Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Sejarah Penyebaran dan Perkembangan Islam di Blitar


Selasa, 25 Agustus 2020, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Blitar menggelar bedah buku “Jejak-jejak Penyebaran Islam di Kota Blitar, Penelusuran Sisa-sisa Laskar Diponegoro" yang ditulis oleh Indah Iriani. Acara digelar di Gedung Balai Kota Kusumo Wicitro Kota Blitar.


Buku ini sangat penting, sebab berkaitan dengan sejarah yang harus diketahui generasi masa kini. Saya akan sedikit merangkum apa yang tertuang dalam buku, serta menambahkan beberapa hal terkait perkembangan dakwah Islam di Blitar raya.

Setidaknya, ada empat era yang sangat penting dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah yang sekarang, secara administratif, disebut Blitar. Baik kawasan kota maupun kabupaten.

Empat era penting tersebut adalah era Syeikh Subakir, Era Demak-Panjang, era Mataram Islam, dan era pasca Perang Jawa.


Era Syeikh Subakir (Abad ke-15)

Meski judulnya secara spesifik membatasi pengaruh dari Laskar Diponegoro, namun sedikit disinggung tentang Syekh Subakir atau Maulana Muhammad Al-Baqir, yang mulai berdakwah pada abad ke-15 Masehi.

Syekh Subakir menurut beberapa referensi, salah satunya dari situs historyofjava.com adalah utusan dari Sultan Muhammad 1 dari Kesultanan Turki Usmani (Ottoman) yang memimpin dari tahun 1413-1421 M.

Beberapa petilasannya diyakini ada di wilayah Kecamatan Nglegok, di desa Penataran. Jika benar, maka Islam sudah masuk ke Blitar jauh sebelum Laskar Diponegoro, yaitu sekitar tahun 1400-an.

Syekh Subakir bisa disebut adalah pengelana, banyak daerah Jawa dijelajahi dalam rangka penyebaran agama Islam. Salah satu kisahnya yang terkenal berada di Tidar, Magelang, Jawa Tengah.

Ada versi yang mengatakan bahwa Syekh Subakir sudah datang sejak abad ke-10. Sejarahwan NU, Agus Sunyoto, salah satu yang menguatkan versi ini.

Terlepas dari perbedaan versi, pada intinya jejak Syekh Subakir yang kini masih dirawat sebagai maqom/petilasan, menunjukkan jika dakwah Islam sudah masuk wilayah Blitar pada era tersebut.

Era Kerajaan Demak-Pajang (Abad ke-16)

Penyebaran Islam ke Blitar, dalam buku karya Indah Iriani tersebut, sudah mulai tahun 1541-1542 M. Kala itu ada penyebaran Islam di wilayah-wilayah aliran Sungai Brantas, yang dinamakan daerah Wirasaba. Namun kurang ada informasi yang memadahi.

Blitar termasuk kawasan yang dilewati sungai Brantas, karena itu bisa diasumsikan bahwa Blitar termasuk kawasan yang mendapatkan penyebaran Islam pada masa-masa tersebut.

Budayawan Blitar, Purwanto, memprediksi pada tahun 1500-an, pemeluk Islam di Blitar sudah mencapai 12,5%. Penambahan jumlah yang signifikan ini bisa dianggap pengaruh Kesultanan Demak dan Pajang, pasca melemahnya kekuasaan Majapahit apalagi setelah diserang oleh Girindrawardana dari Kediri.

Era Kesultanan Mataram Islam (Abad ke-18)

loading...
Nama Pangeran Aryo Blitar sangat dikenal di Blitar, bahkan ada peninggalan berupa petilasan/makam yang diyakini berkaitan dengan sosoknya. Indah Iriani menuliskan bahwa Aryo Blitar adalah putra Pakubuwana 1, yang merupakan anak dari Sultan Agung (Raja Keempat Mataram Islam). 

Aryo Blitar beragama Islam, ia memiliki gelar muslim Sultan Ibnu Mustofa. Nama itu gunakan saat mbalelo dari Amangkurat IV yang terlalu dekat dengan VOC.

Ia bersama saudaranya, Pangeran Purbaya, memberontak kepemimpinan Amangkurat IV. Mulanya ia mendirikan basis kekuatan di daerah Karta, bekas pusat kekuasaan Mataram Islam. Lalu berhasil ditumpas dan bergeser terus ke timur sampai wilayah Blitar.

Di Blitar, baik Pangeran Aryo Blitar maupun Pangeran Purbaya masih memiliki kerabat dari Pengeran Prabu, saudara ayahnya yang babat hutan Lodoyo. Salah satu buktinya adanya Jamasan gong Kyai Pradah atau Kyai Bicak.

Konon itu adalah pusaka milik Panembahan Senopati, Danang Sutawijaya, Raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Hal ini mungkin ada kaitannya kenapa daerah Lodaya kini masuk kecamatan yang disebut Sutojayan.

Meski tidak begitu dijelaskan apakah ada upaya penyebaran agama Islam, namun secara simbolik memuat unsur Islam, yaitu adanya ritual gong Kyai Pradah yang dimandikan pada bulan Maulid/12 Rabbiul Awal atau kelahiran kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ritual itu kini jadi agenda rutin serta bagian dari kekayaan budaya di Blitar.

Setidaknya, pada abad ke-18, Blitar sudah dihuni oleh tokoh atau kerabat dalam Kesultanan Mataram Islam, salah satunya di kawasan Lodoyo.

Era pasca Perang Jawa (abad ke-19)

Pengaruh hijrahnya Laskar Diponegoro, terutama pasca berakhirnya Perang Jawa (1825-1830) menyumbang cukup masif penyebaran Islam di wilayah Blitar.

Inilah yang mendapatkan porsi cukup banyak dalam buku karya Indah Iriani tersebut. Lalu, kenapa Blitar dipilih sebagai tempat hijrah?

Laskar Diponegoro adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro yang melawan Belanda. Selain Pangeran Diponegoro, ada sosok lain yang juga sangat anti Belanda, yaitu Raden Mas Said/Mangkunegara I atau yang berjuluk Pangeran Sambernyowo.

Adipati Srengat, R.Ng Mertokusumo adalah cucu Mangkunegara I. Artinya ada kaitan semangat ideologis antara trah atau pengikut Pangeran Diponegoro dengan trah Mangkunegara I.

Konon, karena ia melindungi dan bahkan memberi ruang pada Laskar Diponegoro, Adipati Srengat diberhentikan jabatannya oleh Belanda dan digantikan oleh Ronggo Hadinegoro, yang adalah Adipati Blitar.

Kadipaten Srengat dilebur jadi satu dengan Kadipaten Blitar dan pusatnya dipindah ke Pakunden, yang sekarang di utara alun-alun, lokasi itu menggunakan nama Ronggo Hadinegoro.

Namun para Laskar Diponegoro sudah babat alas dan mendirikan pemukiman di sekitar Blitar. Itulah sejarah kenapa banyak daerah, di area Kecamatan Srengat, Ponggok, Undanawu, Wonodadi dan Sanankulon kini, sama dengan beberapa nama di daerah Sleman Yogyakarta.

Para Laskar yang menyebar ke berbagai daerah itu kemudian menjadi tokoh Islam setempat, mendirikan Mushola bahkan mendirikan Pondok Pesantren. Buku karya Indah Iriani menulis beberapa jejak penerus atau keturunan para Laskar Diponegoro tersebut, yang sangat penting diketahui. (Lebih lengkapnya bisa membaca buku tersebut).

Tablig H. Sudja' (abad ke-20)

Lahirnya Muhammadiyah pada 1912, turut mewarnai corak keberagamaan di Blitar. Salah satunya, lewat pengaruh H. Muhammad Sudja', murid KH. Ahmad Dahlan yang adalah pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta.

Sekitar tahun 1921, H. Sudja' bertablig khusus di wilayah Blitar dan tinggal di dusun Banjarejo, Bangsri, Kecamatan Nglegok.

Beberapa tokoh Blitar yang menjadi pendiri awal Muhammadiyah, sebelumnya sudah sering mengikuti tablig KH. Ahmad Dahlan di daerah Sumberpucung, Malang. Karena semangat itulah KH. Ahmad Dahlan mengutus H. Sudja' untuk ke Blitar.

Hadirnya Muhammadiyah di Blitar turut serta mewarnai dakwah Islam, yang hingga sekarang cukup eksis terutama di daerah pelosok seperti Selorejo, Doko, Ponggok hingga Bakung.

Ciri khas gerakan Muhammadiyah berbasis Amal Sosial pun juga ada di Blitar, yaitu lahirnya Rumah Sakit Aminah.

Itulah sekilas sejarah penyebaran Islam di Blitar, yang hingga kini sangat berkembang dan menjadi agama mayoritas di wilayah Blitar raya. []

Blitar, 30 Agustus 2020

Sumber bacaan :

1. Buku "Jejak-jejak Penyebaran Islam di Kota Blitar, Penelusuran Sisa-sisa Laskar Diponegoro" karya Indah Iriani.

2. Situs historyfojava.com.

3. Slide/Materi Ki Purwanto, panelis bedah buku karya Indah Iriani (poin 1).

4. Wikipedia

5. Buku "Kerajaan Islam di Jawa" karya H. d. Graaf

6. Buku "Menembus Benteng Tradisi, Sejarah Muhammadiyah Jawa Timur 1921-2004" terbitan PWM Jawa Timur.


Ditulis oleh Ahmad Fahrizal Aziz



Blogger dan Aktivis Literasi

Comments

  1. Tulisan yang sangat menarik.
    oh iya kak, Buku "Jejak-jejak Penyebaran Islam di Kota Blitar, Penelusuran Sisa-sisa Laskar Diponegoro" belinya dimana ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemaren dapat dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Kota Blitar mas, sepertinya dicetak terbatas

      Delete

Post a Comment

Tinggalkan jejak komentar di sini