Apakah budaya ngopi warga Blitar cukup menggembirakan?
Sepertinya iya, terbukti dari banyaknya kedai kopi "ideal", yang sebagian hadir dalam festival kopi pada 29 Juli 2018 lalu, di Pendopo Kanigoro.
Sebagian kedai itu pernah saya datangi, ada yang sampai beberapa kali. Membandingkan rasa sekaligus mencicipi biji-biji kopi yang berbeda. Meski kadang lidah saya sulit membedakan untuk biji-biji kopi arabika.
Sejak mengenal "kopi ideal" awalnya kaget juga, kok agak mahal ya? Bayangan kita kalau kopi itu ya sebagaimana yang tersaji di dapur. Hanya bubuk, gula, diseduh dengan air panas.
Kopi ideal ini, menggunakan teknik seduh yang bermacam-macam. Apa dibuat kental menjadi espresso, atau agak encer seperti americano, atau tubruk saja?
Maka kita akan menemukan "acidity" atau keasaman yang berbeda, juga kadar manis atau "sweetness" yang berbeda pula, dari teknik seduh yang bermacam-macam itu.
Kopi pertama yang saya cicipi adalah gayo. Begitu terkenalnya kopi ini. Pakai gula putih atau merah. Meski bagi coffe holic, pantang menambahkan campuran apapun.
Dalam catatan saya, selain gayo, pernah juga mencicipi biji kopi Kintamani, Simalungun, Arjuna, Sindikalang, Litong, Java robusta, kopi lampung, dan lidah saya begitu cocok dan berselera justru dengan biji kopi kalosi asal Sulawesi.
Kalau begitu, kira-kira kopi hitam sachetan yang bermerk itu dari biji kopi apa ya?
Diantara sederet nama biji kopi terkenal, kopi asal Blitar tak begitu populer. Meski Blitar adalah penghasil kopi robusta dan excelsa.
Apa itu excelsa? Sebab selama ini yang kita kenal hanya arabika dan robusta.
Ternyata excelsa adalah varian tersendiri, yang bisa tumbuh didataran rendah seperti halnya robusta. Berbeda dengan biji kopi arabica, yang hanya bisa tumbuh di dataran tinggi.
Excelsa ini di beberapa negara masuk varian kopi liberika. Titik tumbuhnya lebih tinggi dari robusta, dan lebih rendah dari arabica.
Tetapi biji kopi arabica memang paling populer dan diminati. Mungkin karena tumbuhnya di dataran tinggi, dan perawatannga lebih sulit, jadi kualitas rasanya juga lebih unggul.
Memang agak sulit untuk bisa menggeser gayo, simalungun, atau kalosi, yang merupakan biji arabica. Namun kopi excelsa memang tergolong langka, dan salah satunya ditanam di lereng gunung kelud.
Tetapi apa sebenarnya yang menggembirakan dari mulai maraknya budaya ngopi dan meningkatnya wawasan masyarakat tentang kopi?
Paling sering disebut tentu segi ekonomi. Tetapi apakah kopi hanya sekedar produk komoditi?
Kopi mengandung cafein, juga kandungan lain yang memberikan dampak setelah meminumnya. Pikiran dan mata lebih awas dan terjaga, sehingga ngopi perlu punya nilai tersendiri. Bukan sekadar sebagai minuman.
Produktifitas kerja dan berkarya harusnya lebih meningkat, disamping dari prospek ekonominya. Itulah salah satu bedanya ngopi dengan minum air putih biasa.
Festival Kopi yang sudah dua kali diadakan di Blitar ini, tentu menarik, mengajak orang memahami banyak varian kopi dan story yang berbeda dari penyajiannya, juga filosofinya.
Kenapa orang suka kopi yang hitam kental, kenapa ada yang suka latte atau cappucino, ditambah susu dan krimer, ada juga yang suka kopi encer, ada yang kalau minum harus dengan cethe-nya.
Sulit bagi Blitar untuk menyaingi daerah-daerah produsen kopi yang punya dataran tinggi itu. Sulit juga menggeser lidah masyarakat yang sudah gandrung dengan arabica, untuk mau beralih ke robusta atau excelsa.
Namun setidaknya ada kesadaran ngopi yang dibangun masyarakat. Pengetahuan tentang betapa kayanya produk kopi Indonesia, juga betapa semestinya ngopi juga diiringi dengan hidup yang lebih produktif.
Itulah filosofinya ngopi. Selamat menikmati kopi masing-masing. Selamat merayakan ngopi. []
Blitar, 31 Juli 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini