Yang membaca tulisan ini, mungkin akan bertanya, sejak kapan doyan makan?
Padahal makan bukan soal doyan atau tidak, tapi soal kebutuhan. Mau tidak mau, kita harus makan untuk menyambung hidup.
Namun makanan memang dikreasi sedemikian rupa, sehingga memunculkan banyak variasinya. Meski makan sebagai kebutuhan, disatu sisi kita menyadari jika makan juga merupakan keinginan.
Periode Sekolah
Waktu sekolah, hampir tidak pernah saya memikirkan apa makanan favorit. Saat harus mengisi biodata, misalkan ada tugas membuat biodata diri, jawaban dari pertanyaan, apa makanan favorit? Hampir selalu susah saya jawab.
Waktu sekolah, hampir tidak pernah saya memikirkan apa makanan favorit. Saat harus mengisi biodata, misalkan ada tugas membuat biodata diri, jawaban dari pertanyaan, apa makanan favorit? Hampir selalu susah saya jawab.
Biasanya yang tahu jawaban itu adalah Ibu kita, yang biasanya menyediakan makanan di rumah. Kalau mau dibilang favorit, segala hal yang berbau daging sapi selalu menjadi favorit. Misal, sate kambing, soto babat, rawon, dll.
Di rumah, masak daging justru jarang. Yang lebih sering adalah masakan bersantan. Atau kadang sayur sop. Keunggulan masakan bersantan ialah, bisa untuk beberapa hari. Besoknya masih bisa dihangatkan. Itulah kenapa, banyak Ibu-ibu yang suka masakan bersantan.
Waktu SD, tiap kali berangkat sekolah bareng bapak, biasanya mampir warung dekat sekolah. Menunya hampir selalu sama : nasi, tempe, dan hati ayam yang digoreng. Kata bapak itu makanan favorit.
Tapi kata emak, makanan favorit saya adalah sayur sop yang isinya dominan wortel, kubis, makaroni, brokoli, kentang, dll.
Belakangan saya tahu, jika jawaban itu hanya kira-kira saja. Emak saya bilang begitu, karena makan sayur lebih baik dari segi kesehatan. Makanya, alternatif makanan di rumah, kalau tidak sayur bersantan, adalah sayur sop. Pokoknya serba sayur.
Periode Kuliah
Baru pas kuliah, karena tinggal di asrama dan kontrakan, saya mengira-ngira apa makanan favorit saya. Meski enak tidaknya suatu makanan kalau di warung, juga bergantung dengan harga.
Baru pas kuliah, karena tinggal di asrama dan kontrakan, saya mengira-ngira apa makanan favorit saya. Meski enak tidaknya suatu makanan kalau di warung, juga bergantung dengan harga.
Waktu tinggal di asrama, tiap sore saya dan teman asrama sering beli lalapan belakang kampus. Harganya masih terjangkau. Lalapan tahu dan tempe masih 3.500. Jika lagi bokek, biasanya kami memesan itu.
Di belakang kampus ada juga warung bambu, yang menjual lalapan namun dibakar dan diberi kecap. Saya baru tahu jika makanan yang diberi kecap lebih menggoda selera. Sebagian menyebutnya bumbu bali. Termasuk telur yang dikecapi sampai bewarna coklat.
Setelah pindah di kontrakan sumbersari selama dua tahun, saya langganan warung madura. Penjualnya biasa kami sebut Mak Duro. Tapi warung madura itu ada dua yang terkenal, ini adalah warung madura sumbersari Gg. 1.
Mak Duro memang ahli memasak. Hampir semua masakannya enak. Biasanya saya menambahkan kecap ketika marung disana. Beberapa menu yang saya favoritkan adalah rawon, ikan pari, dan lalapan mujahir yang sambalnya ditetesi jeruk nipis.
Setelah itu, pindah kontrakan ke kertoleksono, depan kampus. Disana ada warung khas Blitar. Maksudnya khas Blitar, ternyata penjualnya asli Blitar. Rantauan dari Blitar. Harganya memang sedikit mahal, tapi rasanya memang enak. Tidak ada menu khusus, kadang hanya menu-menu rumahan, layaknya warung makan ala anak kos.
Waktu rapat redaksi Majalah, saya hampir selalu mendapatkan tugas memesan konsumsi. Karena yang rapat biasanya pejabat kampus, maka biasanya nasi kotak, atau kalaupun dibungkus, menunya minimal masakan padang.
Ada yang pesan via telp, ada yang langsung ke warung. Untuk yang pesan antar, yang paling sering adalah makanan khas bali yang ada ayam betutunya, serta ayam penyet Surabaya.
Jika ke warung, lebih sering ke warung depan indomaret sumbersari gg. 1. Masakannya enak-enak, namun juru masaknya kurus sekali. Ternyata meski tiap hari dikelilingi makanan enak, tidak lantas membuat Ibu itu menjadi gemuk.
Ada juga warung prasmanan depan pintu gapura kertorahardjo, disana cap caynya enak sekali. Bahkan sampai pernah saya makan tanpa nasi. Setelah mengambil, langsung bayar di kasir.
Namun jika dirangkum, dari semua makanan yang pernah saya cicipi, mungkin soto daging dan rawon masih menjadi juaranya. []
26 April 2017
A Fahrizal Aziz
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini