Sejarah Uceng, Dari Masa Sulit Penjajahan Jepang hingga Ikon Kuliner Blitar
Sego (nasi) dengan lauk ikan uceng, lengkap dengan sambal tomat dan lalapan selada. |
Uceng, ikan kecil yang hidup di perairan sungai jernih, kini telah menjelma menjadi simbol kuliner khas Blitar.
Namun, siapa sangka, makanan sederhana ini berakar dari masa-masa kelam penjajahan Jepang?
Dalam artikel ini, kita akan menelusuri jejak sejarah sego uceng, mulai dari peranannya sebagai penyelamat pangan di masa krisis, hingga menjadi identitas lokal yang dibanggakan masyarakat Blitar.
Asal-Usul Sego Uceng, Makanan Rakyat Saat Masa Penjajahan Jepang
Uceng mulai dikenal luas dan dikonsumsi secara masif oleh masyarakat Blitar pada era pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945).
Kala itu, kondisi ekonomi Indonesia mengalami guncangan hebat. Pemerintah militer Jepang menerapkan kebijakan ekonomi perang, di mana seluruh sumber daya—termasuk pangan—difokuskan untuk mendukung kebutuhan militer Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Beberapa kebijakan yang memengaruhi pola konsumsi masyarakat antara lain:
- Sistem pengambilan paksa hasil bumi: Beras, gula, dan bahan makanan pokok disita untuk kebutuhan logistik militer Jepang. Rakyat kesulitan mendapatkan bahan makanan yang cukup.
- Romusha: Ribuan rakyat, termasuk petani, dijadikan tenaga kerja paksa (romusha), membuat produksi pertanian menurun drastis.
- Kelangkaan lauk-pauk: Daging, ikan laut besar, dan bahan pangan berkualitas menjadi langka dan mahal, hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang.
Dalam kondisi serba sulit ini, masyarakat Blitar dan sekitarnya mulai memanfaatkan sumber daya alam sekitar, terutama ikan kecil di sungai, salah satunya uceng.
Ikan ini berukuran mungil, namun mudah ditangkap dan kaya protein. Uceng pun menjadi alternatif lauk yang murah, praktis, dan bergizi.
Uceng banyak ditemui di sungai-sungai kecil, khususnya di sekitar area persawahan.
Dari Lauk Masa Sulit Menjadi Hidangan Favorit
Setelah Indonesia merdeka, kebiasaan makan uceng tidak serta-merta ditinggalkan. Justru, tradisi ini terus hidup karena masyarakat telah terbiasa mengolah dan menikmatinya.
Beberapa faktor yang membuat uceng terus digemari hingga kini:
- Rasa gurih dan tekstur renyah: Uceng goreng kering memiliki cita rasa khas yang disukai banyak orang, apalagi jika disajikan dengan nasi hangat dan sambal terasi.
- Mudah didapat dan diolah: Uceng banyak ditemukan di sungai-sungai Blitar dan sekitarnya. Pengolahannya pun sederhana, cukup dicuci bersih, dibumbui, lalu digoreng garing.
- Harga terjangkau: Karena tidak memerlukan biaya mahal untuk menangkap maupun memasaknya, uceng cocok sebagai lauk rakyat jelata maupun menu keluarga.
Dengan waktu, uceng tidak lagi dipandang sebagai makanan “masa susah”, melainkan telah naik kelas sebagai kuliner khas yang diburu para pecinta makanan lokal.
Warung Uceng dan Munculnya Ikon Kuliner Blitar
Popularitas uceng semakin melonjak sejak munculnya warung-warung makan yang menyajikan menu uceng secara khusus. Salah satu pelopor warung uceng yang legendaris adalah Warung Sukaria Joko Mulyo di Babadan, Wlingi, Blitar. Berdiri sejak tahun 1977, warung ini menjadi pionir yang memperkenalkan berbagai olahan uceng, mulai dari uceng goreng renyah, peyek uceng, hingga lalapan uceng.
Kesuksesan warung tersebut memicu munculnya banyak warung sejenis di wilayah Blitar. Menu “sego uceng” (nasi dengan lauk uceng) kini mudah ditemukan, baik di warung pinggir jalan hingga restoran khas daerah. Bahkan, banyak wisatawan lokal hingga mancanegara yang penasaran ingin mencicipi kelezatan uceng saat berkunjung ke Blitar.
Uceng sebagai Identitas Budaya Lokal
Lebih dari sekadar kuliner, uceng kini menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Blitar. Nilai-nilai yang melekat pada uceng mencerminkan:
- Perjuangan hidup rakyat di masa sulit: Uceng adalah simbol daya tahan masyarakat menghadapi kelaparan dan penindasan di masa penjajahan.
- Kearifan lokal: Masyarakat memanfaatkan kekayaan alam sekitar tanpa harus bergantung pada pangan mahal.
- Kebanggaan daerah: Uceng menjadi ikon yang memperkaya narasi kuliner lokal Blitar, memperkuat daya tarik wisata berbasis budaya.
Pemerintah daerah dan komunitas pecinta kuliner lokal kini juga aktif mempromosikan uceng dalam berbagai festival makanan tradisional, bazar UMKM, hingga kampanye pelestarian sungai. Tujuannya adalah menjaga keberadaan ikan uceng di habitat alaminya, sekaligus menjadikan uceng sebagai aset wisata kuliner yang berkelanjutan.
***
Bagi kamu yang berkunjung ke Blitar, jangan lewatkan mencicipi sego uceng — bukan hanya soal rasa, tapi juga cerita di balik tiap suapan.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini