surveilans bersifat anonim dan hanya digunakan untuk keperluan epidemiologi. 

Tes HIV sendiri bersifat sukarela, dan sebagian besar kasus yang terdeteksi di Blitar berasal dari layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) di rumah sakit maupun Puskesmas. 

Klinik VCT menjadi sumber utama pelaporan kasus, karena hampir semua deteksi HIV dilakukan melalui layanan ini. 

Meski begitu, masih sangat mungkin bahwa banyak kasus HIV di Blitar belum terdeteksi, terutama karena sifat infeksi yang sering tidak menunjukkan gejala pada tahap awal dan karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan secara rutin.

Fenomena "dark number" atau jumlah kasus tersembunyi menjadi tantangan besar di Indonesia, termasuk di Blitar. 

Berdasarkan estimasi nasional, hanya sekitar 5–10% dari seluruh penderita HIV yang benar-benar terdiagnosis dan tercatat dalam data resmi. Ini berarti ada potensi besar orang dengan HIV yang tidak menyadari status kesehatannya dan berisiko menularkan virus secara tidak sengaja. 

Oleh sebab itu, tes rutin dan edukasi publik menjadi sangat penting dalam strategi pencegahan.

Secara medis, HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang sistem kekebalan tubuh, khususnya sel CD4 yang berperan penting dalam melawan infeksi. 

Jika tidak diobati, HIV akan berkembang menjadi AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), kondisi di mana sistem kekebalan sangat lemah hingga rentan terhadap infeksi serius dan kanker. 

HIV ditularkan melalui kontak cairan tubuh, terutama saat hubungan seksual tanpa pengaman, penggunaan jarum suntik bergantian, transfusi darah yang tidak aman, atau dari ibu ke anak selama kehamilan, persalinan, dan menyusui. 

HIV tidak bisa menular melalui udara, air liur, keringat, sentuhan, atau gigitan nyamuk.

Infeksi HIV memiliki tiga tahap utama. Pertama adalah tahap infeksi akut yang terjadi 2–4 minggu setelah seseorang terinfeksi, dengan gejala mirip flu seperti demam, nyeri otot, sariawan, atau ruam. 

Banyak penderita yang tidak menyadari gejala ini dan menganggapnya sebagai penyakit ringan. 

Tahap kedua adalah fase laten, di mana virus tetap aktif dalam tubuh tetapi tidak menimbulkan gejala. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun, bahkan lebih dari satu dekade. 

Tahap ketiga adalah AIDS, ketika sistem kekebalan tubuh sangat lemah dan penderita mulai mengalami infeksi berat, penurunan berat badan drastis, dan komplikasi lain.

Menanggapi situasi ini, Pemerintah Kabupaten Blitar melalui Dinas Kesehatan telah menggencarkan berbagai program penanggulangan. 

Salah satu pencapaian penting adalah bahwa 90% dari penderita HIV di wilayah ini sudah menjalani pengobatan secara rutin di fasilitas kesehatan. 

Selain itu, pemerintah juga bekerja sama dengan berbagai LSM, tokoh masyarakat, dan komunitas untuk melakukan edukasi, penyuluhan, serta menyediakan akses pemeriksaan dan obat-obatan.

Salah satu bentuk edukasi yang dilakukan adalah kampanye penggunaan kondom dalam hubungan seksual yang berisiko, serta promosi pemeriksaan HIV secara rutin. 

Pemerintah juga berupaya mengurangi stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS yang selama ini menjadi penghalang utama dalam proses deteksi dan pengobatan. 

Penderita HIV sering kali mengalami diskriminasi yang menyebabkan mereka enggan untuk mencari bantuan medis atau terbuka mengenai statusnya.

Namun demikian, sejumlah tantangan besar masih harus dihadapi. Salah satunya adalah rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan tes secara rutin, terutama bagi mereka yang merasa sehat atau tidak mengalami gejala apa pun. 

Tantangan lainnya adalah perilaku masyarakat yang cenderung abai terhadap risiko penularan HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa pengaman atau berganti-ganti pasangan tanpa tes HIV.

Stigma sosial juga masih kuat terhadap penderita HIV, yang menyebabkan banyak orang menyembunyikan statusnya dan enggan menjalani pengobatan. 

Untuk itu, diperlukan kerja keras lintas sektor: dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat, hingga media massa untuk terus mengedukasi masyarakat dan menormalisasi tes HIV sebagai bagian dari perilaku hidup sehat.

Penting untuk disadari bahwa HIV bukan lagi penyakit yang mematikan jika dideteksi sejak dini dan diobati secara teratur. Dengan terapi antiretroviral (ARV), penderita HIV bisa menjalani hidup normal, produktif, bahkan berkeluarga. 

Pengobatan juga menurunkan risiko penularan HIV secara drastis, bahkan hingga mendekati nol jika virus berhasil ditekan hingga tidak terdeteksi.

Secara keseluruhan, kasus HIV di Blitar masih membutuhkan perhatian besar. Angka yang tinggi pada kelompok LSL dan pelanggan PSK menunjukkan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas dalam pencegahan. 

Pemeriksaan dini, pengobatan teratur, serta penghapusan stigma menjadi kunci utama untuk menekan penyebaran virus ini. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan, bukan tidak mungkin laju kasus HIV di Blitar dapat ditekan dan kualitas hidup para penderita dapat ditingkatkan. []

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini