Menikmati Karya Sastra (5)


Ada novel Dunia Sofie tergeletak di meja redaksi. Ternyata itu milik wartawan baru. Novel terjemahan karya Jostein Gaarder. Isinya bagus? Tanya saya.

"Kalau yang punya selera filsafat, ya lumayan bisa menikmati," jawabnya.

Selera filsafat? Memang sedikit sekali novel terjemahan yang saya tahu. Wawasan saya soal sastra dunia cenderung payah. Paling-paling hanya tahu roman Romeo-Juliet karya William Shakespeare , itu pun tahu dari film dulu.

Memang pernah beberapa kali saya meminjam novel-novel Agatha Christie, tapi saya kurang bisa menikmati novel-novel detektif semacam itu. Bukan berarti jelek, ini hanya soal selera saja.

Untuk novel Dunia Sofie, saya agak penasaran, terutama setelah membaca esai Bandung Mawardi, yang menulis bahwa nama Sofie itu diambil dari Filosofi/Philoshopy dan itu perempuan.

Sofie dalam novel itu juga perempuan. Mungkinkah filosofi identik dengan perempuan? Jika iya, maka anggapan bahwa perempuan itu identik dengan perasaan dan minim logika, hanyalah mitos belaka.

Mungkin itu terjadi, karena budaya setempat yang memperlakukan perempuan begitu. Padahal banyak juga perempuan yang ahli logika, matematika, akuntansi, dlsb. Begitu pun sebaliknya, banyak laki-laki yang supra melankolia dan sensitif. Bicaranya begini, tapi maksudnya begitu.

Dari dunia Sofie dan karya lainnya, saya menyadari jikalau karya sastra itu memiliki banyak dimensi, entah politik, agama, budaya, psikologi, sains, dlsb.

Tinggal sejauh mana kepekaan pembaca. Novel bertema cinta pun, pasti ada saja muatan lain yang diangkat. Membaca Dunia Sofie, kita secara tidak langsung belajar bagaimana orang berfilsafat. Menarik, kan?

Dosen IBD (Ilmu Budaya Dasar) yang dulu mengajar saya kerap kali memberikan contoh fenomena sosial justru dari karya sastra, terutama novel dan cerpen. Apa bisa itu dijadikan data untuk sebuah pertemuan ilmiah? Mengingat cerita dalam karya sastra bukan fakta yang terjadi.

"Faktanya ada, hanya ceritanya yang sedikit diolah. Misalkan sebuah novel yang menjelaskan dunia pelacuran, faktanya ada dari sumber yang kuat, cuma ceritanya saja yang diolah," jelas dosen itu.
Jadi memang benar, membaca karya sastra ibarat membaca banyak buku interdisipliner, dari berbagai tema, tapi tidak tersaji secara gamblang.

Kita sebagai pembaca lah yang harus lebih peka dan tajam menyorotnya. Ada banyak kritik sosial disana, ada banyak pengungkapan hal-hal tabu. Sangat menarik. []

Blitar, 14 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini