Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Perjalanan Menulis (bag. 7)






“Ini leadnya berita, bukan opini,” ujar Bu Sirikit Syah setelah membaca paragraf pertama tulisan yang saya buat. Peserta writing camp memang ditugaskan menulis di tempat, setelah materi dari Bu Sirikit Syah berlangsung. Materinya adalah menulis opini.

Tulisan saya dibaca paling pertama, karena –kata Bu Sirikit—judulnya menarik. Saya membuat judul “Pemilu yang Memilukan”. Sayangnya, paragraf pertama justru lebih tepat disebut berita, ketimbang opini. Tidak ada isu yang saya angkat, hanya bersifat informasi.

Kata beliau, opini itu harus membidik isu tertentu. Ada sesuatu yang hendak kita kritisi. Karena saya menulis tentang pemilu yang memilukan, maka beri pancingan bahwa pemilu (dalam hal ini pemilu 2009) itu memilukan. Baru pada paragraf berikutnya dijelaskan dimana letak memilukannya. Karena opini, maka argumentasi harus disertai data dan fakta. Jangan sampai murni asumsi.

Data bisa digali dari hasil perhitungan KPU, tingkat partisipasi pemilih, juga kemungkinan adanya kecurangan, politik uang, dan hal-hal lain yang bisa menguatkan argumentasi penulis. Untuk itu pentingnya melihat data yang ada. Sumber lain yang bisa diambil adalah pemberitaan media. Bisa mengutip sebagian, termasuk nama media yang memberitakan.

Hari itu, saya pun mulai belajar bentuk tulisan lain, yaitu opini. Setelah sebelumnya belajar intens menulis berita, baik straightatau feature news. Disisi lain saya juga tengah tertarik untuk belajar sastra, terutama cerpen dan novel. Namun bukan berarti saya sudah begitu mahir menulis berita. Masih banyak kekurangan.

Bu Sirikit Syah termasuk sedikit dari sekian penulis berbakat yang bisa membuat berbagai bentuk tulisan. Biasanya kita hanya mengenal penulis dengan satu keahlian tertentu, misalkan sastrawan yang identik dengan menulis puisi, cerpen, sampai novel. Atau akademisi yang konon hanya bisa menulis karya-karya akademik.

Bu Sirikit Syah adalah paket komplit. Selain juga pernah sebagai Jurnalis tulis di Surabaya Post, editor The Brunei Times Brunei Darussalam, juga pernah menjadi reporter televisi, sampai menjadi koordinator liputan dan produser program berita di SCTV dan RCTI, ketika kedua stasiun televisi masih bersama-sama menjalankan program Seputar Indonesia.

Selain itu Bu Sirikit Syah juga menulis karya sastra, beberapa cerpennya pernah dimuat di koran nasional. Juga pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harga Perempuan (1997). Belum lagi tulisan lain yang berbetuk esai atau opini, termasuk pernah menjadi koresponden freelance untuk koran The Jakarta Post yang berbahasa Inggris itu.

Merupakan kesempatan yang berharga bisa mengikuti kelas menulis Bu Sirikit Syah. Meskipun nama “Sirikit” terdengar asing untuk nama orang Indonesia. Lebih familiar sebagai nama Thailand. Namun Sirikit ternyata nama asli beliau. Hernani Sirikit. Kemudian untuk kepentingan media, ditambah nama “Syah” dibelakangnya. Jadilah Sirikit Syah.

Sirikit sendiri ternyata adalah nama Ratu Thailand, Istri dari Raja Bhumibol Adulyadej yang meninggal akhir tahun 2016 lalu. Saat ini Ratu Sirikit berusia 84 tahun. Nama resminya adalah Somdej Phra Nangchao Sirikit Phra Boromarajininat. Konon Ayah Bu Sirikit Syah sangat mengagumi Ratu Sirikit, sampai dijadikan nama untuk anaknya.

Diluar dari kelas menulis tersebut, saya beberapa kali melihat Bu Sirikit Syah dalam Talk Show di televisi, terutama di JTV. Juga membaca tulisannya di media massa. Setelah mengikuti kelas menulis dari Bu Sirkit Syah, saya pun tertarik untuk mencoba semua bentuk tulisan.

Tahun 2009 itu, yang saya tahu masih bentuk berita, sedikit bentuk sastra dan opini. Belum mengenal esai, belum juga mengenal tulisan konten. Kemampuan mengolah diksi masih ala kadarnya, penguasaan kosa kata pun juga belum seberapa. Tulisan banyak dimuat media yang dikelola sendiri, seperti majalah dan buletin sekolah. Yang dimuat di koran, adalah tulisan bersama tim redaksi, bertajuk deteksi, juga kolom-kolom surat pembaca yang terbatas.

Dibandingkan pelajar SMA yang karyanya sudah dimuat di koran, majalah, tabloid lokal dan nasional, saya belum ada apa-apanya. Terutama Majalah Horison yang khusus membuka rubrik untuk pelajar. Bahkan sudah banyak pelajar SMP/MTs yang cerpen atau puisinya dimuat Horison. []

Blitar, 13 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

Comments