Tulisan yang Menyembuhkan



Sonya Hellen Sinombor naik ke panggung untuk menerima penghargaan Hassan Wirajuda Award 2020 atas liputannya tentang Pengantin Pesanan.

Ia jurnalis senior di Harian Kompas, yang sudah duduk di meja redaktur.

Tulisan Depth News tentang Pengantin Pesanan itu menyulut perhatian Pemerintah dan akhirnya direspon oleh Kementerian Luar Negeri.

Bahwa telah terjadi kasus di Kalimantan terkait perempuan-perempuan "yang dipesan" untuk dinikahi pria-pria di China.

"Sebenarnya saya sudah tidak ada lagi tanggungan menulis setiap hari," ungkapnya saat mengisi pelatihan via zoom.

Namun karena rasa kemanusiaan yang terkoyak, dia tetap turun ke lapangan, meliput banyak kasus yang berkaitan dengan isu perempuan dan anak.

Sebagai salah satu peserta pelatihan, saya kemudian bertanya: bukankah jurnalis itu seorang generalis? Lalu, bagaimana Mbak Sonya bisa tertarik pada isu spesifik semacam itu?
##

Sonya Hellen Sinombor adalah sarjana hukum dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Namun kemudian berkarir sebagai Jurnalis di Jakarta dan Jawa Tengah.

Dalam pelatihan itu ia mengutip quote dari Mary Maps, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini:

Jurnalisme bukan obat, namun menyembuhkan. Jurnalisme bukan hukum, namun bisa membawa pada keadilan. Jurnalisme bukan militer, namun bisa mengamankan kita.

Pengantin Pesanan adalah salah satu dari sekian banyak liputan Sonya yang akhirnya memberikan dampak luas.

Ketajaman sebagai seorang Jurnalis membuatnya mampu mendiagnosa adanya masalah atau "penyakit" di masyarakat yang harus diselesaikan.

Kementerian luar negeri akhirnya merespon itu dan berhasil memulangkan WNI kembali ke tanah air, salah satunya lewat infirmasi liputan yang diangkat Sonya.

Karena itulah ia diganjar penghargaan Hassan Wirajuda Award, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri.

##
Sonya juga pernah mengangkat soal Rasminah. Perempuan korban perkawinan usia anak. Hasil liputan itu kemudian menjadi salah satu bukti bahan advokasi untuk merevisi UU Perkawinan 1974.

Singkat cerita, usaha itu berhasil. Terbitlah UU No. 16 tahun 2019 tentang Perkawinan. Bahwa batas usia menikah antara laki-laki dan perempuan sama 19 tahun. Sebelumnya untuk perempuan adalah 16 tahun. Padahal dalam UU Perlindungan Anak, batas usia anak adalah 18 tahun.

Tentu itu semua karena kerja kolektif dari banyak pihak, termasuk juga dari pemerintah sendiri.

Perkawinan usia anak dianggap masalah karena selain melanggar hak-hak anak, juga berpotensi pada angka kematian ibu melahirkan, bayi stunting, KDRT hingga kasus perceraian.

Hak yang paling direnggut adalah hak mendapat pendidikan. Usia 16 tahun umumnya masih SMA sederajat, dan wajib belajar 12 tahun adalah hak mereka yang ditanggung oleh negara.

Revisi UU itu memang tidak cukup untuk mengatasi masalah, namun ketika sudah ada dasar hukum yang kuat, pencegahan bisa lebih mudah dilakukan.

###

Itu adalah sesi kedua materi Pelatihan Menulis Cerita Perubahan yang dilaksanakan Oxfam (26-28/7), yang diberi judul: Menghadirkan Story of Change di Media Mainstream.

Sesi berikutnya akan saya tulis materi dari Shinta Maharani, Jurnalis Tempo, serta Adi Assegaf Penggerak Citizen Jurnalism Kabupaten Brebes.

###
Sebenarnya, Februari 2020 silam saya berkesempatan mengikuti pertemuan Jurnalis di Surabaya. Sonya Hellen Sinombor menjadi salah satu narasumber.

Dari Yayasan Kesehatan Perempuan selaku penyelenggara sudah menawarkan saya untuk ikut pertemuan itu, namun bebarengan dengan jadwal FGD penulisan buku Sejarah Pemilu di Kota Blitar.

Padahal, ingin sekali bertemu Mbak Sonya. Selama ini hanya mendengar kiprahnya sebagai "jurnalis spesialis" isu anak dan perempuan.

Saya tetap ke Surabaya untuk pertemuan lain, ruangannya bersebelahan, namun hanya 2 hari. Sementara pertemuan Jurnalis berlangsung 3 hari.

Dalam perjalanan, saat travel berhenti di SPBU selepas Tol Sumo, ada telp kalau FGD diundur. Andai informasi diundurnya sehari sebelum itu, saya bisa ikut pertemuan jurnalis tersebut.

Namun tak masalah, karena tahun berikutnya toh bisa berjumpa Mbak Sonya, meski secara daring. Padahal itu adalah pelatihan follow up untuk peserta menulis di Bogor Januari 2020 lalu, dan saya bukan peserta.

Terima kasih untuk Yayasan Kesehatan Perempuan yang sudah memberikan kesempatan ini.

Belajar bagaimana sebuah tulisan bisa menciptakan perubahan dan menyembuhkan, agar kondisi sosial kita "lebih sehat". []

Selasa, 3 Agustus 2021
Ahmad Fahrizal Aziz


0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini