Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Indonesia, Sepak Bola, dan Politik





Di Eropa, selain sibuk mengomentari eskalasi Politik yang ada, sebagian besar masyarakat sibuk menonton sepak bola. Di Spanyol saja, meski ekonominya sempat koyak, tapi kedigdayaan Barcelona dan Real Madrid sama sekali tak tergoyahkan. Bahkan effect-nya hingga ke Indonesia. Di Inggris, sepak bola selalu menjadi trend perbincangan, apalagi kalau sudah menyangkut Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Liverpool. Terlebih kalau tiba moment Liga Champions, seolah-olah tidak ada yang lebih menarik di perbincangkan, selain sepak bola.

Inggris, Spanyol, dan Italia, adalah tiga negara yang sangat sukses mengekspor euforia sepak bolanya ke berbagai negara di dunia. Termasuk di Indonesia.

Maka tak berlebihan jika Sepak Bola yang sangat kooperatif dan menarik itu, bisa mengalihkan perhatian publik terhadap kisruh politik atau kondisi ekonomi yang tengah keos. Orang masih bisa membeli tiket untuk masuk stadion, daripada mengeluhkan harga gandum yang melejit.

Di Amerika, film dan musik menjadi perbincangan yang menarik selain basket dan softball. Selain mengomentari manuver Politik Obama, atau pemilu Amerika yang kian dekat, banyak juga yang asyik (dan tak mau beranjak) memperbincangkan soal chart musik, atau film Hollywood terbaru. Amerika bisa disebut sebagai negara yang sangat sukses mempromosikan Musik dan Film-nya. Bahkan, konon Musik dan Film menjadi salah satu sumber devisa yang sangat signifikan bagi negara itu.

Amerika telah sukses membuat dunia mengandrungi musik dan film mereka. Bahkan penyanyi Agnez Monica (Agnez Mo), untuk mewujudkan mimpi menjadi penyanyi International, harus bertandang ke negeri paman sam itu. Jadi, selain isu Politik, Musik dan Film dipandang lebih menggairahkan bagi sebagian orang disana.

Sementara di Jepang, diluar dari perbincangan Politik, anak-anak sekolahan sibuk memperbincangan produk-produk teknologi keluaran terbaru, sebagian juga sibuk mengomentari perkembangan Manga (komik) yang menjadi basis Industri kreatif yang cukup menjanjikan disana. Jepang tidak hanya mengekspor motor, mobil, atau benda elektronik lainnya. Jepang juga eksportir manga dan film kartun (yang mungkin) terbesar di dunia.

Indonesia, meski olahraga paling berprestasinya adalah Bulu tangkis, tetapi olahraga paling populer tetaplah sepak bola. Ada banyak supporter fanatik di setiap daerah, Seperti Aremania, Bonek, Viking, Jack Mania, dll. Ketika timnas bertanding, euforia dan dukungan pun begitu besar. Bahkan ada yang menyebut jika dukungan kepada timnas tersebut adalah bentuk nasionalisme.

Euforia dan jumlah penduduk yang dimiliki Indonesia, harusnya mampu menjadikan Sepak Bola maju pesat, setidaknya dari sisi ekonomi. Karena semakin banyaknya supporter atau yang menonton di layar kaca, maka akan mengundang banyak investor atau setidaknya korporasi besar untuk menjadi sponsor sepak bola kita.

Konon, titik masalahnya, selain ada di PSSI, juga karena masih banyaknya klub yang bergantung pada APBD. Sementara Pemerintah Daerah, tidak punya cukup anggaran untuk mengurus sepak bola. Anggaran yang ada, lebih difokuskan untuk infrastruktur, pendidikan, serta belanja pegawai. Selain itu, tidak banyak korporasi besar yang bersedia menjadi sponsorship klub-klub yang berlaga. Alasannya bukan kecilnya pasar, tapi lebih pada hal-hal yang bersifat administratif, terutama pengelolaan sepakbola.

Baru-baru ini, PSSI dibekukan oleh Kemenpora, ada yang mendukung langkah ini dan tak sedikit yang menilainya terlalu berlebihan. Tapi, apapun kebijakan Pemerintah, sebagai rakyat biasa yang tak tau apa-apa, hanya satu pertanyaannya, apakah cara ini bisa membuat suasana persepak bolaan kita menjadi lebih baik?

Menyedihkan, karena baru saja PSSI dibekukan, sudah ada opini yang menyatakan jika ini adalah ekses politik, antara PKB dan Gerindra. PSSI pun, lekas membuat manuver dengan menghentikan Liga. Sepak bola pun, yang dibeberapa negara bisa lepas dari hal-hal politik, dan murni diisi oleh orang-orang profesional, di Indonesia bisa dikaitkan dengan isu Politik. maka tak salah jika FIFA sangat anti terhadap intervensi pemerintah. Mungkin masalahnya disitu.

Jadi, masalah berkualitas tidaknya pemain bola dan klub-klub kita, bukan soal kualitas SDM atau fisik orang Indonesia. Atlet-atlet bola eropa, hidup dalam disiplin latihan yang ketat dan infrastruktur yang memadahi. Jika Lionel Messi yang bertubuh kecil saja bisa menjadi pemain top dunia, kenapa kita tidak bisa? Brazil, yang kondisi ekonominya juga hampir sama dengan kita, juga berhasil menghasilkan pemain-pemain bola hebat. Begitupun dengan beberapa negara di Afrika dan Asia, termasuk Jepang dan Korea.

Sepertinya, sepak bola belum mampu menjadi perbincangan menarik, kalaupun diperbincangkan, pasti karena kisruh, seperti yang belakangan ini terjadi. Orang tak akan memperbincangkan Arema, Persib atau persipura, layaknya mereka memperbincangkan Barcelona dan Manchester United. Terlalu jauh perbandingannya. Orang juga tidak akan memperbincangkan Evan Dimas yang hebat itu, layaknya mereka memperbincangkan Lionel Messi dengan segala ekspektasinya. Meskipun dari segi ukuran tubuh, keduanya nyaris sama.

Publik masih lebih tertarik memperbincangkan banyak hal yang keterkaitannya dengan politik. Konflik Kemenpora dan PSSI yang semestinya bisa menjadi momentum perbaikan sepakbola, justru ditarik ke hal-hal yang bersifat politik. Pemain, Pelatih, dan official yang sudah siap sedia berkompetisi, harus menunggu kapan badai mereda. Apalagi penikmat sepakbola, yang bahkan hanya bisa bersuara di sosial media.

Harusnya sepakbola bisa berdiri sebagai entitas tersendiri. Kalau pun harus bersinggungan dengan eskalasi politik yang ada, tidak mempengaruhi secara fundamental. Agar jika masyarakat jenuh dengan suasana politik, ada hal lain yang menggairahkan dan menarik untuk diperbincangkan. Sepak bola, semestinya bisa mengisi ruang itu. Tapi entahlah, kapan hal itu terjadi. (*)

Blitar, 23 Mei 2015
A Fahrizal Aziz

Comments