Di beberapa kampus Islam, atau pesantren, sering terdengar istilah “Intelektual Ulama” atau “Ulama Intelektual”. Terlepas dari definisi aslinya, secara faktual, keduanya bertumbuh dalam tradisi yang berbeda, termasuk persepsi masyarakat atas dua istilah ini. Bahkan kerap kali bertentangan.
Ulama’ sendiri dalam kamus bahasa Indonesia berarti orang yang berilmu, dalam tanda kurung agama. Sementara Ulama’ dalam definisi umum berarti orang-orang yang berilmu, tanpa direduksi hanya ilmu agama. Bahkan dalam kata Ulama’, selain ada unsur ilm’/ilmu, juga alam. Jadi tidak hanya ilmu sosial, tapi juga ilmu alam. Intinya orang berilmu itu disebut Ulama.
Dalam masyarakat kita, kalau mendengar istilah Ulama, yang terbersit difikiran adalah da’i yang suka ceramah. Menjadi da’i tentu harus berilmu, makanya orang berfikiran bahwa da’i itu adalah Ulama’, karena mereka memiliki keilmuan yang kemudian diceramahkan.
Padahal tidak sesederhana itu. Orang berilmu itu istilah lainnya adalah Ilmuwan. Ada perbedaan antara orang yang tahu banyak hal (berwawasan), dengan orang yang berilmu atau ilmuwan. Da’i mungkin tahu banyak hal, tapi mereka tidak bisa disebut ilmuwan. Ilmuwan itu orang yang menciptakan ilmu (atau persepsi atas suatu ilmu), tidak sekedar menyampaikan ilmu yang sudah ada, yang diciptakan atau dipersepsikan orang lain.
Ilmuwan itu lekat dengan dunia persepsi, nalar, dan eksperimentasi. Tidak hanya cut and pastedari teori atau pemikiran orang lain, namun juga menelaah untuk kemudian mengolahnya dengan berbagai pertimbangan baru. Ia mengkritisi, juga meneliti. Tidak semata menelannya mentah-mentah lalu disampaikan ke khalayak luas.
Sementara Ulama’ yang kita kenal sekarang, lebih menyampaikan perihal dogma, ajaran yang tidak boleh dibantah atau untuk sekedar dipertanyakan. Jadi, Ulama dalam realitas masyarakat kita semacam katalisator naskah.
Kita tentu tidak bisa memperbandingkan dengan Ulama’ kaliber sekelas Imam atau Ibnu. Para Imam dan Ibnu itu hampir semuanya memiliki karya pemikiran, karya Ilmiah. Imam Bukhori dengan kompilasi haditsnya yang masyhur, Imam Syafii dengan kitab-kitab Fiqihnya, sampai para Ibnu terkemuka seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, dll.
Maka jangan sembarangan menyebut seorang tokoh agama dengan sebutan Imam, apalagi Imam besar. Apa kiprahnya? Apa sumbangsih pemikirannya? Apa kitab atau buku yang pernah ditulisnya? Disini kita menyadari betapa makna Ulama’ sudah disederhanakan sedemikian rupa. Bahkan da’itaintment yang hanya berbekal hafalan sekilas, namun sering muncul di televisi saja bisa dengan mudah disebut Ulama’.
Lalu bagaimana dengan Intelektual? Dalam berbagai kamus, makna Intelektual hampir sama, hanya berbeda kalimat. Intelektual itu adalah orang yang memiliki kecerdasan tinggi. Memang ada persimpangan makna antara intelektual dan akademisi. Antonio Gramsci tidak membatasi arti intelektual, baginya setiap orang adalah intelektual dalam kadarnya masing-masing. Sementara akademisi adalah orang yang berkutat dalam aktivitas akademik, kalau akademik bisa dibatasi hanya orang-orang yang terlibat didalam pendidikan formal semata.
Dalam realitasnya, kerja intelektual dengan Ulama itu sedikit berbeda. Misal dalam hal agama, Ulama’ menjadikan doktrin agama sebagai sesuatu yang final dan harus dijalankan. Beda dengan Intelektual, yang menjadikan agama sebagai bagian dari obyek kajian, tentu disitu akan muncul banyak kritik. Sementara Ulama’ (dalam definisi masyarakat) adalah orang yang nyaris sama sekali tidak kritis terhadap agama/perilaku orang beragama.
Padahal kalau kita menggunakan definisi asalnya, Ulama’ dan Intelektual itu berdekatan. Hanya berbeda bahasa. Yang satu bahasa arab, yang satu bahasa serapan dari bahasa inggris. Lalu apa yang disebut Intelektual Ulama, atau Ulama Intelektual?
Lembaga pendidikan, baik Perguruan Tinggi Islam maupun Pesantren tersebut ingin tetap melahirkan generasi yang kritis dalam berfikir, namun tidak tercerabut dari sisi spiritual. Artinya proses berfikir yang terlampau kritis itu tidak membuatnya lantas meninggalkan ajaran agama, karena dianggap tidak masuk akal.
Dalam beberapa hal memang sulit. Karena ketika rasionalitas menguat, sementara banyak hal-hal fundamental dalam agama tidak selalu bisa dijawab, semisal urusan surga dan neraka, maka ia bisa berpindah haluan. Tugas Universitas memang mengajak mahasiswa agar berfikir secara mendalam, logis, kritis, analitis, dan sistematis. Sementara banyak hal dalam agama yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya, dan hanya bisa diyakini.
Maka jiwa Ulama’ dan Intelektual itu kemudian disatukan. Hal-hal yang bersifat spiritual-religius ditempatkan dalam hati (keyakinan), sementara hal-hal yang bersifat pemikiran, gagasan, dan realitas tetap dikaji secara kritis.
Intelektual Ulama/Ulama Intelektual adalah orang yang tetap menjalankan ajaran agama, namun disatu sisi tetap berani melayangkan kritik terhadap perilaku orang beragama, ormas keagamaan, atau tafsir keagamaan tertentu. []
14 Januari 2017
A Fahrizal Aziz
(*) Ketua Presidium Paguyuban Srengenge
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini