Blitar sering dijuluki sebagai kota pensiun. Sekilas terdengar seperti lelucon atau ungkapan satir, namun tahukah kamu bahwa sebutan ini sebenarnya punya akar sejarah yang kuat dan menarik?
Kota Blitar dan Status Gementee pada Zaman Hindia Belanda
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, Blitar sempat ditetapkan sebagai Gementee atau kota praja.
Gementee merupakan bentuk pemerintahan kota yang otonom—setara dengan kota administratif yang memiliki dewan sendiri dan otoritas terbatas di bawah pengawasan pemerintah kolonial.
Status ini diberikan untuk beberapa kota penting yang dijadikan pusat pemerintahan, pendidikan, hingga industrialisasi.
Blitar ditetapkan sebagai Gementee pada tahun 1906, bersama kota-kota lain seperti Surabaya, Malang, dan Kediri. Dengan status tersebut, Blitar mendapat prioritas pembangunan di berbagai sektor, termasuk infrastruktur, administrasi pemerintahan, dan sektor pendidikan.
Proyek Industrialisasi Hindia Belanda di Blitar
Penetapan Blitar sebagai Gementee bukan tanpa alasan. Pemerintah Hindia Belanda memiliki visi menjadikan Blitar sebagai salah satu pusat industrialisasi dan administratif di wilayah selatan Jawa Timur. Sejumlah proyek pembangunan pun dicanangkan:
- Pendirian lembaga-lembaga pendidikan kolonial, seperti sekolah menengah untuk bumiputra, ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO.
- Pengembangan sistem pemerintahan lokal, mulai dari pembentukan jabatan Asisten Residen, Controleur, hingga perangkat pengadilan dan keamanan.
- Pembangunan infrastruktur kota seperti jalan raya, kantor pemerintahan, stasiun kereta api, dan jaringan irigasi.
Karena proyek besar ini, banyak pejabat kolonial dan elite bumiputra ditempatkan di Blitar untuk menjalankan roda pemerintahan dan pendidikan. Kota ini pun tumbuh sebagai pusat intelektual dan administrasi, hingga dijuluki sebagai salah satu kota pendidikan di masa itu.
Letusan Gunung Kelud 1919, Titik Balik Gagalnya Proyek
Sayangnya, ambisi besar itu kandas. Pada tahun 1919, terjadi letusan dahsyat Gunung Kelud yang membawa dampak besar bagi kawasan Blitar dan sekitarnya.
Abu vulkanik, banjir lahar dingin, dan kerusakan infrastruktur membuat Blitar lumpuh secara ekonomi maupun administratif.
Proyek industrialisasi pun dihentikan. Banyak pejabat kolonial dan bumiputra dimutasi ke daerah lain, sebagian kembali ke tanah kelahiran mereka.
Meski begitu, banyak dari mereka yang menyimpan kenangan manis akan suasana Blitar yang tenang, sejuk, dan nyaman—terutama bagi mereka yang pernah tinggal atau bertugas di sana.
Blitar, Kota yang Dikenang Saat Masa Pensiun
Saat para pejabat dan tokoh-tokoh tersebut memasuki usia pensiun, tidak sedikit dari mereka memilih kembali dan menetap di Blitar. Faktor lingkungan yang bersahabat, biaya hidup rendah, dan suasana kota yang tidak terlalu bising membuat Blitar ideal untuk menghabiskan masa tua.
Lambat laun, fenomena ini menjadi hal umum—Blitar sebagai kota tujuan pensiun. Ungkapan ini bukanlah satire, melainkan refleksi atas sejarah panjang Blitar sebagai kota administratif dan pendidikan sejak era kolonial.
Warisan Sejarah yang Masih Terlihat Hari Ini
Hingga hari ini, jejak sejarah Blitar sebagai kota praja dan pusat pendidikan masih terasa:
- Bangunan kolonial seperti Kantor Residen Blitar, Stasiun Blitar, dan sekolah-sekolah tua masih berdiri kokoh.
- Blitar masih dikenal sebagai kota yang melahirkan banyak tokoh pendidikan, nasionalis, dan sastrawan.
- Jumlah pensiunan ASN, guru, dan tokoh masyarakat yang memilih menetap di Blitar cukup signifikan.
Jadi, ketika seseorang menyebut Blitar sebagai kota pensiun, itu bukan sekadar candaan. Sebutan itu merefleksikan perjalanan historis yang panjang—dimulai dari status Gementee, proyek industrialisasi Hindia Belanda, hingga peristiwa alam yang mengubah arah perkembangan kota.
Kini Blitar tetap hidup dengan karakter khasnya: tenang, teratur, dan penuh nostalgia. Bukan hanya untuk pensiunan, tetapi juga siapa saja yang mencari kedamaian dalam kehidupan sehari-hari.
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini