Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Iklan anti rokok yang kurang inspiratif



Belakangan ini gencar sekali iklan anti rokok dalam berbagai bentuk, baik slogan, reklame, hingga iklan visual di televisi. Sayangnya, Iklan anti rokok yang bertujuan mengkampanyekan gerakan anti merokok ini terkesan begitu reduktif dan terlalu biasa, dibandingkan iklan rokok itu sendiri.

Iklan rokok yang sering muncul di televisi, hampir semuanya tidak ada yang memvisualisasikan aktivitas merokok. Iklan-iklan tersebut, dikemas secara elegan dengan kontent dan slogan yang inspiratif. Misalkan, slogan “Pria punya selera” yang begitu lekat dibenak kita. Slogan itu secara tidak langsung membangun kesan dalam otak bawah sadar kita bahwa pria yang punya selera itu adalah yang mengkonsumsi rokok merk tertentu.

Beberapa iklan rokok yang muncul dalam berbagai bentuk, hampir semuanya seru disimak. Sementara, iklan anti rokok justru secara tidak langsung memunculkan visualisasi orang merokok dengan muatan-muatan berisi ancaman penyakit dll. Tentu orang akan menimbang-nimbang juga, setidaknya, melalui iklan yang ditampilkan.

Jika ibarat duel, iklan anti rokok tentu kurang begitu apple to apple dengan iklan rokok itu sendiri. Iklan anti rokok memang bertujuan baik, agar mengurangi jumlah perokok dan membuat masyarakat lebih sehat, namun cara penyampainnya sendiri justru membuat ragu dan hanya sekilas membidik kesadaran logis. Padahal, rokok lebih dari itu, rokok adalah soal rasa.

Rokok, dan termasuk iklan yang ditampilkan, lebih membidik rasa dan perasaan seseorang, ketimbang hanya sekedar mengajak untuk membeli produk rokok tersebut. Sementara iklan anti rokok, hanya memberikan informasi dari analisis medis yang bersifat logis. Belum menyentuh aspek rasa. Artinya, iklan anti rokok kurang begitu menyakinkan untuk mengajak orang menghilangkan “rasa merokok”.

Saya pernah berbincang dengan beberapa perokok aktif dan jika ditanya apakah mereka tahu bahaya merokok? Mereka bisa menjawab dengan lancar, atau minimal tahu dari bungkusnya. Jadi, ancaman bahaya merokok sebenarnya sudah banyak diketahui oleh publik, termasuk para perokok sendiri. Jadi, iklan berisi himbauan untuk tidak merokok itu hanya mengulang yang sudah ada, bahkan dengan biaya yang lebih tinggi karena tayang di televisi.

Jadi, rokok adalah soal rasa, bukan semata analisis logika medis. Rasa dalam rokok itu sendiri tidak hanya di dapat dari nikotin, tapi bisa juga tersugesti oleh iklan. Dua hal itulah yang secara kompak menciptakan “rasa merokok” tersebut.

Ada baiknya iklan anti merokok itu juga membidik ‘rasa’. Tidak semata menakut-nakuti dengan analisis medis, melainkan juga mengajak orang “menemukan rasa” tanpa harus merokok. Salah satunya, dengan cara membuat iklan yang tak kalah inspiratifnya. Iklan yang inspiratif, meski tak membidik secara spesifik, kadang lebih memiliki pengaruh.

Ambil contoh saja slogan “Pria punya selera”. Iklan itu tidak semata mempromosikan rokok merk tertentu, tapi juga menggempur budaya patriarki. Istilah “Pria” disitu menunjukkan bahwa pria memang identik dengan rokok. Maka tak usah heran jika di masyarakat ada istilah “kalau tidak merokok berarti bukan pria sejati”. Meskipun kalimat itu bisa dengan mudah dibantah, tapi setidaknya itu menunjukkan betapa rokok (tentu saja melalui iklan-iklannya), sudah turut membentuk konstruksi berfikir masyarakat, yang akhirnya menjadi sebuah budaya.

Sementara sejauh ini, iklan anti rokok belum cukup sebanding menjadi lawan iklan rokok yang ada. Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud membela pabrik rokok atau perokok, karena saya sendiri tidak merokok. []

Blitar, 18 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz

Comments