Kebiasaan makan pagi atau sarapan ternyata adalah hal baru bagi Orang Jawa, sebagaimana ditulis oleh Thomas Stamford Raffles dalam buku The History of Java, Penerbit Narasi (2008).
Pada halaman 64-65 dalam sub bab Hidangan, Orang Jawa yang mayoritas petani hanya makan dua kali sehari, yaitu mangan awan (siang) dan mangan wenge (malam).
Patokan siang bagi orang Jawa memang beragam, menyesuaikan selesainya pekerjaan tengah hari, terutama ketika di sawah dan ladang. Jika disesuaikan dengan perputaran waktu antara jam 10.00 hingga 13.00.
Sementara makan malam biasanya setelah matahari terbenam hingga waktu menjelang tidur.
Orang Jawa biasa makan di atas tanah menggelar tikar, hidangannya disajikan dan masing-masing bisa memilih menu sesuai selera.
Sementara di malam hari, mereka makan di rumah masing-masing bersama keluarga dan kerabat. Itu adalah potret keluarga Jawa secara umum di tahun 1800-an ketika buku itu ditulis.
Sementara sarapan atau makan pagi justru dilakukan oleh bangsa Eropa yang tinggal di Jawa, biasanya hanya dengan segelas susu dan sepotong roti.
Proses memasak yang lama
Meskipun demikian, makan pagi hari kadang dilakukan oleh Orang Jawa, terutama bagi mereka yang akan bepergian jauh. Kala itu memasak adalah proses panjang yang tidak semudah sekarang.
Proses memasak menggunakan Luwengan, perapiannya dari kayu bakar, sehingga rata-rata makanan baru tersaji menjelang siang, karena proses memasak di pagi hari membutuhkan cukup waktu.
Begitupun ketika makan malam, masaknya baru dimulai sore hari. Jadi secara umum Orang Jawa setiap hari makan dua kali sehari dengan menu utamanya adalah Jagung, Singkong dan Nasi, bergantian menyesuaikan mana yang tersedia berdasar musim panen saat itu. Bahkan Jagung, Singkong dan Talas lebih sering menjadi "makanan berat" bagi Orang Jawa kala itu.
Berbeda dengan keluarga Eropa, mereka terbiasa makan pagi dengan roti yang terbuat dari gandum, roti relatif mudah disajikan karena tinggal dipanggang, mereka rata-rata keluarga dengan ekonomi menengah ke atas yang bisa membeli bahan roti yang diimpor.
Kebiasaan sarapan
Meskipun kebiasaan sarapan mulanya dari Bangsa Eropa, namun makna sarapan bagi Orang Jawa sekarang juga berbeda. Sarapan ya makanan berat, bukan makanan ringan, apalagi buah-buahan.
Karena menjadi kebiasaan, sarapan akhirnya menjadi kebutuhan bagi tubuh, didukung oleh teknologi yang canggih dan ketersediaan bahan makanan yang melimpah. Setidaknya, menanak nasi tak sesulit zaman dulu yang harus melalui beberapa proses.
Sekarang saparan menjadi kebiasaan, bahkan dalam teori kesehatan pun menjadi semacam kewajiban. Padahal Orang Jawa sejak dulu terbiasa untuk tidak sarapan.
Lebih sehat mana?
Membahas soal lebih sehat mana antara kebiasaan sarapan atau tidak? Perlu juga dipertimbangkan beberapa hal.
Pertama, terkait kualitas makanan zaman dulu yang relatif lebih alami karena belum tersentuh zat kimia baik pupuk maupun pestisida.
Kedua, proses memasaknya antara direbus dan dibakar, belum familiar digoreng yang itu berarti konsumsi minyak ke dalam tubuh relatif rendah atau bahkan tak ada.
Ketiga, punya kegiatan fisik yang intensif di ladang maupun sawah, kaum perempuan biasa mencari kayu dan berjalan kaki cukup jauh.
Keempat, kualitas lingkungan; air dan udara yang masih segar dan itu menyumbang hal positif bagi tubuh.
Empat aspek di atas sangat penting dari sekadar membahas lebih sehat mana sarapan atau tidak sarapan?
Dalam potret foto zaman dulu, memang jarang kita temui Orang Jawa yang perutnya buncit, termasuk yang tinggal di Keraton. Justru pejabat kolonial banyak yang berperut buncit karena bisa jadi terbiasa makan makanan olahan, salah satunya roti.
Orang Jawa, dengan tingkat ekonomi cukup dan standar biasanya berbadan langsing atletis, meskipun tak sedikit yang kurus karena kelaparan, mengingat penjajahan yang memangkas hak-hak mereka.
Selain itu, rata-rata usia Orang Jawa kelahiran 1800 dan 1900 awal di atas 70 tahun, bahkan ada yang sampai 90 dan 100 tahun. []
Red.b/dn
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini