Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Ada Korting di Amsterdam



Ada Korting di Amsterdam
(sebuah kisah perjalanan di negara kincir angin)

 Oleh: Pradana Boy ZTF*


  
MOBIL minibus yang membawa rombongan para dosen peraih gelar doktor baru dari Universitas Muhammadiyah Malang itu akhirnya tiba di Amsterdam pada sore hari, setelah melalui perjalanan dari Perancis dan Belgia melalui kota Brussels dan Antwerp. Suasana yang khas segera terasa. Begitu memasuki kota, yang pertama-tama menarik pandangan adalah jumlah sepeda angin yang sangat banyak dan tersebar di berbagai sudut kota dengan rapi. Selain sepeda kumbang, pemandangan khas Amsterdam adalah kanal-kanal air, dan perahu-perahu berukuran kecil dan sedang yang tertambat di tepian sungai Amstel atau di sepanjang kanal-kanal kota. Menariknya, sebagian dari perahu-perahu itu juga berfungsi sebagai tempat tinggal permanen bagi sebagian orang.

Kegembiraan anggota rombongan karena telah menginjakkan kaki di Amsterdam tidak dapat ditutup-tutupi. Beberapa dari mereka langsung berteriak dan mengambil kamera untuk mengabadikan sejumlah tempat atau pemandangan yang menarik untuk direkam. Saya sendiri hanya duduk termangu memandangi lalu-lalang manusia yang padat namun teratur. Tiba-tiba sopir minibus memanggil saya. Dia mengingatkan bahwa agenda hari itu di Amsterdam hanya makan malam. Selebihnya tidak ada, hanya istirahat. Sementara, jarak tempat kami menginap dengan tempat makan malam sangat jauh. Maka, kami berunding. Toni, pengemudi sekaligus pemandu kami, menyarankan agar saya mengambil makan malam itu saja. Tidak usah makan di restoran, tetapi dibungkus dibawa ke hotel. Sehingga, sisa hari itu bisa dimanfaatkan untuk beristirahat melepas lelah setelah seharian perjalanan panjang dari Paris, Brussels hingga Amsterdam. Kami semua setuju.

Saya segera turun dari minibus dan segera bergegas menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Toni. Dengan berbekal kertas voucher yang bertuliskan alamat restoran itu, saya menyelinap di antara keramaian manusia dari berbagai bangsa yang berbaur dalam keramaian pusat kota Amsterdam saat itu. Tiba-tiba ada suara memanggil saya dari belakang. Saya menoleh. Rupanya, seorang anggota rombongan membuntuti saya. “Saya temani mengambil makanan, biar tidak sendirian,” katanya. “Ayo,” jawab saya. Jadilah kami berdua mengambil makanan. Sesampai di restoran, rupanya makanan telah siap, karena terjadi perubahan skenario dari makan di tempat menjadi dibungkus, maka kami harus menunggu beberapa saat ketika makanan itu disiapkan.

Mobil melaju cepat menuju hotel. Cukup lama juga perjalanan ini. Rupanya, hotel yang kami tinggali berada di pinggiran kota. Tepatnya tidak jauh dari kawasan Bandar Udara Schipol. Setelah semua urusan dengan hotel selesai, Toni meminta diri. Ia tidak tinggal bersama kami karena ternyata dia dan keluarganya tinggal di Amsterdam, meskipun dia warga negara Italia. Maka setelah semua urusan dengan hotel beres, Toni berpamitan. “See you tomorrow,”kata Toni sambil bergegas meninggalkan hotel. 



Semua anggota rombongan menuju ke kamar masing-masing. Setelah kurang lebih satu jam beristirahat, seseorang mengetuk kamar saya. Seorang anggota rombongan yang sudah senior memberitahukan kepada saya bahwa daripada santai di hotel, peserta lain menginginkan keliling kota Amsterdam dengan naik kereta api. Saya menyambut gembira rencana itu. Karena saat itu sudah mendekati musim panas, maka siang lebih panjang dari malam hari, sehingga masih banyak waktu untuk beraktivitas. Akhirnya kami meninggalkan hotel menuju stasiun terdekat dengan diantar oleh kendaraan gratis dari hotel yang berangkat setiap lima belas menit. Ternyata stasiun kereta api terdekat adalah stasiun Bandara Schipol. Sesampai di sana saya segera membelikan tiket untuk semua rombongan, kemudian kami menuju stasiun bawah tanah untuk naik kereta api ke arah Amsterdam Centraal. Inilah stasiun terakhir yang kami tuju.

Keluar dari Amsterdam Centraal suasana “Belanda” dan “Eropa” segera terasa. Gedung-gedung berwarna coklat dengan arsitektur khas Eropa mendominasi. Maka ke manapun pangan mata kami arahkan, warna coklat dan coklat tua terasa. Tak jauh dari amsterdam centraal, terdapat kanal air yang didalamnya tengah singgah sejumlah perahu. Kami menikmati perjalanan dengan jalan kaki sore itu disudut-sudut kota Amsterdam. Tram, sepada, bis, mobil, manusia, semua campur aduk dan hilir mudik di jalan-jalan Raya Amsterdam.

Sesi paling menarik dari sebuah perjalanan luar negeri adalah belanja oleh-oleh. Itu pula yang terjadi pada kami. Setiap sudut kota yang menawarkan barang-barang menarik, kami kunjungi. Tengah kami asyik berbelanja, tiba-tiba seorang dari kami berkata setengah berteriak. “lho, kok disini ada tulisan korting? Bukannya ini bahasa Indonesia?” saya yakin, teman ini bukan tidak tahu, tetapi lupa, bahwa memang sejumlah kata atau istilah dalam bahasa Belanda. Tentu ini bisa dimaklumi, kartena penjajahan belanda di Indonesia berlangsung selama lebih dari tiga abad. Sehingga warisan bahasa dan budaya Belanda dalam kehidupan masyarakat Indonesia masih bisa dirasakan.


Korting adalah salah satu contoh saja, dari banyak banyak bahasa belanda yang lalu menjadi kosakata bahasa Indonesia. Sebagai contoh, kata “sepeda” yang dikenal dalam bahasa Indonesia, adalah berasal dari bahasa Belanda “zelopeda”. Alat transportasi lain yang cara masyarakat Indonesia menyebut masih sering menggunakan bahasa Belanda adalah kereta api, yang sering disebut dengan kata “sepur”. Sepur berasal dari bahasa Belanda spoorwegen artinya adalah jalur kereta api. Perusahaan kereta api Belanda sekarang bernama Nederlande Spoorwegen. Kereta api itulah yang kami naiki saat kami meninggalkan hotel untuk mengekplorasi kota Amsterdam.

Maka ingatan saya melayang kemasa-masa kecil dulu, ketika orang-orang tua banyak menggunakan atau menyelipkan kata-kata bahasa belanda dalam percakapan sehari-hari. Diantara yang masih saya ingat dengan baik adalah kata “zonder”. Kata ini kurang lebih artinya tanpa, tidak atau tidak pernah. Untuk menaruh menaruh dalam konteks, contohnya adalah begini. Seseorang pergi dari kampung halaman dalam waktu cukup lama. Selama itu dia tidak pernah mengirim kabar sama sekali kepada keluarganya, baik surat atau telepon. Maka terhadap fakta seperti ini, orang-orang tua di kampung halaman saya di pedesaan Lamongan akan mengatakan kurang lebih begini: “kok betah ya, pergi bertahun-tahun zonder kirim kabar ke keluarga”.

Tentu, jika kita mau menelisik lebih jauh, akan lebih banyak lagi kata-kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari Belanda. Kata “kulkas” untuk menyebuit lemari es, juga berasal dari bahasa Belanda “koelkast”. Bandingkan dengan benda yang sama dalam bahasa Malaysia. Untuk lemari es, masyarakat Malaysia menyebutnya dengan “peti sejuk”. Barangkali untuk saat ini, sudah tidak banyak anak-anak muda yang mengetahui kata untuk “terminal” yang digunakan oleh orang-orang tua kita dahulu. Mereka sering mengatakan “stanplat” untuk menyebut terminal, yang itu juga berasal dari bahasa Belanda.

Kunjungan ke Amsterdam memberikan kesadaran kepada saya akan dinamika hubungan bahasa dan kebudayaan yang ditinggalkan oleh Belanda kepada Indonesia. Memang, ketika kita melihat kenyataan ini ada dua sisi yang bisa kita rasakan. Sisi positif dalam bentuk pengaruh Belandadi bidang tata kota, pengaturan pengairan dan arsitektur. Sementara, disisi lai, kita tidak bisa melupakan penjajahan dan pengisapan kekayaan Indonesia oleh belanda sekian lama. Sehingga kekayaan Belanda pada masa penjajahan dulu, sebagian besar pastilah diambil dari Indonesia. Jadi, jika demikian, sepertinya sudah sangat wajar, jika Belanda memberikan korting kepada kita untuk banyak hal di hari ini. Anda setuju?
_____________________

*Pradana Boy ZTF adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Malang, Pengasuh Baitul Hikmah Malang dan Presidium JIMM

Blogger dan Aktivis Literasi

Comments