Pujon begitu dingin, cocok sebagai "tempat persembunyian" sembari menghabiskan berlembar-lembar buku.
Tak banyak aktivitas pada malam hari, setelah pagi sampai sore bergelut dengan tugas-tugas magang. Ini merupakan kegiatan semacam KKN yang diadakan oleh Kemenag, untuk mengisi waktu libur akhir tahun 2012.
Malam itu pada khusyuk di depan gawai, sebagian berbincang di luar. Saya duduk di ruang tamu sembari membaca "Perahu Kertas". Filmnya sudah terlebih dahulu saya tonton.
Siapa penulisnya? Dewi "Dee" Lestari. Ya, ini karya Dee yang pertama saya baca. Bahasanya lincah dan menggelitik. Versi PDF sebenarnya sudah lama saya dapat, tapi membaca novel versi PDF membuat mata pedih.
Novel dengan kertas kuning ampang seperti ini, tetap menjadi ciri khas tersendiri.
Perahu kertas sudah saya dengar sejak tahun 2010. Buku-buku Dee yang lain, seperti Filosofi Kopi dan Supernova juga sudah beberapa kali diperbincangkan ketika sedang ngobrol santai dengan teman-teman Lingkar Pena.
Tapi mungkin karena banyaknya tugas kuliah, tugas redaksi, plus beragam masalah yang menguras fikiran, tidak banyak buku lain yang saya baca, kecuali buku-buku wajib.
Setelah fikiran agak longgar, sebisa mungkin berupaya mengejar ketertinggalan bacaan. Jadi bukan waktu longgar, tapi fikiran longgar. Fikiran yang kacau penuh beban, meski banyak waktu longgar, mau membaca apapun, rasanya kurang bisa meresap.
Seingat saya, buku-buku Dee tak ada di Perpustakaan Kampus. Nama Dee tak terlintas sedikitpun, bahwa ia akan masuk jajaran novelis bergenre sastra, atau Sastrawan secara umum. Karena setahu saya dia penyanyi.
Sekilas membayangkan, bagaimana seorang entertainer kemudian menulis? Apa tidak ada proyek lagi di dunia tarik suara? Ah, jangan-jangan karya aji mumpung. Sebab ada pula novel-novel pop yang tidak begitu bermutu, tapi laku keras. Apalagi kalau penulisnya artis terkenal.
Tapi Dee punya kelebihan tersendiri, sejauh novel yang pernah saya baca, ia mampu merangkai diksi yang menarik dan jenaka. Apalagi sosok Kugy dalam novel itu, yang tak pernah menyangka akan diperankan Maudy Ayunda. Mungkin karena saya melihat filmnya terlebih dahulu, jadi efek terkejutnya tak terlalu.
Karya-karya Dee Lestari kemudian saya masukkan antrean buku yang hendak dibeli, terutama Filosofi Kopi. Sebenarnya bisa pinjam, namun entah mengapa saya ingin memilikinya.
Karena berbagai hal, Filosofi Kopi baru saya baca pertengahan 2013. Itupun pinjam dari seseorang. Setahun kemudian saya membeli, sebagai koleksi pribadi.
Ada puisi dan prosa di dalamnya. Filosofi Kopi sendiri adalah novela/novelet. Lebih panjang dari cerpen, tapi belum bisa disebut novel. Lainnya berisi cerpen, prosa, dan puisi.
Makin menarik ketika Goenawan Mohamad menulis semacam pengantar. Setidaknya, komentar dari GM menunjukkan jika karya Dee boleh dikategorikan sebagai "sastra serius", bukan karya pop yang ajimumpung.
Karena saking asyiknya membaca Filosofi Kopi, saya jadi merasa bahwa membaca karya sastra bisa jadi hiburan tersendiri. Bahkan saat fikiran sedang kacau, tengah mendidih karena banyaknya kewajiban yang harus dipenuhi.
Tak berlebihan jika Dee kemudian menyebut karya-karyanya sebagai "bacaan spiritual". Terutama seri Supernova-nya, yang akan saya tulis pada seri catatan berikutnya. []
Blitar, 31 Juli 2017
Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini