Perjalanan Menulis (bag. 5)





Buku “apakah bibirmu masih perawan” tengah jadi perbincangan teman sekelas, terutama dilingkaran anak-anak bahasa yang suka membaca. Buku itu pertama kali saya tahu dari Siti Zaenab, yang juga sekretaris Jurmalintar. “Penulisnya akan hadir di Blitar,” jelasnya dengan mata yang berbinar-binar.

Saya kemudian meminjam buku tersebut, –entah dari siapa, saya lupa—ternyata itu bukan novel, bukan pula kumpulan cerpen. Lebih pada buku “pedoman moral”. Penulisnya Marendra Darwis, asal kediri, yang juga mengelola cafe remaja, semacam lembaga yang membuka konsultasi khusus untuk para remaja. Termasuk melayani curhat yang berkaitan dengan masalah remaja, terutama yang berkaitan dengan moral.

Saya dua kali mengikuti seminar beliau. Yang pertama saya tidak ingat pasti. Kalau tidak salah, acara tersebut digelar oleh Iqro’ Club Blitar, yang salah satu pengelolanya adalah Bapak Nur Anful. Saya lebih sering berkomunikasi dengan Pak Anful melalui sms, terutama ketika di Jurmalintar. Termasuk cetak majalah “edisi darurat” ketika saya masih anggota.

Acara kedua, bedah buku Pak Marendra yang lain berjudul “Haru Birunya Cinta”. Selain bedah buku, juga sekaligus seminar seputar masalah remaja. Panelisnya adalah Pak Yopi Yafrin yang melihat dari sudut pandang neurosains. Saya berkesempatan mengajukan pertanyaan dalam acara tersebut.

Pak Marendra Darwis datang dengan mobilnya, bagian belakang kaca mobil tersebut tertempel poster dua bukunya. Menurut saya Pak Marendra ini tidak saja penulis, namun juga seorang pendakwah. Hanya saja konsep tabligh-nya sambil memperkenalkan buku-buku tersebut. Segmentasinya pun untuk anak muda.

Tahun itu, segala bentuk tulisan yang berbau “cinta” memang sedang laris manis, terutama di kalangan remaja. Cerpen-cerpen yang dibuat anggota FLP Blitar, sebagian besar juga tentang cinta. Terkecuali cerpen yang pernah diperlihatkan Mbak Lilik Nuktihana, yang menceritakan masalah keluarga. Cerpen itu kalau tidak salah berjudul “catatan kertas lusuh”.

Kenapa saya masih ingat? Karena tema dalam cerpen tersebut berbeda dari sekian cerpen yang dibedah kala itu, yang bisa dikata, 90% memang masalah percintaan. Mbak Lilik sendiri pernah bercerita betapa susahnya menulis cerpen bertema cinta, maksudnya cinta yang berkaitan dengan interaksi non keluarga, atau pekerjaan.

Di FLP, tema cinta yang paling banyak muncul adalah tentang pernikahan. Apalagi ketika meledaknya novel-novel Kang Abik. Selain AAC dan KCB, novel lain yang juga menjadi perbincangan adalah Dalam Mihrab Cinta (DMC). Bahkan alur cerita DMC begitu berkelok, dan sering kali membuat kita terkejut.

Bacaan lain yang sepertinya serupa dengan karya Kang Abik juga muncul, hanya saja tidak meledak seperti karya Kang Abik. Misalkan novel berjudul Dzikir-dzikir cinta, Syahadat Cinta, dan lainnya yang masih menggunakan kata “cinta”.

Ketika belajar menulis cerpen, saya pun bergitu terhanyut dengan tema cinta. Kalau saya baca ulang lagi sekarang, hampir tidak percaya kalau saya pernah menulis cerpen bertema cinta, dengan begitu syahdu dan tentu berlebihan. Sampai lulus Aliyah, tulisan bertema cinta masih mendominasi alam fikiran. []

Blitar, 10 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini