Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Kereta api yang mewah dan colokan listrik


Ilustrasi. sumber : Google

Sudah lama saya tak menggunakan jasa kereta api. Hari kamis (04/12/14) dalam perjalanan ke Malang, saya memesan tiket kereta api. Saya memesan hari rabu : berangkat dan pulangnya sekaligus. Saya baru tahu, untuk memesan tiket kereta, kita harus menulis formulir. Bahkan bisa sekaligus memesan tiket untuk pulangnya. Jadi tak perlu repot-repot lagi.

Terakhir kali saya naik kereta, sekitar bulan maret. Itupun dalam perjalan dari Bandung ke Malang, yang harus kami tempuh selama 20 jam lebih. Kami memesan tiketnya di indomaret, dan mencetaknya di stasiun Kota Malang. Ternyata, untuk perjalan jarak dekat, semisal Blitar-Malang, prosedurnya hampir sama.

Pagi itu, saya melihat suasana stasiun yang berbeda. Mulai dari tiketing yang lebih teknolable, hingga kuota tempat duduk yang dibatasi. Suasana peron pun berubah. Lebih bersih, sepi, dan fasilitas mulai diperbaharui. Terutama kamar mandi gratis yang lebih bersih dan representatif.

Ketika masuk kereta api. Suasananya pun berubah. Tempatnya lebih bersih, ada 3 buah AC yang terpajang disetiap gerbong, dan ada colokan listrik di setiap tempat duduk. Catatan ini pun saya buat di dalam kereta api, perjalanan malam dari Malang ke Blitar. Karena ada colokan listrik, maka saya menyalakan laptop sekaligus men-charger hape yang baterainya nyaris sekarat. Alhamdulilah. Kereta api ini, terasa sangat mewah untuk kelas ekonomi.

Tapi ada yang janggal. Biasanya, banyak sekali pedagang asongan dengan berbagai varian dagangan. Mulai dari makanan, sendal, buku-buku, alat kebutuhan dapur, dll. Banyak juga pengemis dengan berbagai tipe, ada yang bergitar, berjalan sambil menyalakan musik dari amplifier, ibu-ibu yang menggendong anak, hingga nenek tua yang seperti sudah lama kehilangan harapan hidup. Hari itu, baik perjalanan berangkat maupun pulang, saya tak mendapati semuanya.

Kemudian saya mencari informasi, sesekali googling di internet. Pemerintah, agaknya memang benar-benar menerapkan aturan yang ketat. Para penumpang, sekalipun kuotanya dikurangi, benar-benar dibuat nyaman. Tak ada lagi rebutan kursi, tak ada lagi desak-desakan, tak ada lagi suara pedagang asongan menjajakan dagangannya, tak ada lagi kamar mandi kotor, tak ada lagi hape yang kritis baterainya. Hehe. Dan tak ada lagi hawa panas karena kurangnya udara.

Yang berubah lainnya, adalah harga tiket. Yang dulu Rp4.000 untuk Blitar – Malang, kini menjadi Rp5.500,- kenaikan yang tak terlalu signifikan jika dibanding dengan pembaharuan sistem dan juga tata kelola perkereta-apian yang kian membaik. Saya korek lagi informasi, bahwa perubahan sistem ini mulai berjalan ketika Manteri BUMN-nya Pak Dahlan Iskan, dan Dirut KAI-nya Ignasius Jonan (yang kini menjadi Menteri Perhubungan). Jadi, permbaharuan perkereta-apian ini mungkin sejenis portofolio kinerja yang membuat Jokowi memilih Ignasius jonan sebagai Menteri Perhubungan.

Tapi kemudian saya merenung, kemana perginya pedagang asongan itu ya? Apakah mereka mengasong di tempat lain, atau banting profesi? Entahlah. Tapi kalau dihitung jumlahnya, se-Indoenesia pula, tentu sangat banyak. Saya lupa belum mengorek informasi lagi, apakah pemerintah menyiapkan solusi atas “hilangnya” pekerjaan mereka karena aturan terbaru PT. KAI tersebut?

Masih melekat di benak saya kaos yang kadang-kadang mereka gunakan ketika mengasong : Pedagang asongan bumi bung karno. Yang secara eksplisit, menjelaskan bahwa wilayah dagang mereka hanya di gerbong kereta yang melewati Kota Blitar. Di kaos itu pula, ada lambang PT. KAI. Apakah itu yang membuatkan dari pihak KAI? Semoga saja.

Yang saya tahu, Pemkot Blitar memang sangat pro dengan pedagang kecil. Kita bisa lihat di seputar alun-alun, melingkar para PKL (Pedagang kaki lima). Mereka tak digusur satpol pp dan bisa tenang nyaman berjualan. Padahal, di depan alun-alun ada kantor Pemkot, yang otomatis bagian dari jalan protokol. Sesekali dibersihkan, hanya pas acara upara 17 agustusan, itupun tidak melalui jalan konflik.

Saya tidak tahu kemana kira-kira perginya para pedagang asongan tersebut, dan juga kemana pula para pengemis itu mengais nafkah, tapi semoga saja aturan terbaru PT. KAI ini bisa memberikan ruang kesadaran bagi mereka. Disatu sisi, PT. KAI ingin meningkatkan kenyamanan penumpang, disatu sisi ada banyak pedagang asongan yang “menyambung” hidup dalam bilik-bilik gerbong kereta. Memang begitu dilemanya menjadi pejabat publik itu.

Tapi saya benar-benar menikmati perjalan pulang-pergi ini. Stasiun yang bagus, gerbong kereta yang bersih, dan fasilitas colokan listrik yang sangat membantu saya membuang bosan. Sekali lagi, untuk ukuran kelas ekonomi, gerbong kereta malam itu pun terasa mewah.

Kesamben, 4 Desember 2014
A Fahrizal Aziz

Comments