Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Aku tak mau lagi membencimu





Ilustration
Pagi itu ponselku berdering, aku masih setia diatas ranjang. Kebetulan, hari itu hari libur. Dengan malas kuambil ponsel itu, kulihat sebuah nomor tak dikenal masuk. Siapa ini? gumamku dalam hati, dengan lekas ku jawab telepon itu.

“Halo, A?” sapanya.
“Ha? Yuki?” jawabku dengan cepat, aku kenal betul suara itu, tak mudah melupakan suara lembut itu.
“A’, Kamu lagi di Malang nggak? Aku butuh bantuan ni,” lanjutnya.
“Ya, aku di malang, bantu apa?”
“Aku mau ketemu sama salah seorang dokter, rumahnya dekatnya Joyogrand.”

Aku terdiam sejenak, ternyata dia sekarang ada di malang. awalnya aku hendak menyarankan dia untuk naik angkot saja, kalau tidak salah, ia bisa naik angkot JDM untuk menuju arah Joyogrand. Tapi aku tak tega hati.

“Emang kamu sekarang dimana, Yuk?” tanyaku.
“Aku di stasiun A’, baru aja nyampe, tadi naik kereta jam setengah lima,” jawabnya.

Lalu, kenapa dia meneleponku? Bukankah dia sudah punya suami? Kenapa tidak suami saja yang mengantarkannya? Aku kira dia sudah lupa denganku dan sudah menghapus nomorku. Ternyata tidak.

“Terus? Gimana?” tanyaku.
“Aa’ bisa anterin aku kesana nggak?” pintanya.

Aku terdiam sejenak. Mengantarkannya? Ah, mana mungkin? Dua tahun ini aku sudah mencoba melupakannya, dan hari ini dia seenaknya menelepon dan meminta aku mengantarkannya? Apa dia tidak paham perasaanku?.

Kira-kira aku harus menjawab apa ya? Hmm.. lebih baik aku menyarankan dia untuk naik angkot. Dia bisa naik angkot AL dari stasiun lalu turun Swalayan Sardo, setelah itu naik JDM dan turun Joyogrand. Lalu dengan diplomatis aku akan menjawab “hari ini aku sibuk sekali, banyak agenda”. Tapi? Apakah aku tega membiarkan dia sendirian di dalam angkot dan jalan-jalan sendiri mencari rumah dokter itu? bagaimana nanti kalau ada apa-apa dengannya? Hufft.. aku bimbang.

“Halo? Aa’ kok diem?”

Lamunanku buyar. Kembali fokus ke pembicaraan. “Iya..iya.. hmm... gimana tadi?” tanyaku pura-pura tak mendengarkan kata-kata terakhirnya.

“Aa’ bisa anterin aku kesana? Aku sama sekali nggak tahu menahu dimana itu Joyogrand,” lanjutnya.
“Hmm...,” aku bingung menjawabnya, “Oke,” lanjutku.

Aku lihat jam dinding. Masih pukul 06.48, sementara aku belum mandi, dan aku ingat kalau sabun mandi habis, stock shampo juga habis, dan lebih parahnya parfum juga tinggal satu semprotan.

“Tapi aku mandi dulu ya? Ntar aku jemput di stasiun,” ucapku.
“Iya, jangan lama-lama ya A’. Soalnya aku janjiannya jam delapan pagi.”

Baiklah. Masih ada waktu satu jam lebih sedikit. Aku harus mandi cepat. Biasanya durasi waktu mandiku sekitar 15 menit, kini dikurangi 5 menit saja lah. Aku harus berhutang sabun dan parfum ke teman kontrakan, karena tidak mungkin membeli sabun dan parfum sepagi ini dengan keadaan baru bangun tidur.

“Oke, tunggu ya?” jawabku, lalu dengan segera ku matikan telepon dan bergegas ke kamar mandi. Untungnya, teman satu kontrakan masih ngorokdi kamarnya masing-masing. Dengan mudah aku melenggang ke kamar mandi. Sebelumnya, aku keluarkan motor beat merahku dan memanaskan mesinnya.

Ada rasa senang bercampur khawatir. Senang karena pagi ini bisa bertemu dengan Yuki, mantan pacarku. Aku tahu jika kini dia telah menjadi seorang bidan yang dikagumi oleh banyak orang. Bidan muda, ramah, dan pintar. Tapi dua tahun setelah pernikahannya, dia belum dikaruniahi anak. Mungkin saja, dia masih fokus ke karir. Suaminya kini hanya seorang wiraswasta, namun ada nilai plusnya. Suaminya adalah anak salah seorang Kyai yang cukup terpandang di kota Blitar.

Sementara aku juga khawatir. Takut-takut kalau rasa itu muncul lagi, bagaimanapun juga masa lalu dengannya sangat susah dilupakan. Arghh.. aku harus bisa profesional. Sekarang aku bukan lagi anak SMA kelas dua –masa dimana aku putus dengannya—sekarang aku adalah mahasiswa semester empat. Dan pertemuan pagi ini adalah antara teman dan teman, bukan yang lain. apalagi, kini dia adalah istri orang.

Sehabis mandi. Sebuah sms masuk, itu dari dia. “A’ cepet ya? Udah jam tujuh lebih nih.” Aku bergegas. Ku ambil kaos putih dan jaket di lemari. Dengan lekas kukenakan jaket itu. untung saja, aku bukan tipikal pria yang riwuh terhadap penampilan, jadi bisa berdandan cepat.

Aku keluarkan motor dan meminjam satu helm lagi, tak menunggu lama langsung tancap gas dan menuju stasiun. Jarak antara kontrakanku dengan stasiun sekitar tujuh kilometer, secara normal bisa ditempuh kurang dari sepuluh menit. Dalam perjalanan, perasaanku bergejolak tak menentu. Antara senang dan khawatir.

Untung saja pagi itu jalanan lumayan lancar. Aku parkirkan motor di tempat parkir dekat ATM. Lalu berjalan cepat menuju peron, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tak lama kemudian terlihat sesosok perempuan berjilbab besar, dengan rok panjang yang anggun, berkacamata dan memangku tas kecil. Ada senyum terurai di wajahku. Ia pun menoleh dan mata kami saling bertatapan. Aku ternganga. Tatapan matanya tetap tajam seperti dulu. Ia tersenyum ramah. Dadaku semakin bergejolak.

Ia berdiri dari duduknya, dan berjalan ke arahku. Sementara aku justru terpaku sendiri.

“A’ akhirnya kamu sampai juga,” ucapnya sambil tersenyum ramah.

Aku pun membalas senyumnya. Ku pandangi dari bawah hingga ke atas. Aih, kenapa pagi ini dia begitu cantik?

“A’ kamu baik-baik aja?” tanyanya sambil mengipat-ngipatkan tangan di depan mukaku.

Aku pun tersadar dari lamunanku.

“Oh. Iy..iya. aku baik-baik aja kok. Ayo kita berangkat. Ini udah hampir jam delapan,” pintaku.

Kami berdua berjalan menuju parkiran. Aku begitu kikuk, tapi sepertinya dia biasa saja, tak ada rasa kikuk sedikitpun.

“A’ udah sarapan?” tanyanya saat aku hendak menstarter motor.
“Hmm.....”
“Pasti belom ya?” lanjutnya menerka.

Aku pun hanya tertawa kecil. Aku serahkan helm biru tua itu ke padanya, ia mengenakan helm itu dan naik ke motor. Karena menggunakan rok, ia harus menghadap samping. Ia sempat kesusahan naik. Lalu, ia memaksakan diri dengan berpegangan perutku. Aduh... dia memegang perutku. Ini peristiwa yang tak biasa.

“Ayo berangkat, A’,” pintanya.

Aku kemudikan motor ke arah Joyogrand. Seperti biasa, aku kikuk sekali. Ingin rasanya membuat sebuah perbincangan dalam perjalan itu, tapi rasa kikuk itu menyumbat kata-kata yang hendak keluar dari mulutku. Selama kurang lebih 15 menit perjalanan, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutku. Akhirnya kami sampai di depan rumah dokter yang ia tuju, untung saja ada plang di depan rumahnya.

“Ayo, ikut masuk aja, A’,” ajaknya.

Kami berdua pun berjalan menuju rumah itu. ia memencet bel rumah, tak lama kemudian seorang perempuan paruh baya membukakan pintu dan ia pun menyambut kedatangan Yuki dengan ramah. Mereka saling berpelukan, seolah bertemu teman lama. Sementara aku hanya mematung di samping mereka. Dokter itu memandang ke arahku.

“Ini adikmu ya?” tanya dokter itu.

Yuki tertawa kecil, sementara aku hanya tersenyum getir.

“Bisa dibiang gitu, dok. Dia teman saya, kebetulan kuliah di Malang, jadi saya minta bantuan dia untuk mengantarkan ke rumah dokter,” jelas Yuki.
“Oh jadi begitu. Kalau begitu ayo masuk.”

Aku pun akhirnya bergabung dengan perbincangan mereka berdua. Mereka terhenti di ruang makan, segala hidangan telah tersedia. Perutku yang masih kosong pun berulang kali bersuara. Sementara Yuki dan dokter itu masih memperbincangkan banyak hal, terutama yang berkaitan dengan hal-hal medis.

“Ayo, ikut sarapan, oya siapa namanya?” tanya dokter itu.
“Fahri, dok,” jawabku singkat dengan wajah malu-malu.

Sesuai permintaan dokter, aku duduk di kursi makan. Yuki mengambil piring dan menyiduk tiga entong nasi. Aku pikir itu untuk dirinya, ternyata ia memberikan piring berisi nasi itu kepadaku. Aku terperanjat, ini kejadian yang langka sekali. Yuki mengambilkan makanan untukku, wah begitu romantisnya. Layaknya Istri yang melayani si suami.

“Kamu suka ayam, A?” tanyanya.

Aku hanya menganggukkan kepala. Lalu ia mengambilkannya untukku, ia juga mengambilkan sayur kangkung dan segelas air putih untukku.

“Wah, kamu perhatian sekali dengan adikmu,” celetuk Bu dokter.

Yuki hanya tersenyum. Sementara Aku hanya tersipu malu, meskipun hati sedikit menggerundal karena disebut sebagai adiknya Yuki. Padahal, aku adalah mantan pacarnya dan Yuki juga sudah menjelaskan kalau aku temannya.
***
Selama kurang lebih tiga jam, mereka berbincang masalah medis. Aku sama sekali tidak paham dengan itu semua, tapi tak apalah, aku ikuti kemauan Yuki. Lagipula, ini moment yang jarang sekali. Baru setelah dhuhur, kami pamit untuk pulang.

“Pulang naik apa?” tanyaku.

“Aku udah beli tiket untuk kereta jam empat sore, A’,” jawabnya.

Aku lihat jam. Masih pukul 13.12. berarti masih ada waktu sekitar dua jam lebih untuk mengajaknya jalan-jalan.

“Hmm....”
“Oh ya A’, kita ke toko buku yuk. Aku juga mau beli buku, dah lama nggak ke toko buku,” ia memotong kata-kataku.
Aku tersenyum tipis, “Oke,” jawabku dengan singkat.

Lalu kami pergi menuju salah satu mal di kota Malang. Disana kami berjalan ke toko buku, dalam perjalanan aku masih saja kikuk, dia mencoba membuat suasana cair dengan berbagai pertanyaan seputar kuliahku. Aku pun menjawab seadanya. Sampai akhirnya kami tiba di depan pintu toko buku dan masuk bersama.

Ia menyuruhku untuk menemaninya. Aku pun hanya membuntuti, ia berjalan menuju rak buku-buku medis. Untung saja, di rak buku medis ia tak terlalu lama memilih buku. Lalu kami berjalan ke rak buku-buku fiksi, disana sudah ada beberapa novel terbaru dan ia begitu histeris.

“Wah, aku udah lama nggak baca buku, A’,” responnya setelah melihat tumpukan novel. Ia meletakkan bukunya begitu saja ke arahku, tanpa ada rasa bersalah ia membiarkanku membawa dua buku medisnya yang tebal-tebal, kini aku seperti ajudannya, tapi entah kenapa, aku tak marah sama sekali. Ia malah asyik mengamati novel-novel itu. sementara aku hanya tersenyum sendiri.

Ia mengambil tiga buah novel dan memamerkannya padaku.

“Aku beli tiga ini,” ucapnya dengan senyum lebar dan sorot mata berbinar. Mirip anak kecil yang baru saja mendapatkan hadiah dari Ayahnya. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Lalu kami berjalan menuju kasir.

“Kamu nggak beli, A’?” tanyanya.
“Hmm.. nggak, aku baru beli buku dan belum tak baca,” jawabku.

Setelah membaca buku, kami pun berjalan menuju foodcourt. Siang itu, suasana foodcourt lumayan ramai. Kami mendapatkan tempat duduk agak pojok, ia duduk dan membuka segel novel itu. ia tak sabar dengan isinya. Sementara aku berjalan menuju stand makanan, memesan dua buah bakpao jumbo dan dua gelas teh hijau. Aku membawanya dalam nampan dan berjalan ke arahnya.

Ia menoleh ke arahku, “Trims.. Aa’,” ucapnya. Aku hanya tersenyum.
“Hmm... siapa penulisnya?” tanyaku.
“Oh ini, Tere liye,” jawabnya sambil memperlihatkan sampul bukunya.
“Ohh.. ayo makan,” ajakku.

Ia meletakkan novelnya, dan membuka kemasan bakpao jumbonya. Ia terlihat kesulitan, lalu aku meraih bakpao itu dari tangannya dan kubukakan segelnya.

“Hehe,, membuka segel makanan ini lebih sulit daripada membuka segel buku itu ya?” candaku. Ia tersenyum malu. Lalu kusodorkan bakpao itu padanya.

“Sepertinya rasanya enak,” responnya.
“Iya, emang enak kok,” jawabku.
“Tambah enak, apalagi yang membukakan kemasannya adalah Fahri.”

Aku terdiam sejenak. Memandang wajahnya yang sudah tersenyum manis, sangat mirip Natasha Nouljam, hanya saja ia menggunakan jilbab. Tambah manis. Menurutku.

“Ah, ada-ada saja,” jawabku.
“Oh ya A’. Doakan ya?” ia membuka topik baru.
“Doa untuk?”
“Semoga tahun ini Allah memberiku buah hati.”
“Hmm..” aku terdiam. Buah hati? Maksudnya? Ia berencana untuk hamil?. “Ya, amin-amin. Wah, selamat ya?” lanjutku.
“Kok selamat? Kan aku belum hamil, A;?”
“Eh, iya. Semoga tercapai keinginannya. Btw, pengen anak cewek apa cowok?” tanyaku.
“Pengennya sih cowok. Tapi Wallohu’alam deh, kalau cowok, mau tak kasih nama Fahri.”

Aku terperanjat. Selama beberapa detik aku menjadi patung setelah mendengarkan kalimat terkahirnya.

“Apa?” tanyaku memastikan.
Ia tertawa kecil, tawanya menggoda, “Nggak kok, bercanda.. bercanda..,” lanjutnya.
“Hmm... ada-ada aja kamu,” jawabku sambil menyeruput teh hijau itu.

Akhirnya kami berbincang biasa, tentang kesibukannya kini, tentang kuliahku, dan tentang hal-hal lain yang tak jauh dari novel dan musik. Sampai jam menunjukkan pukul 15.18, dan kami harus segera menuju stasiun. Sebelumnya kami mampir di masjid terdekat untuk melaksanakan shalat Ashar.

“A’, terima kasih ya untuk hari ini,” ucapnya.
“Iya, sama-sama,” aku terdiam sejenak, “Hmm... kapan-kapan kalau ke malang dan butuh bantuan, sms aja ya?” lanjutku.

Ia tersenyum simpul dan mengangkat jempolnya. Ia mengeluarkan satu buah buku bersampul hijau, bukankah itu novel yang tadi ia beli?

“Ini buat kamu,” ucapnya sambil menyodorkan novel itu.
“Buat aku?”
“Yups. Anggap aja sebagai ucapan terima kasihku hari ini.”

Aku tersenyum. Dengan senang hati aku raih novel itu. tak lama kemudian, corong stasiun berbunyi dan petugas stasiun menginformasikan jika kereta api jurusan Malang-Blitar akan segera merapat. Ia pamit dan segera berjalan ke ruang tunggu.

Aku masih berdiri sambil menggenggam novel bersampul hijau itu sambil tersenyum sendiri, sore hari yang cerah, dan aku baru saja bertemu dia. Mantan pacarku yang telah menikah dengan orang lain. sesekali kulayangkan ingatan saat ia memutuskan hubungan ini, dan sesekali kuingat undangan pernikahan yang membuat hatiku remuk. Tapi? Kenapa rasa sakit itu seakan hilang?

Aku masih ingat saat-saat terberat itu. sendiri di pinggir sungai di temani secangkir kopi, membayangkan wajahnya yang tak lagi kumiliki, meratapi hubungan yang gagal, tapi tak bisa sedikitpun aku membencinya. Dia begitu istimewa untuk dibenci. Ah, aku harus bagaimana?

“Yuki, bantu aku membencimu.. please..,” sebuah pesan pernah kutulis, ingin sekali kukirimkan padanya, tapi niat itu aku urungkan. Sepertinya, aku tidak bisa membencinya! Aku harus belajar dewasa, belajar menerima kenyataan, belajar untuk terus mencintainya, meski hanya dalam doa-doa.

Semoga kau bahagia dengan keluarga barumu. Semoga kau dianugrahi anak yang lucu-lucu. Dan semoga kau menjadi bidan yang baik untuk semua orang, sebagaimana kalimat yang pernah kau katakan padaku.

“A’, kamu tahu nggak kenapa aku ingin jadi bidan?”
“Kenapa emang?”
“Karena aku sangat bahagia melihat kehidupan, aku sangat bahagia melihat bayi yang lahir. Aku berjanji, aku akan menolong banyak Ibu melahirkan, dan aku bisa melihat wajah lucu bayi-bayi itu.”

Aku terdiam. Hatimu begitu lembut, dan itulah kenapa aku sangat menyayangimu, Yuki. Kini, aku tak mau lagi membencimu.


Blitar, 10 Maret 2014
A Fahrizal Aziz

Comments