Ucapan Natal



Selasa, 24 Desember 2019

Saban tahun di bulan Desember, boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal selalu jadi polemik. Seperti kaset usang yang terus diputar berulang-ulang.

Wajar, sebab ada persimpangan keyakinan pada peristiwa natal, yang dijadikan tanggal kelahiran Yesus Kristus, yang dalam Islam diyakini sebagai Nabi Isa.

Pertama, perbedaan atas keyakinan, benarkah Yesus lahir tanggal 25 Desember?

Kedua, perbedaan atas status Yesus sebagai utusan Tuhan (Rosul), dengan keyakinan Yesus sebagai Son of God (anak Tuhan), seperti yang dilantunkan dalam lagu Silent Night yang syahdu itu.

Dua perbedaan itu sangat tajam. Tidak sesederhana perayaan Idul Fitri bagi seorang Muslim, yang nyaris tak ada persimpangan teologis berkait keyakinan satu sama lain.

Maka, sampai kapanpun pasti tetap ramai, dan akan selalu jadi bahan perdebatan, dari generasi ke generasi.

Perbedaan keyakinan yang diperkuat oleh bukti sejarah semacam ini membuat saya ingat perdebatan terkait hari jadi Blitar, yang ternyata didasarkan pada prasasti yang sampai saat ini tak ketahuan bentuknya.

Namun tanggal hari jadi sudah diputuskan. Perayaan dan ucapan selamat pasti selalu membersamai, beserta doa-doa baik yang menyertai.

Ucapan Natal itu menurut saya ada dua. Yaitu, selamat natal dan selamat merayakan natal.

Selamat natal artinya selamat atas kelahiran. Ada satu keyakinan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran Yesus Kristus.

Lalu selamat merayakan natal, artinya selamat merayakan kelahiran. Terlepas kita sependapat atau tidak dengan dasar perayaan tersebut, itu hak masing-masing berdasarkan keimanan.

Orang Jawa biasa merayakan hari kelahiran, tanpa melihat bulan kelahirannya. Hanya melihat hari, misalnya Rabu Pahing. Kapanpun bisa dirayakan, dengan membagikan makanan ke tetangga terdekat.

Apakah Yesus benar lahir 25 Desember, di bawah pohon, di musim salju yang dingin? Jelas sangat meragukan. Namun apakah merayakan kelahirannya saja tidak boleh?

Pada batas inilah, kadang saya merasa polemik soal ucapan natal yang berulang-ulang ini terasa begitu melelahkan dan kurang produktif.

Saya memang tidak turut serta memberikan ucapan. Tidak hanya ucapan natal. Banyak momentum ketika ucapan seharusnya disampaikan, tidak saya sampaikan. Termasuk ucapan ulang tahun.

Sebab bagi saya kelahiran itu hanya sekali. Selebihnya bertumbuh. Tiap hari bilangan usia bertambah, jatah hidup berkurang. Merayakannya bisa setiap tahun, bulan, atau bahkan setiap hari, bukan?

Namun perayaan hari besar agama selalu jadi momentum berkumpul bersama keluarga, teman, tetangga, serta upaya menjalin kembali hubungan yang lebih hangat.

Hari raya menjadi momentum untuk berbagi kebahagiaan, lewat angpau yang dibagikan atau hadiah-hadiah tak terduga yang konon berasal dari Sinterklas atau Santo Nikolas.

Hari raya juga selalu jadi bidikan kapitalis yang pandai memanfaatkan momentum, lewat atribut-atribut, produk, dan segala hal yang menjadi ciri khas perayaan tersebut.

Natal selalu identik dengan topi santa, pohon cemara, dan lonceng. Sama ketika Lebaran, yang selalu identik dengan ketupat, opor ayam, sirup, dan biskuit kotak.

Kemeriahan perayaan agama memang sudah menjadi bagian dari komoditas ekonomi dan menciptakan pasarnya sendiri. Atribut-atribut diciptakan oleh industri.

Sayangnya, otoritas agama memaknainya lewat fatwa, halal-haram dan sebagainya, tanpa memunculkan suatu edukasi yang lebih utuh pada masyarakat. []

Kedai Muara
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini