Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Perjalanan Menulis (bag. 28)



Berjumpa Aktivis LGBT dan Pengikut Syiah
 
suasana diskusi
Saya mendapatkan telepon dari Mas Tantowi Anwari, salah satu pegiat Sejuk (Serikat Jurnalistik Untuk Keberagaman), bahwa Workshop Jurnalisme Keberagaman akan digelar lima hari sebelum bulan puasa, di Hotel UMM Inn.

Saya memang mengirimkan opini berjudul “Tauhid Keberagaman” untuk diikutkan seleksi Workshop tersebut. Ternyata tulisan itu diterima, sehingga saya bisa menjadi peserta Workshop Jurnalisme Keberagaman, yang berlangsung 4-6 Juli 2013.

Istilah Jurnalisme Keberagaman masih begitu asing bagi saya. Ternyata Jurnalisme itu ada banyak cabangnya, begitu pun dengan bentuk tulisan berita. Ingin rasanya mengetahui lebih dalam apa itu Jurnalisme Keberagaman?

Ini kali kedua saya mengikuti workshop di UMM Inn. Dulunya hotel ini bernama University Inn, baru kemudian diakuisisi oleh UMM. Belakangan, UMM pun juga membeli taman hiburan Sengkaling dengan harga yang fantastis. Taman itu akan menjadi destinasi untuk keperluan Pendidikan.

Setahun sebelumnya, saya mengikuti workshop di tempat ini atas undangan kelembagaan. Pelaksananya Pusam (Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme). Hanya saja, Aula acara dan kamar yang saya dapat berbeda dengan Workshop kali ini.

Pusam diketuai oleh Prof. Dr. Syamsul Arifin, M.Si, yang sekaligus sebagai mediator konflik Sunni-Syiah di Sampang, Madura. Masih agak keterkaitan, karena salah satu peserta Workshop Jurnalisme Keberagaman adalah pengikut Syiah, selain itu juga ada aktivis LGBT.

***
Pembukaan dilakukan sebelum pembagian kamar. Dua orang memberikan sambutan, Pak Ahmad Djunaidi selaku Direktur Sejuk, dan satu perwakilan dari Kedubes Canada sebagai salah satu sponsor acara ini. Pak Ahmad Djunaidi adalah redaktur senior Koran The Jakarta Post.

Pada acara pembukaan, teman sekamar saya belum datang, masih dalam perjalanan dari Cirebon. Ia mewakili LPM IAIN Cirebon. Ternyata peserta workshop datang dari segala penjuru, ada dari Bengkulu, Jogja, Semarang, Jember, Bandung, dan Malang.

Saat menanti di lobi hotel, saya berbincang dengan cewek tomboy, yang ternyata juga peserta workshop. Ia kuliah di UGM, dan aktif di LPM Kampus itu. Sebaik mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia, agar logat Jawa saya tak begitu kentara. Setelah berbincang agak lama, baru tahu ternyata dia asli Srengat. Ternyata wong Blitar juga.

Sebagian besar peserta adalah Jurnalis Kampus. Selepas magrib, acara perdana dimulai, sayang pemakalah utama, Luthfi Assyaukanie berhalangan hadir. Padahal besar harapan saya bisa mengikuti materinya.

Luthfi Assyaukanie dikenal sebagai salah satu pemikir liberal di Indonesia. Selain sebagai akademisi, bersama Ulil Abshar Abdalla, ia mendirikan JIL (Jaringan Islam Liberal). JIL terkenal dengan gagasan-gagasan kontroversialnya. Namun saya penasaran, bagaimana rasanya jika bisa mengikuti kuliahnya langsung?

Ulil sendiri pernah mengisi kuliah Umum di UIN Malang, namun kala itu saya tidak bisa menghadiri. Adapun yang pernah saya ikuti, adalah kuliah umumnya Zuhairi Mizrawi, yang mainstrem berfikirnya tidak begitu jauh dengan Ulil Abshar.

***
Pada sesi diskusi workshop, saya sempat mengajukan pendapat. Terutama ketika menyoroti isu Syiah. Beberapa pengetahuan tentang Syiah pernah saya dapatkan, selain dari buku, juga dari mata kuliah Teologi Islam. Namun menurut saya, dosen kurang bersikap obyektif karena terlalu mendeskreditkan ajaran Syiah.

“Kenapa harus menerapkan taqiyah? Bukankah menyembunyikan identitas untuk masuk ke dalam identitas yang lain itu sama saja berbohong?” ujar saya kala itu.

Saya belum tau jika diantara peserta ada yang pengikut Syiah, dari Sampang pula. Ia pun diberikan kesempatan oleh moderator diskusi untuk menanggapi. Sambil berdiri, lelaki berhidung mancung yang karib disapa Zen itu menjelaskan dengan nada agak tinggi.

Dalam kondisi normal, nada tingginya itu sedikit bisa dimaklumi, karena ia orang Madura. Namun dalam konteks diskusi ini, nada tingginya mungkin saja bermakna lain. “Kami tidak mungkin menerapkan taqiyah, jika nyawa kami tidak terancam di lingkungan tersebut,” jelasnya.

Zen pun kemudian juga menjelaskan beberapa sekte dalam Syiah. Khusus di Sampang, adalah Syiah Ja’fariyah. Mungkin ini termasuk sekte Syiah yang jarang kita pelajari di materi kuliah, atau bahkan belum pernah sama sekali.

Selama ini yang kita tahu Syiah itu di Iran, yang dipimpin seorang Ayatollah. Ayatollah itu ibarat kepanjangan tangan Tuhan. Titahnya adalah fatwa yang tak boleh dilawan. Yang seperti itu disebutnya Syiah Imamiyah.

Diskusi berlanjut pada isu keberagaman lain, salah satunya isu gender. Ada beberapa aktivis gender yang hadir disitu, salah satu yang saya kenal adalah Siami Khadijah Maisaroh, dari Bengkulu.

Siami menyoroti minimnya kesadaran Pemerintah terhadap gender, terutama ketika di pengungsian. Menurutnya, perempuan itu memiliki kebutuhan khusus yang sama sekali berbeda dengan laki-laki. Termasuk dalam penyediaan bantuan untuk pengungsi.

“Selama ini kalau terjadi bencana, yang didistribusikan sebagian besar makanan dan pakaian layak, tapi kebutuhan perempuan jarang terfikirkan, misalkan pembalut, bayangkan bagaimana jika diantara mereka sedang haid, namun tidak tersedia pembalut?” ujarnya.

Saya baru menyadari jika aktivis gander berfikir begitu mendetail tentang persoalan hak-hak dasar. Sayangnya, ada yang sudah terlanjur anti sebelum mau membuka fikiran untuk mempelajarinya.

Bahkan untuk penyediaan fasilitas publik, seperti toilet umum. Kata salah seorang aktivis gender lain, toilet umum hanya dikhususkan untuk laki-laki. Saya bingung, apa maksudnya? Bukannya fungsi toilet itu sama? Dan sudah ada keterangan khusus toilet pria dan wanita?

“Memang dikhususkan, tapi banyak toilet perempuan yang masih menggunakan gayung. Jika misalkan gayung itu, karena suatu hal tidak tersedia, kan repot? Kalau cowok bisa kencing dimana saja,” jelasnya diiringi gelak tawa.

Terakhir, isu tentang LGBT. Diantara peserta ada dua aktivis LGBT. Mereka duduk bersebelahan. Salah satu dari mereka sudah mengidap HIV/Aids. Demi privasi, saya tidak bisa menuliskan namanya, atau sekedar menyebut asal daerahnya.

LGBT masuk kategori keberagaman dalam aspek orientasi seksual. Saya pribadi masih begitu awam dengan hal semacam ini, dan cenderung membatasi. Fikiran saya terlampau negatif tentang LGBT. LGBT itu singkatan dari Lesbian, Gay, Biseks, dan Transgender. Belakangan ditambah istilah LGBTQ atau LGBTIQ. Tapi saya belum belajar lebih soal penambahan istilah itu.

Dua peserta tersebut adalah seorang gay. Artinya, lelaki yang tertarik secara seksual kepada sesama lelaki. Itu kebalikan dengan Lesbian. Sementara Biseksual, adalah lelaki yang tertarik dengan perempuan dan lelaki. Misalkan, ada lelaki yang sudah memiliki Istri dan Anak, namun masih menjalin hubungan intim dengan pria lain.

Sementara Transgender adalah ketertarikan yang merubah penampilan, sampai fungsi seksualnya. Waria itu masuk transgender. Saya pernah ikut mewawancarai seorang waria, pernah juga mewawancarai “perempuan malam”, namun untuk gay, ini benar-benar hal baru.

“Saya sempat drop saat pertama tahu, keluarga pun akhirnya juga tahu,” jelasnya ketika bercerita awal mula terdiagnosa HIV/Aids. Air matanya nyaris tumpah. Seseorang yang sehati dengannya, berupaya menenangkan.

“Sekarang saya ingin hidup baru, dan membantu mereka yang mengalami hal seperti saya,” lanjutnya, diiringi tepuk tangan, yang merupakan tanda support dari peserta lain.

HIV/Aids belum memiliki obat penyembuhnya. Jika hasil tes positif, maka harus rutin mengontrol untuk mengukur CD4, yaitu sel yang bertugas melawan infeksi dalam darah. Pengobatan baru dilakukan jika CD4 dibawah angka 350. Ini akan sangat mengkhawatirkan jika orang tersebut memiliki riwayat penyakit lain, semisal hepatitis.

Mereka yang CD4 dibawah 350, harus lekas melakukan pengobatan. Pengobatan harus dilakukan secara disiplin, dosisnya harus sama setiap hari, termasuk jadwal mengkonsumsinya. Sekali tidak disiplin, beresiko pada kegagalan.

Ketika sudah masuk tahap pengobatan, tidak ada yang bisa memastikan apakah penderita HIV/Aids akan sembuh. Namun mereka harus disiplin mengkonsumsi obat untuk memperlambat perkembangan virus, pola hidup sehat pun harus dijalankan agar tidak mudah terserang penyakit. Karena penyakit sekecil apapun bisa berdampak besar bagi hidup dan matinya. []

Blitar, 2 April 2017
A Fahrizal Aziz

Comments