Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Selepas Pembakaran Itu



|Rabu, 24 Oktober 2018
|Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Sampah pun sebaiknya tidak dibakar. Dipilah mana yang organik dan non organik. Sampah organik bisa dimanfaatkan menjadi pupuk kompos. Sampah non organik bisa didaur ulang, terutama plastik.

Sayangnya hal tersebut belum banyak dipahami masyarakat. Sampah organik seperti sisa sayuran, dedaunan, buah membusuk dan semacamnya bisa dipendam. Dipendamnya agak jauh dari sumur, agar tidak mencemari. Atau dibuang saja ke tanah, akan hancur sendiri, terurai, dan menyuburkan.

Sementara sampah plastik berbeda. Sulit diurai oleh tanah, bahkan bungkus snack atau shampo yang sekarang sudah tidak diproduksi lagi, masih kita temui utuh saat menggali. Dibakar pun juga akan mencemari lingkungan. Apalagi dibakarnya pagi hari, saat seharusnya kita menikmati udara segar.

Jika sampah saja sebaiknya tidak dibakar, apalagi buku. Banyak buku dibakar, terutama karena buku tersebut dianggap berbahaya. Bayangkan, buku saja bisa dianggap berbahaya. Padahal buku hanyalah sekumpulan kertas yang dijilid, yang lebih sering jadi hiasan di rak, meja, atau jadi peredam suara.

Kenapa juga misalkan membakar kaos dan topi berlogo palu arit. Karena berbahaya? Jelas tidak. Begitupun bendera. Toh hanya benang yang disulam, lalu disablon dengan tulisan atau simbol tertentu. Namun, coba dilihat dari sisi yang berbeda.

Pemberangusan adalah sebuah simbol, sebuah pesan. Buku-buku berbau "kiri" yang dibakar, menyimbolkan bahwa jangan macam-macam dengan ideologi atau pemikiran "kiri" tersebut, atau nanti akan diberangus.

Ada pesan untuk menampakkan kekuatan dan dominasi. Dalam perilaku itu, ada arogansi dan tirani. Maklum nan wajar jika itu dilakukan oleh negara, yang punya kuasa, yang berjalan atas hukum yang ditentukan. Negara memang punya kekuasaan, dan sekaligus hak untuk itu, terlepas kita mau sepakat atau tidak.

Lalu bagaimana jika pelakunya bukan negara? Jelas jadi masalah. Dalam era demokrasi, tidak ada mayoritas minoritas, tidak ada dominasi. Tidak boleh berlaku semena-mena. Maling ayam pun berhak mendapat perlakuan berdasar hukum yang ada, bukan digebukin hingga tewas.

Dalam simbol ada kebanggaan, ada nilai yang diyakini, ada sejarah yang diperjuangkan. Seperti bendera merah putih, yang selalu kita hormati. Sekalipun itu hanya benang yang disulam. Bagi warga negara lain, barangkali perilaku tersebut dianggap berlebihan.

Seperti bendera yang bertuliskan arab, bacaan syahadat, yang mungkin sering dipakai oleh kelompok ekstrem yang merasa paling beriman dari lainnya.

Apakah pembakaran itu sebagai sebuah pesan juga, atau hanya karena enggan untuk menyimpannya? Entahlah. []

Comments