Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Surga





Gambaran surga selalu menarik. Tempat yang penuh kedamaian, segala hal yang kita butuhkan terpenuhi. Tidak ada masalah, kecemasan, sampai penderitaan. Makanya banyak yang menamai segala bentuk kenikmatan dengan padanan surga. Semisal, surga dunia.

Surga/sorga sendiri berasal dari bahasa sanskerta, svarga, yang berarti khayangan. Surga adalah salah satu tempat di akhirat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang berbuat kebajikan selama hidup. Hampir semua agama, terutama agama samawi memiliki ajaran demikian.

Dalam Islam sendiri lebih dikenal dengan kata Jannah, dengan berbagai nama dan tingkatannya. Mulai dari Darussalam, Darul Qarar, Darul Jalal, Jannatul Mawa’, Jannatul Khuldi, Jannatun Na’im, Jannatul Adn’, hingga Jannatul Firdaus.

Kenapa kita harus ke surga? Pertanyaan ini pernah muncul waktu saya masih kecil. Apalagi ketika ustad bercerita tentang sungai-sungai yang mengalirkan madu, susu, Khamr, dimana surga itu diibaratkan taman yang indah dimana buah-buahan tersedia, serta ada bidadari. Dalam QS. Yasin 55-58 dan QS. Ad-Dukhaan 51-55 digambarkan seperti apa surga tersebut.

Pertanyaan tersebut dampak dari penjelasan Ustad, yang konon segala kebutuhan (juga mungkin keinginan) manusia terpenuhi di surga. Ketika beranjak dewasa, kita pun lantas berfikir lagi, kenapa di surga masih ada keinginan? Masih ada kehendak? Keinginan untuk bersanding dengan bidadari, atau kehendak untuk menikmati susu, madu, khamr, dan buah-buahan?

Tapi ada Ustad lain yang memberikan penjelasan agak berbeda. Dunia dan surga itu sama. Bedanya, kalau di dunia orang harus bersusah payah untuk mendapatkan sesuatu, kalau di surga tidak. Semuanya sudah disediakan, tinggal dinikmati.

Penjelasan Ustad kedua memang lebih realistis dibandingkan Ustad pertama. Misalkan soal sungai yang mengalirkan madu, atau khamr yang diminum tidak memabukkan. Tentu tidak seperti negeri dongeng, dimana kita hanya membutuhkan gayung atau sedotan untuk bisa menikmatinya. Ustad kedua membuat fikirkan kita tetap berpijak pada bumi, meski masih penuh imajinasi.

Misalkan, kalau ibaratkan surga dan dunia itu sama. Berarti masih ada pasar, supermarket, showroom kendaraan, dll namun kita tidak perlu membayar jika ingin mendapatkannya. Itulah surga dalam imajinasi yang terbatas.

Tapi kenapa masih ada keinginan? Keinginan, terutama keinginan biologis itu melekat pada tubuh. Sementara ketika di akhirat, kita hanya berupa roh. Termasuk keinginan untuk makan, minum, dan berhubungan seksual, semuanya melekat pada kebutuhan biologis.

Saat saya mengajukan pertanyaan ini, mungkin akan banyak orang marah dan mengkritik. Karena sesungguhnya itu bukan wilayah manusia, fikiran manusia tidak bisa menjangkau. Tapi saya akan mengkritik balik, ketika ada orang yang seenaknya berbicara soal surga. Padahal kita juga sama-sama belum tahu.

Apakah surga itu sama seperti pemikiran kita sebagai manusia, yang penuh hasrat dan keinginan ini?

Bisakah kiranya, surga tidak selalu diartikan tempat? Inilah perenungan mendalam yang pernah saya ajukan. Jika sebagai manusia, kita terlanjur pragmatis dan transaksional. Kita senantiasa menimang-nimang kebaikan yang kita lakukan, atau ibadah yang kita perbuat dengan pahala dan surga. Seolah kenikmatan itu merupakan bayaran atas hasil.

Padahal kalau mau kita hitung, kita sudah dibayar dengan nikmat bahkan sejak kita belum melakukan apa-apa. Nikmat biologis misalkan, udara yang bisa kita hirup secara gratis, kesehatan yang memungkinkan kita melakukan apapun, suasana psikologis yang membuat kita bisa merasakan bahagia. Itu barangkali “surga dalam suasana”.

Pada posisi ini saya jadi teringat dengan Ibnu Arabi, yang membagi tiga tingkatan orang beribadah. Pertama, ibadahnya budak. Dimana ibadah dilakukan karena takut dosa. kedua, ibadahnya pedagang yang bersifat transaksional. Beribadah untuk mendapatkan imbalan pahala. Ketiga ibadahnya kaum sufi, dimana ibadah dilakukan sebagai kebutuhan spiritual.

Barangkali karena itupula sosok seperti Abu Nawas sampai mampu menciptakan syair Ila Ilas tulil. Dimana salah satu baitnya bebunyik, aku tak layak ke surga, namun juga tak mampu berada di neraka. Sebuah syair yang sangat reflektif dan penuh penghambaan. []

Blitar, 8 Februari 2017
A Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments