Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Muhammadiyah dan Seni Budaya



Muhammadiyah dan Seni Budaya



Untuk mengetahui dengan jelas dakwah Muhammadiyah dalam bidang seni dan budaya , perlu dipahami terlebih dahulu “Apa itu seni dan apa itu budaya”. Banyak definisi yang telah dirumuskan mengenai seni dan budaya . Drs. Sidi gazalba ( 1977:20,1978:299-301 ) mendefinisikan seni adalah usaha untuk menciptakan bentuk – bentuk yang menyenangkan, kesenangan adalah salah satu naluri asasi atau kebutuhan manusia. Dengan demikian kesenian terkait dengan kemanusiaan. Jika kesenian terkait kemanusiaan, maka dapat ditemukan hubungan nya dengan islam. Islam diturunkan untuk memberi petunjuk dan menuntun manusia untuk mewujudkan keselamatan dan kesenangan dunia dan akhirat.

Sedangkan budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah, jamak dari kata Buddhi yang berarti ”budi atau akal”. Budaya berbeda dengan kebudayaan, yang pertama adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa ( mufrodi, 1997: 1). Jadi kebudayaan atau cultur (inggris) atau ats-Tsaqafah (arab) adalah cara berpikir dan merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan manusia yang membentuk kesatuan sosial ( masyarakat ) dalam suatu ruang dan waktu (op. Cit, 1978:166). 

Kebudayaan islam berubah bukan saja karena jarak giografis antar Indonesia dan Arabia, melainkan jarak cultural.
1.      Dari kebudayaan kota yang pluralistik ke kebudayaan desa yang homogen. Orang yang kaya di desa diharapkan akan sering mengadakan selamatan, kalau tidak akan ada sanksi sosial. Penduduk desa tidak membiarkan seseorang lebih dari yang lain. Di desa juga menghendaki supaya ada kesamaan dalam agama, adat istiadat, kebudayaan dan tingkah laku. Orang desa tidak akan kerasan tinggal berdekatan dengan orang lain yang berlainan agama, adat, kebudayaan dan tingkah laku.
2.      Dari kebudayaan pedagang yang mobile ke kebudayaan petani yang menetap. Kebudayaan petani  yang menetap sebenar nya lebih cocok untuk menggambarkan perkembangan Islam di pulau Jawa khususnya daerah pedalaman. Tradisi merantau yang dilestarikan oleh para pedagang, barangkali tradisi ini yang diteruskan dalam tabligh Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan dari kauman, Yogyakarta juga merupakan kenyataan sejarah yang mempengaruhi pembentukan kebudayaan Islam sampai sekarang. Gejala ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan perubahan itu.
3.      Dari sebuah tradisi besar (great tradision) ke tradisi kecil (little tradision). Keadaan ini mirip dengan masuknya Islam ke Indonesia. Pada saat itu Islam menjadi tradisi kecil ditengah-tengah Hinduisme, Budhisme yang juga menjadi tradisi kecil di Indonesia. Tradisi-tradisi kecil inilah yang bersaing untuk survie. Sementara tradisi besar ada di Timur Tengah, Islam dalam hal ini lebih beruntung dibandingkan dengan Hinduisme dan Budhisme karena ada ibadah Haji dan Umroh sehingga ada hubungan yang kontinyu. Pembaharuan Muhammadiyah, Pan Islamisme dan Rabithah Alam Islamy adalah hasil dari pertemuan antara tradisi kecil dengan tradisi besar.
4.      Dari sebuah civil society ke peasant society. Ini berarti bahwa kebudayaan Islam semula mengenal system kenegaraan, tetapi dibeberapa tempat khususnya Jawa, kebudayaan Islam kemudian mengalami dikotomi antara abangan dengan santri. Dalam kebudayaan Islam perangkat yang bernama Negara sudah ada, ilmu politik juga berkembang. Sebagian Islam yang dating di Indonesia memang berhasil mempertahankan civil society, tetapi sebagian lain terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi peasant society.

Kredo Muhammadiyah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits seolah-olah menunjukkan bahwa Muhammadiyah gerakan anti kebudayaan (Kuntowijoyo dalam Ma’ruf, 1995:2). Semboyan kembalikepada ajaran Islam yang otentik tidak hanya terbatas masalah ritual saja, melainkan yang lebih penting adalah sikap kita mengamalkan ajaran yang otentik itu dalam kehidupan yang bermasyarakat, berbangsa dan benegara. Memang Muhammadiyah menghindari acara-acara yang sangat popular seperti puji-pujian, khol dan bejanjen.

Pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammadiyah sebenarnya menghadapi konteks kehidupan beragama yang bercorak ganda, yaitu sinkretik dan tradisional. Berdirinya Muhammadiyah ditengah-tengah dua lingkungan itu. Di satu pihak Muhammadiyah menghadapi Islam-sinkretik yang diwakili oleh kebudayaan Jawa, dengan kraton dan golongan Priyayi sebagai pendukungnya. Sedangkan dipihak lain Muhammadiyah menghadapi Islam-tradisional yang tersebar didaerah pedesaan dengan kiai dan pesantren-pesantrennya.

Gagasan pembaharuan untuk memurnikan agama dari syirik, bid’ah dan khurafat, pada dasarnya merupakan rasionalisasi yang berhubungan dengan ide mengenai perubahan social dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Tampaknya Muhammadiyah memang mengidentifikasi diri untuk cita-cita semacam itu. Upaya yang dilakukan misalnya dengan melepaskan beban-beban cultural yang dianggap dapat menghambat kemajuan. Dari sini dapat dilihat bahwa Muhammadiyah berusaha membongkar budaya Islam-sinkretik dan Islam-tradisional sekaligus dengan menawarkan sikap keagamaan yang lebih baik.

Dalam konteks ini, maka Muhammadiyah sebagai gerakan puritanisme sering dituding sebagai kekuatan dibelakang menyusutnya symbol-simbol budaya, yang berusaha menghapuskan sumber-sumber budaya lama untuk digantikan dengan budaya baru. Simbol-simbol agama disesuaikan oleh Muhammadiyah. Misalnya kesenian, pendidikan, mitologi yang semuanya disesuaikan dengan perkembangan dan diganti yang baru. berjajen, salawatan dan pujian dihilangkan untuk diganti dengan sandiwara, nyanyian dan olah raga. Pesantren diganti sekolah. Sinoman diganti kepanduan. Tanpa penggantian symbol itu Islam tidak akan survive menghadapi perubahan. Hal ini dilakukan karena :
            a. Muhammadiyah betul-betul harus membersihkan diri dari syirik sekecil apapun sehingga sangat berhati-hati dengan symbol.
            b. Sebagai akibat modernisasi yang menginginkan efisiensi dan efektifitas sehingga banyak symbol lama diganti.

Kehati-hatian Muhammadiyah menggunakan symbol telah menghilangkan bebas cultural dari umat Islam. Segi positifnya, Islam menjadi agama yang sederhana, mudah dan praktis, kemajuan-kemajuan hanya mungkin terjadi bila belenggu masa lalu dilepaskan. Sedangkan segi negatifnya adalah Islam kehilangan kebudayaan, agama menjadi kering, simbol-simbol menyusut dan Islam menjadi miskin. Misalnya, berzanji, salawatan dan puji-pujian dari kebudayaan Islam-tradisional yang berisi puisi pujian untuk Nabi saw, yang biasa dinyanyikan secara kolektif sudah kehilangan sifat semi-sakralnya ketika mengalami desakralisasi, berubah menjadi teater, tarian, nyanyian atau puisi. Harus diakui bahwa kebudayaan yang demikian itu meskipun tidak jauh menyimpang dari ajaran-ajaran Islam bahkan bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits perlu dilestarikan walaupun dalam bentuk dan warna baru.

Setiap gerakan social, gerakan agama maupun politik selalu mendasarkan diri kepada pengertian dasarnya. Dr. Kuntowijoyo (1993:265-6) mengemukakan sebagai gerakan social keagamaan Muhammdiyah telah mampu menyelenggarakan kegiatan yang cukup bermamfaat untuk pembinaan individu maupun social masyarakat Islam di Indonesia. Pada tingkat individu, cita-cita pembentukan pribadi Muslim dengan kualifikasi moral dan akhlak Islam, terasa sangat khas. Gerakan membentuk keluarga sakinah, membentuk jamaah dan akhirnya membentuk ummah juga mendominasi gerakan Muhammdiyah. Tetapi dalam perspektif transformasi social (commuty development), Muhammadiyah belum memiliki konsep gerakan social yang jelas. 

Gerakan social yang ada selama ini masih terbatas pada pengelompokan-pengelompokan primordial berdasarkan gender (jenis kelamin) dan usia. Missalnya Aisyiyyah, Gerakan Pemuda Muhammdiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan sejenisnya. Yang terjadi kemudian adalah Muhammadiyah cenderung mengabaikan dan membiarkan kelompok-kelompok buruh, petani, pedagang,dan sebagainya. Ini merupakan kemunduran, sebab gerakan social yang mendasarkan diri pada gender dan usia ini justru bersifat anti-sosial dan cenderung mengabaikan adanya realitas stratifikasi dan diferensiasi social. Dengan demikian maka Muhammdiyah harus merumuskan kembali konsep gerakan socialnya. 

Ditinjau dari segi sejarah, Muhammadiyah sesungguhnya terbentuk dari budaya kampung. Saat Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta, kehidupan  kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi dengan hegemoni cultural keratonnya. Ini jelas berbeda bila dibandingkan latar belakang kelahiran NU yang berbasis kepada cultural agrasir-desa. Pada awal abad ke 20 terjadi perubahan-perubahan penting dalam masyarakat. Keberhasilan pendidikan kolonial secara parsial di masyarakat muncul lapisan sosial baru yaitu kaum priyayi yang bekerja dilembaga pendidikan pemerintah ataupun swasta. Kaum priyayi inilah yang mempelopori gerakan kebudayaan dengan semboyan kemajuan (the idea of progress). 

Cita-cita kemajuan dan gerakan kebudayaan rasional, tumbuh menjadi gerakan kebudayaan kritis menggantikan kebudayaan yang konformis. Misalnya ketika KH. Ahmad Dahlan menyatakan bahwa meminta berkah dari orang yang telah meninggal itu merupakan syirik, sebenarnya beliau sudah membebaskan masyarakatnya dari takhayul dan menggantikannya dengan tata cara agama yang lebih rasional. Gerakan keagamaan semacam ini memakai semboyan lain yaitu gerakan tajdid, tetapi yang dikerjakannya sebenarnya ialah gerakan kemajuan.

Dakwah adalah menggarami kehidupan umat manusia dengan nilai-nilai iman, Islam dan taqwa demi kebahagiaan hidup di akhirat (ma’arif, 1995:101). Selama denyut nadi manusia masih berlangsung maka merupakan suatu kewajiban menyampaikan pesan risalah kenabian dalam kondisi dan situasi yang bagiamanapun coraknya. Dari segi ini Muhammadiyah sangat puritan dalam bidang aqidah dan ibadah mahdlah, tetapi sangat modern dalam muamalah. Dengan kata lain modernisme berdasarkan rasionalitas yang terbuka. Apabila ini tidak dipahami akan terjadi pergeseran. (Red.S)

Blogger dan Aktivis Literasi

Comments