Terlepas dari benar tidaknya pemberitaan media atas kisruhnya kongres HMI di Riau, sebenarnya ada hal penting yang patut menjadi perhatian publik, terutama Umat Islam, selain daripada baku hantam serta pengrusakan fasilitas umum yang mungkin saja didramatisir agar nampak bombastik. Satu pertanyaan yang substansial untuk Organisasi Mahasiswa Islam sebesar HMI ini adalah, bagaimana pola kaderisasi yang selama ini dijalankan?
Pertanyaan ini barangkali juga relevan untuk Organisasi lain yang senafas dengan HMI, yang lahir dan menjadi bagian penting dari semangat gerakan Mahasiswa era orde lama seperti PMII dan IMM. Tiga Organisasi Mahasiswa Islam ini berusia diatas 50 tahun. Usia yang semestinya sudah cukup matang.
Jika mengingat sejarah, HMI sendiri merupakan bagian dari sayap Ormas/Parpol Masyumi. Artinya, HMI merupakan anak kandung Masyumi, dimana Masyumi sendiri didirikan oleh tokoh-tokoh dari beberapa Ormas Islam yang sudah dahulu ada seperti NU dan Muhammadiyah.
Sederhananya, HMI merupakan wadah perjuangan atau kaderisasi Mahasiswa Islam yang dulu dipersiapkan untuk berjuang ke dalam Masyumi. Masyumi sendiri dibubarkan oleh Soekarno dengan beragam alasan. Sebelum pembubaran Masyumi, di internal pun sudah terjadi pergolakan. NU misalkan, membuat Organisasi sayap Mahasiswa sendiri yang disebut PMII, bahkan mendirikan Partai tersendiri.
Ada yang menarik antara HMI yang lahir 1947 dengan PMII yang lahir 1960. PMII menambahkan istilah “Indonesia” di belakangnya. Sementara HMI tidak. Jika kita ingat, Masyumi termasuk Partai yang kekeh agar Islam menjadi dasar negara, dan bukan Pancasila. Di era Orde Baru pun, sempat muncul istilah HMI MPO dan DIPO, lagi-lagi karena perbedaan asas tersebut.
Setelah Masyumi dibubarkan oleh rezim Orde Lama, HMI pun tidak ikut bubar atau dibubarkan, meski sempat ada isu pembubaran tersebut. Selain HMI, sayap Pelajar Islam Masyumi yaitu PII (Pelajar Islam Indonesia) juga tidak ikut bubar atau dibubarkan.
Maka ibarat anak, HMI sudah lama kehilangan induk. Sementara NU, sudah memiliki PMII bahkan Partai Politik sendiri. Meskipun PMII pun akhirnya lepas juga dalam deklarasi Murnajati tahun 1972.
Pasca dibubarkannya Masyumi, formasi kekuatan Islam memang tercerai berai. Ada spekulasi sejarah bahwa akhirnya Muhammadiyah pun harus mendirikan Organisasi sayap Muhammadiyah sendiri yaitu IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadyah). Di kalangan HMI, lahirnya IMM pun dinilai untuk mewadahi kader-kader Muhammadiyah di HMI jikalau HMI akhirnya dibubarkan Pemerintah sebagaimana Masyumi.
Tapi ternyata HMI tidak dibubarkan, sementara IMM tetap berdiri di tahun 1964. Pendiri awal IMM sendiri sebelumnya juga aktif di HMI. Akhirnya muncul tafsir sejarah begini :
Sebagian mahasiswa Muhammadiyah tidak sepakat dengan pendirian IMM karena toh akhirnya HMI tidak dibubarkan. Ada juga yang berpendapat bahwa adanya HMI sudah tidak memiliki afiliasi yang jelas karena Masyumi telah dibubarkan, artinya pendirian IMM tetap perlu. Mereka yang memiliki pemikiran kedua ini yang mungkin akhirnya mendirikan IMM, seperti Djazman Al Kindi yang dikenal sebagai pendiri dan juga Amien Rais yang kemudian dikenal sebagai tokoh Reformasi.
Pada perkembangannya, kader-kader HMI pun menyebar ke berbagai Ormas dan Parpol. Misalkan, Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung yang besar di Golkar. Hamzah Haz di PPP. Anas Urbaningrum di Demokrat. Dll. Itu baru dalam afiliasi Politik.
Dalam perkembangannya, terutama dalam ruang-ruang intelektualisme, muncul sosok seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menolak formalisasi Islam baik sebagai Partai ataupun dasar negara. Padahal, sosok sentral Masyumi dahulu (yang notabene adalah induk HMI) ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tokoh yang berkebalikan dengan Cak Nur yang juga alumnus HMI adalah Abu Bakar Baasyir yang ingin mendirikan negara Islam.
Meskipun Pemikiran Abu Bakar Baasyir sejalan dengan HMI atau Masyumi masa lampau, namun di internal HMI sendiri pemikiran Cak Nur lebih diterima bahkan menjadi ideologi tersendiri bagi HMI sekarang ini.
Namun setidaknya, sebagai Ormas yang besar, HMI memang bukan sekarang ini terdera konflik internal. Dulu sudah pernah, dan mungkin lebih mengerikan, adalah konflik yang memecah HMI menjadi dua. Tapi konflik tersebut jelas dasar argumentasinya. Perihal asas, dan itu efeknya bisa ke ideologi, gerakan, hingga hasil perkaderan. Yang MPO ingin agar asas HMI adalah Islam, sementara DIPO mengikuti aturan Pemerintah menggunakan asas Pancasila.
Sementara Pancasila sendiri, termasuk Soekarno sebagai penggagasnya, selalu dilekatkan pada gerakan kiri. Kajian-kajian tentang Soekarno sepanjang Orde Baru, lebih mengaitkannya dengan Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, ketimbang dengan Islam. Padahal Sorkarno adalah seorang Muslim, bahkan secara simbolik selalu menggunakan Peci.
Akhirnya muncul kekhawatiran jikalau asasnya Pancasila, HMI yang notabene ormas Islam ini akan menjelma menjadi gerakan kiri.
Sekalipun terjadi konflik, konflik tersebut memiliki dasar dan pandangan yang luas tentang masa depan organisasi tersebut berikut dengan proses perkaderan di dalamnya. Lalu apakah kisruh yang terjadi di Riau kemaren juga memiliki semangat yang sama, atau jangan-jangan hanya konflik kepentingan Politik jangka pendek karena massa pendukung calon dalam kongres?
Kita tidak bisa memungkiri bahwa HMI memiliki kekuatan Politik yang besar di Negara ini. kekuatan Politik itu nampak menggiurkan. Namun kita juga tidak boleh lupa bahwa diluar Politik, HMI punya tokoh-tokoh besar seperti Mahfud MD, Azyumardi Azra, Malik Fadjar, Komarudin Hidayat, Anies Baswedan, dll.
Jika konflik tersebut, kisruh tersebut, hanya didasarkan pada konflik kepentingan politik jangka pendek, maka apakah kiranya HMI mampu atau punya energi untuk menciptakan kader-kader sekaliber Mahfud MD atau Azyumardi Azra di masa mendatang? Atau HMI hanya akan melahirkan Politisi rabun ayam (meminjam istilah Buya Syafii Maarif) yang hanya melihat sesuatu dari kepentingan politik jangka pendek?
Pertanyaan tersebut barangkali juga relevan untuk ditanyakan kepada PMII yang kini mulai dekat kembali ke pangkuan NU. Sayangnya, Muktamar NU di Jombang beberapa waktu lalu menyisakan satu cerita tak sedap. Ricuh di Muktamar yang konon karena sistem AHWA. Konflik didasarkan pada hal-hal mekanistik, yang berujung pada misalkan, tidak masuknya Mantan ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi sebagai Anggota Rois Am.
Berita ricuhnya kongres HMI di Riau seolah menyambung pemberitaan negatif pasca Muktamar NU. Padahal keduanya sama-sama Ormas Islam yang besar, bahkan yang terbesar jika dihitung basis massanya.
IMM dan Muhammadiyah
Secara Politik, NU memang lebih jelas dan gamblang dalam menentukan sikapnya. Bahkan ketika terjadi ketegangan antara Pemerintah dan Masyumi, NU dengan cekatan membentuk Parpol dan sayap Organisasi Mahasiswa sendiri. Muhammadiyah, pada era itu, seolah melihat arah angin. Baru kemudian, di tahun-tahun berikutnya, Muhammadiyah secara tegas menyatakan diri tidak berpolitik secara praktis.
Hanya saja, lahirnya PAN di era reformasi, seolah menjadi jawaban tersendiri atas sikap politik warga Muhammadiyah. Dalam pembacaan publik, mau tidak mau, PAN adalah Muhammadiyah. Meskipun secara administratif-struktural, antara PAN dan Muhammadiyah sama sekali tak memiliki hubungan formal.
Itulah barangkali yang membuat Muhammadiyah tetap tenang ketika ada moment seperti Muktamar. Selain karena sistem yang sudah sedemikian tertata, warga Muhammadiyah –sekalipun pernah dan masih menjadi anggota aktif parpol—tidak membawa nuansa politis dalam arena Muktamar. Artinya, “Kemuhammadiyahan” warga Muhammadiyah masih cukup kuat ketimbang “Jiwa Politiknya”.
Salah satunya, ketika Dr. Haedar Nashir, M.Si terpilih sebagai ketua Umum dengan jalan Musyawarah. Pasca itu, tidak ada reaksi keras dari Muktamirin. Semua legowo. Meskipun sempat terdera perdebatan di tahun 2005 tentang isu Liberalisme di tubuh Muhammadiyah, dan media-media online banyak yang membakar emosi publik dengan propaganda-propaganda negatif bahwa di Muhammadiyah tersusupi virus-virus liberal, akan tetapi isu tersebut tidak begitu berkembang di internal Muhammadiyah sendiri.
Yang menarik, ketimbang Ormas Islam lain di Indonesia, Muhammadiyah termasuk yang paling tua, dan jika dihitung dari aset secara institusional, misalkan Jumlah Perguruan Tinggi, Muhammadiyah bisa dikatakan terbesar di Indonesia. Bahkan Jumlah perguruan tingginya lebih banyak dari PTAIN.
Untuk merawat “kekayaan internalnya” itu Muhammadiyah lebih baik memang tidak terlalu dekat dengan Penguasa. Selain itu, penguatan perkaderan juga harus ditata. Muhammadiyah punya IMM yang jelas-jelas secara syah dan legal merupakan Organisasi Otonom Muhammadiyah. Bedanya dengan IPM, Jika IMM semuanya Mahasiswa, jika IPM belum tentu semuanya Mahasiswa. Namun baik IPM dan IMM adalah sayap gerakan yang penting untuk masa depan Muhammadiyah.
Untuk bisa merawat lembaga-lembaga Pendidikan dan juga lembaga amal usaha berbasis profesi lain seperti Rumah Sakit, Muhammadiyah sangat membutuhkan peran kaum akademisi. Untuk jadi Guru mulai tingkat TK hingga SMA saja, butuh Sarjana. Apalagi untuk mengelola Perguruan Tinggi dan Rumah Sakit.
IMM, oleh karena mereka Mahasiswa, adalah aset penting untuk masa depan Muhammadiyah. Artinya, selain mereka belajar disiplin ilmu yang digeluti di Perguruan Tinggi, disatu sisi mereka dididik untuk menjadi kader Muhammadiyah, Paham Muhammadiyah dan ber-Muhammadiyah.
Karena itulah, ketimbang merawat organisasi lain, alangkah baiknya Muhammadiyah merawat anaknya sendiri, begitupun dengan kader IMM, harus ingat rumah besarnya di Muhammadiyah. Jangan tergoda oleh kepentingan politik jangka pendek berbasis parpol. Ber-politik adalah bagian dari ber-Muhammadiyah, bukan ber-Muhammadiyah untuk ber-Politik.
Pada akhirnya, Muhammadiyah tidak perlu menyebut diri sebagai Ormas toleran, damai, sejuk, mendidik, dakwah, dll. Cukup menunjukkan secara sikap. Jangan sampai berkelakar menyebut diri sebagai Islam damai namun justru di internalnya terjadi konflik.
Untuk itulah, relasi IMM dan Muhammadiyah di masa depan menjadi penting, dan bahkan sangat penting. (*)
Blitar, 8 Desember 2015
A Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini