Pagi hari, 20 Februari 2018, kami memacu motor ke arah yang berbeda. Saya terus ke utara, sementara keluarga saya belok ke timur, ke sebuah kerumunan yang tengah berduka. Kemarin ada kabar bahwa Mbokde (bibi Ibu saya) meninggal.
Mbokde adalah kakak dari nenek saya yang meninggal 15 tahun silam. Karena harus memandu sebuah acara dan tidak bisa digantikan, maka saya tidak ikut dalam rombongan takziah.
Terakhir bertemu mbokde sekitar dua bulan lalu, pada pernikahan cucunya yang seorang bidan itu. Namun sejak beberapa tahun belakangan, mbokde memang telah hilang ingatan. Mungkin semacam demensia. Tidak ada perbincangan, sebab tidak satu pun orang yang ia kenali, termasuk keluarganya sendiri.
Pada lebaran yang lalu, ketika kami mampir ke rumahnya yang berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai serang, tiba-tiba suasana haru menyeruak.
Teringat waktu masih sehat dulu, Mbokde sering menawarkan kopi hitam racikannya yang kental, atau menawarkan barang dagangannya, yang tentu diberikan cuma-cuma.
Teringat pula sambutan hangatnya ketika kami datang, yang sangat kontras berbeda dalam tiga tahun terakhir. Mbokde hanya duduk diam dan nampak linglung, melihat kami, sambil (mungkin) berusaha mengingat.
Pada suasana ini saya menyadari betapa sedihnya menjadi pikun. Sebab pada kondisi tertentu, kita mungkin pernah lupa pada sesuatu hal yang ingin sekali kita ingat. Lalu bagaimana jika yang lupa hampir semuanya?
Ingatan dan kesadaran adalah anugrah yang sering kita lupakan. Sebab ketika semuanya hilang, kita bukan lagi apa-apa. Pikun menjadi hal yang menakutkan di masa depan.
Selamat jalan Mbokde.
Blitar, 22 Februari 2018
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Ahmad Fahrizal Aziz
www.fahryzal.com
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini