Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Menghayati Ulang Istilah dari “Banyak Harta”





Judul sebelumnya adalah “Menghayati Ulang Makna Kekayaan”, tapi nanti sebelum baca, orang akan membuat interpretasi begini : mungkin yang dimaksud kaya tidak selalu soal harta. Tapi dalam tulisan ini bidikannya adalah kaya secara hafiah, yaitu punya banyak harta. Makanya dibuatlah judul yang spesifik.

Di salah satu group WA yang saya ikuti, belakangan muncul lelang saham terbuka untuk sebuah food court. Satu lembarnya seharga 2 juta. Rata-rata membeli satu sampai lima lembar. Tapi ada beberapa orang yang membeli diatas 10 lembar, ada yang membeli sampai 60 lembar. Saya bayangkan andai food court itu kemudian berdiri, lalu pembagian keuntungannya disesuaikan dengan jumlah saham yang ditanam dalam usaha itu, berapa keuntungan yang didapat pemilik saham satu atau dua lembar itu tiap bulannya?

Saya memang kurang paham bisnis, tapi kalau mau total, untuk bisnis besar semacam itu, modal memang menjadi penting. Yang menanam saham hingga 60 lembar itu akan mengeluarkan modal besar, berarti 120 juta. Kapan balik modalnya? Bukan itu yang dicari, tapi usaha bisa jalan dan penanam modal itu dapat bagian keuntungan yang besar, karena saham yang ditanam besar. Artinya, bukan soal balik modal, tapi bagaimana uang bisa berkembang dan mengalir setiap bulannya dari unit usaha yang ia tanami saham tersebut. Itu totalitas pengusaha. Apa selalu ada uang cash? Tidak selalu, tapi ia punya keleluasaan lebih untuk mengakses dana di Bank.

Mereka yang hanya invest satu atau dua lembar itu, yang jumlahnya banyak, mungkin hanya akan menjadi skoci-skoci. Tidak mungkin mendapatkan bagian lebih besar dari yang invest 60 lembar. Artinya untuk balik modal saja mungkin butuh waktu, dan untuk mendapatkan income yang katakanlah signifikan, juga butuh waktu. Karena ini tergolong bisnis besar, yang menggunakan modal diatas 500 juta. Untuk pengusaha pemula, yang masih level UMKM, uang 2 sampai 4 juta itu daripada dijadikan invest usaha besar, maka lebih efisien untuk modal usaha kecil menengah.

Tapi fenomena itu menunjukkan jika pengusaha besar, dengan jaringan bisnis yang besar, juga berani bertaruh resiko yang besar juga. Misalkan sudah menanam saham sebesar 120 juta, lalu food court berdiri dan dijalankan, ternyata bangkrut. Target bulanannya tidak terpenuhi, atau sampai gulung tikar. Modal belum kembali tapi usaha sudah collapse.

Itulah barangkali kenapa kesenjangan kekayaan antar satu orang dengan orang lainnya begitu nampak. Kita bisa melihat orang dengan kerajaan bisnisnya, setelah diaudit kekayaannya mencapai 10 Triliun, sementara ada yang kekayaannya berkisar puluhan miliar, bahkan hanya ratusan juta. Rentang kesenjangannya begitu lebar. Orang yang kaya raya rata-rata adalah pengusaha, sementara yang kekayaannya berkisar miliaran, ada pejabat karir sampai akademisi.

Tapi apakah jumlah harta yang dimiliki oleh pengusaha itu, yang jumlahnya triliunan, selalu ready to use? Belum tentu. Bisa jadi itu aset tak bergerak yang sebagian besar diantaranya dijadikan jaminan untuk pinjaman skala besar. Prosedur pengambilan uang cash dengan jumlah miliaran tersebut juga tidak bisa serta merta. Belum lagi biaya operasional perusahaan-perusahaannya yang mahal itu, biaya gaji karyawan, pajak dan lain sebagainya. Begitulah orang kaya, banyak harta tapi belum tentu harta-harta itu ia kuasahi sepenuhnya, meski hak milik ada padanya.

Ini berbeda dengan non pengusaha. Mereka dapat gaji pokok, tunjangan, dsb. Tanpa harus memikirkan roda perusahaan. Mungkin kepemilikan harta bergerak dan tak bergeraknya tidak lebih besar dari para pengusaha, tapi mereka bisa memiliki akses sosial yang tak kalah dari mereka para pengusaha. Tidak terlilit hutang, tidak perlu memikirkan biaya operasional perusahaan, dll. Hanya kalah aset, tapi memiliki keleluasaan dalam penggunaan anggaran pribadi.

Tapi namanya pengusaha, ia mampu memutar anggaran yang dimiliki agar lebih produktif. Ia berani mengakses pinjaman besar di BANK. Berani mengambil resiko besar. Maka kita bisa melihat betapa fluktuatifnya jumlah kekayaan para konglomerat yang setiap tahunnya dimuat di Majalah Forbers. Satu tahun, kekayaan pengusaha bisa naik sampai dua kali lipat, tapi bisa turun drastis. Dulu ada pengusaha pribumi kita yang kekayaannya mencapai 54 Triliun, dan pernah terjun payung sampai angka 20 Triliun. 34 trilun bisa hilang dalam waktu kurang dari 3 tahun.

Dalam fikiran kita, orang banyak harta itu selalu hidup enak karena memiliki segalanya. Memiliki financial yang cukup. Padahal tidak juga. Meski ia bisa menghabiskan puluhan juta tiap bulannya, hanya untuk kesenangan pribadi seperti makan dan jalan-jalan, siapa tahu itu dari kartu kredit yang menunggak, yang berakhibat pada penyitaan salah satu asetnya.

Calon pejabat yang kebetulan pengusaha, setelah diaudit kekayaannya oleh KPK, hampir selalu, mereka yang kekayaannya tinggi, hutangnya juga tinggi. Sementara yang kekayaannya standart, hutangnya juga biasa bahkan tidak punya hutang sama sekali. Apalagi pejabat karir. Fluktuasi kekayaannya tidak tajam.

Dalam hal ini, istilah “banyak harta” itu menjadi relatif. Punya banyak rumah, villa, tanah luas, gedung-gedung, tapi semua itu tidak selalu ada pada kekuasaannya. Uang banyak bisa hilang dalam sekejab, bukan karena terkena bencana alam, atau dicuri, tapi karena pailit, karena pasar yang tidak bersahabat. Tapi punya rumah satu, kendaraan, tanah, dan saldo rekening, meski jumlahnya tidak signifikan, tapi dikuasahi penuh, karena tidak menjadi barang jaminan.

Jadi orang banyak harta itu memang bertaruh dengan itu semua. Kecuali disebuah kerajaan, menjadi anak raja, yang hidupnya pasti terjamin. Masalahnya, sistem pemerintahan di era modern semakin kompetitif. Negara-negara monarki yang penguasanya dari satu keluarga pun, juga harus kreatif dan menerapkan sistem enterpreneur agar negaranya tetap survive. Apalagi negara demokrasi dimana kepemilikan sebuah negara bersifat komunal? Orang bisa jatuh bangkrut kapan saja. Hak milik memang diakui, tapi tidak selalu bisa dikuasahi. Belum lagi kalau disita KPK. Habislah semua. (*)

Blitar, 23 September 2016
A Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments