Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Produktifitas Intelektual Ahmad Syafii Maarif





Ahmad Syafii Maarif (ASM) merupakan salah satu Intelektual yang produktif di Indonesia. Rekam jejak pendidikannya terbilang mengagumkan, sekaligus terjal dan berliku. Meski kini batang usianya sudah diatas 80 tahun, namun setidaknya dua kali dalam seminggu, tulisannya muncul di rubrik resonansi Republika.
 
Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah acara
Selain menjadi kolomnis tetap di koran Republika, ASM juga telah menulis beberapa buku dan memberikan berbagai kuliah Umum di dalam maupun luar negeri. Buku-buku tersebut antara lain, Islam dan Masalah Kenegaraan (LP3ES), Dinamika Islam(Shalahudin Press), Percik-percik Pemikiran Iqbal, sampai Gilad Atzmon. Beberapa kumpulan tulisannya pun juga pernah ditetbitkan, antara lain berjudul Menerobos Kemelut dan Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia.

Meskipun begitu, jalan ASM untuk meraih pendidikan sangatlah berliku. Karena tak memiliki cukup biaya untuk kuliah, dia pun sempat beberapa kali berhenti untuk menyambung hidup, sampai akhirnya berhasil melanjutkan kuliah sarjana muda, dan lulus di usia 29 tahun.

Tekadnya untuk terus sekolah tidak padam, meskipun dirundung oleh kesulitan ekonomi, apalagi setelah menikah. Sampai kemudian ia berhasil melanjutkan studi doktoral di IKIP Yogya dan lulus tahun 1968, saat usianya sudah menginjak angka 33 tahun.

Meski sudah bekerja menjadi pegawai dan wartawan di Majalah Suara Muhammadiyah, insting ASM untuk melanjutkan studi pun terus berlanjut. Beberapa kursus singkat pernah dilakoninya, sampai kemudian berhasil mendapatkan beasiswa MA ke NIU (Northern Illinonis University), DeKalb, Illinonis, USA dalam bidang sejarah.

Namun kuliahnya hanya bertahan sampai semester dua karena harus kembali ke Padang menjemput anak dan istrinya. Kala itu anaknya sedang sakit, dan istrinya tidak sanggup merawat sendirian. Ada rasa trauma karena meninggalnya anak pertama.

Gagal saat kuliah di NIU ternyata tak menyurutkan niatnya untuk kuliah lagi. Sampai akhirnya ASM berhasil memperoleh beasiswa s2 ke Ohio University, dan melanjutkan Ph.D ke Chicago University dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.

ASM pun kembali ke Indonesia sekitar tahun 1993, disinilah produktifitas dan kiprahnya sebagai Intelektual di Indonesia semakin melejit. Selain rajin menulis, mengisi kuliah umum, dan menghadiri berbagai konferensi, ASM juga aktif di PP Muhammadiyah. Mulai dari Anggota Bid. Tabligh, Bendahara, Wakil Ketua, sampai Ketua Umum menggantikan Prof. Dr. Amien Rais.

Gagasannya dalam berbagai bidang pun mulai diperhitungkan, terutama perihal kebangsaan. Sampai kemudian ia ditunjuk sebagai DPA (Dewan Pertimbangan Agung) Presiden era B.J Habibie, Gus Dur, dan Megawati. ASM dinilai tajam ketika mengkritik, namun demikian, intensitas pergaulannya begitu luas.

Selain sebagai tokoh Muhammadiyah, ASM juga akrab dengan tokoh lintas ideologi seperti NU. Kedekatannya dengan Gus Dur dan KH. Hasyim Muzadi menjadi salah satu keuntungan tersendiri ketika harus menyelesaikan pergolakan di akar rumput antara NU dan Muhammadiyah pasca dilengserkannya Gus Dur oleh MPR yang dipimpin Amien Rais.

Selain itu ASM juga dikenal akrab dengan tokoh lintas agama dan menyuarakan kerukunan antar Umat Beragama. Ia bersahabat dengan tokoh lintas Agama seperti Romo Magnis Suseno, Romo Beny Setia, tokoh Buddha Sudamek dan sederet tokoh lintas agama lainnya.

Karena kiprah dan gagasannya itupula yang membuat sutradara Damien Dematra membuat film yang diadaptasi dari novel “Si anak kampung” yang merupakan kisah kecil Ahmad Syafii Maarif. ASM pun menjadi segelintir tokoh yang di filmkan kisah hidupnya.

Selain menulis buku dalam kajian Islam dan Kebangsaan, juga disamping menulis opini ke berbagai koran di tanah air, ASM juga pernah menulis otobiografi yang berjudul Memoar Seorang Anak Kampung, yang sebelumnya berjudul Titik Titik kisar di Perjalananku. Pada buku inilah ASM menceritakan kisah hidupnya sendiri.

Meski sudah lama pensiun dari struktur kepegawaian, namun gagasan-gagasannya terus mengalir deras hingga kini. Setidaknya dua opini ia lahirkan setiap minggunya. Kini ASM banyak menyoroti tentang kondisi Umat Islam yang tak kunjung membaik. Perang yang terjadi di Timur Tengah, yang telah menelan banyak korban, membuatnya gelisah tentang nasib Umat Islam dikemudian hari. [red.s]

Comments