Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Masihkah Generasi Digital Punya Tradisi Membaca Buku?


Ada fase dimana aku sangat menikmati aktivitas membaca buku. Sering ke Perpustakaan untuk meminjam buku, meluangkan waktu khusus untuk membaca buku, hingga berkunjung ke toko buku, terutama selepas lebaran ketika masih punya cukup uang saku.

Ada banyak hal menarik dari buku. Cerita, sudut pandang, diksi-diksi baru dan semacamnya. Saat itu, nyaris tak ada gangguan berarti, belum ada ponsel pintar dengan seabrek fitur yang ditawarkannya.

Anehnya, beranjak dewasa, kegemaran itu mulai berkurang. Kalaupun masih membaca buku lebih karena tuntutan akademik atau pekerjaan.

Membaca buku di era sekarang, tantangannya lebih kompleks. Baru dapat satu halaman misalnya, bisa terhenti ketika ponsel berbunyi karena sebuah notifikasi. Setelah itu, semua perhatian tersedot ke layar ponsel, membaca buku dianggap selesai.

Karena tantangan itupula, banyak media dialihkan ke digital. Lewat website atau PDF book. Namun aktivitas di dunia maya juga terbilang jauh dari membaca, terkecuali membaca simple news yang hanya menyajikan informasi singkat.

Tidak sebanding dengan aktivitas membaca buku yang didalamnya ada pengayaan persepsi, sudut pandang, teori ilmiah, atau "perdebatan-perdebatan" kecil dalam otak yang bisa menumbuhkan pemikiran dan nalar kritis.

Apakah generasi Z, yang lahir di era digital ini masih sempat membaca buku? Jangankan mereka, kita saja mungkin sudah jarang. Semua bisa diakses lewat internet, meski ada keterbatasan.

Misal, ketika ada tugas sekolah membuat artikel sejarah Pancasila. Sebagian besar akan mencari di internet dan mengunjungi situs yang sama, yang ketika dikumpulkan hasilnya juga sama.

Tidak ada yang sudi mencari di buku, mengetiknya atau menarasikan ulang. Kemampuan menulis, membuat paragraf deskripsi dan eksposisi makin tak terasah, bahkan sekadar googling pun tak punya cukup skill sehingga satu halaman website dijadikan rujukan orang satu kelas.

Hal yang tak mungkin terjadi pada generasi 90-an, atau jauh sebelum itu. Kecanggihan teknologi saat ini bertaruh dengan makin banyaknya anak sekolah yang lulus tanpa visi hidup yang jelas. Namun di sisi lain juga melahirkan generasi multitasking. Akan terjadi gap cukup tinggi bahkan dalam satu generasi yang sama.

Di negara konsumen seperti Indonesia, kemajuan lebih bersifat instrumental. Ponselnya canggih, keluaran terbaru, namun mau dipakai untuk apa? Tren kepemilikan tak dibarengi dengan kebutuhan, lebih tragis lagi jika memilikinya pun harus hutang dan kredit.

Generasi pra digital belum tersentuh atmosfir itu, dunia mereka masih beraneka rupa. Aku masih merasakan betapa bahagianya punya ponsel kamera VGA, saat lulus SMA. Betapa bahagianya punya gawai untuk menjalin komunikasi meski terbatas telp dan sms.

Generasi digital bertemu dengan banyak inovasi, meski tak banyak yang menyadarinya. Jika lewat ponsel pintarnya ada banyak bakat kreatif bisa tersalurkan.

Aku masih ingat betapa sulitnya sekadar mendesain pamflet untuk kegiatan ekskul, sementara skill photoshop sangat terbatas, akhirnya mendesain ala kadarnya lewat Microsoft Publisher.

Sekarang hal itu tak terjadi lagi, lewat beragam aplikasi pamflet bagus bisa didesain sangat cepat, potongan-potongan video bisa dimerger menjadi direct movie dengan kualitas HD, dan lain sebagainya.

Namun, berapa persen yang punya sensitifitas ke arah sana? Terlebih tanpa dasar persepsi yang cukup, tanpa tradisi membaca buku yang baik, mentok hanya melahirkan video prank horor atau video-video goyang yang tujuannya dapat uang.

Makin banyak konten tak bermutu menghasilkan banyak uang, dan punya banyak penonton. Semakin banyak orang berduit tanpa visi atas kontennya, yang ujung-ujungnya pamer kekayaan.

Begitu mengkhawatirkannya era digital. Buku-buku tak lagi dibaca namun kebutuhan akan literasi justru meningkat.

Generasi Z, yang satu tingkat lebih muda dari generasi millenial memang lahir dalam suasana digital. Komunikasi via digital, belanja via digital, bermain via digital, bekerja dan belajar juga via digital.

Padahal, membaca buku cetak itu suatu keasyikan tersendiri. []

Ahmad Fahrizal Aziz

Comments