Blitar – “Emang bisa aktivis pensiun?” Pertanyaan itu muncul ketika Ahmad Fahrizal Aziz, pegiat literasi asal Blitar, mengumumkan rencananya untuk “pensiun” dari aktivitas literasi. Kalimat sederhana itu kemudian menuntun pada perenungan panjang: apakah mungkin seorang aktivis literasi benar-benar berhenti dari dunia yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama puluhan tahun?
Fahrizal, yang telah terlibat di dunia literasi sejak usia 16 tahun, mengakui bahwa istilah “pensiun” ini muncul secara spontan, terinspirasi dari para pejabat yang purna tugas. Namun, ia menyadari bahwa berbeda dengan pejabat yang bisa lepas dari tanggung jawab setelah masa jabatannya berakhir, aktivis literasi justru sulit benar-benar berhenti.
“Setelah pensiun, pejabat bisa lepas sama sekali dari kesibukannya. Apakah aktivis literasi bisa demikian?” tulisnya dalam sebuah refleksi yang diunggah ke media sosial.
Ironisnya, di tengah niat untuk “pensiun”, Fahrizal justru meluncurkan sebuah ruang baru bernama Sahabat Buku Blitar — sebuah wadah sederhana untuk berbagi konten dan percakapan ringan seputar literasi. “Serius gak, sih?” ujarnya setengah bergurau.
Dari Forum Lingkar Pena hingga Sahabat Buku Blitar
Nama Ahmad Fahrizal Aziz sudah lama lekat dengan berbagai kegiatan literasi di Blitar. Sejak 2008, ia aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Blitar, tempat ia belajar mengelola organisasi tanpa imbalan materi. “Aku jadi penjual tiket kesana kemari, nyusun jadwal, nyari dana buat nerbitin buku, semua tak dibayar,” kenangnya.
Selain FLP, Fahrizal juga tercatat aktif di berbagai komunitas seperti Muara Baca, Paguyuban Srengenge, dan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB). Namun, baginya, FLP memiliki makna tersendiri. “FLP sebagai wadah kaderisasi penulis tidak boleh identik dengan satu atau dua orang. Karena itu harus dilepas biar tidak paradoks,” katanya.
Meski demikian, keinginannya untuk “pensiun” bukan berarti menjauh dari dunia literasi. “Sebenarnya bukan ingin pergi, justru karena ingin tetap di bidang ini lebih lama,” ujarnya. Menurutnya, mengelola komunitas literasi memerlukan energi besar, sementara dirinya kini tengah menghadapi masa-masa sulit di pekerjaan dan amanah organisasi lain.
Menghidupi Diri, Menghidupi Komunitas
Bagi Fahrizal, keputusan untuk mundur dari aktivitas komunitas adalah bentuk kesadaran. “Aku harus mempertahankan hidupku sendiri dulu, sebab komunitas menuntut kita untuk menghidupinya,” tulisnya. “Walaupun konteks menghidupinya tidak selalu materi — tapi waktu, tenaga, dan pikiran.”
Selain faktor kelelahan, ada juga rasa jenuh yang perlahan tumbuh. “Sepertinya aku melakukan hal yang sama lagi, dan lagi, setiap tahunnya — ikut rapat, jadi panitia, mengisi materi, menjadi moderator,” ungkapnya.
Namun, alih-alih benar-benar berhenti, Fahrizal memilih bentuk keterlibatan yang lebih fleksibel. Ia kini lebih banyak mengelola media pribadi, membuat video pendek, dan melakukan wawancara santai dengan rekan-rekan literasi sambil ngopi. “Beberapa bulan terakhir aku belajar bikin video pendek, ngelola media sendiri, menganalisis iklan, algoritma, dlsb,” katanya.
Undangan menjadi narasumber masih ia terima, namun dengan batasan tertentu. “Sekarang aku hanya menerima undangan untuk segmen SMA ke atas. Kalau moderator, hampir selalu aku prioritaskan — itu passion-ku,” ungkapnya.
Sahabat Buku Blitar: Ruang Baru, Semangat Lama
Proyek Sahabat Buku Blitar menjadi bentuk “pensiun aktif” bagi Fahrizal. Ia mendefinisikannya bukan sebagai komunitas, melainkan ruang bebas berbagi ide dan obrolan ringan seputar buku dan dunia literasi. “Tidak ada strukturnya, dan tidak ada pretensi apa pun. Hanya ruang untuk hobi,” jelasnya.
Dengan gaya khasnya yang reflektif dan jujur, Fahrizal menegaskan bahwa dunia literasi sudah menjadi bagian dari dirinya. “Dunia literasi adalah separuh dari diriku, dan aku ingin tetap berada di dalamnya meski hanya sebagai penggembira,” ujarnya menutup tulisan reflektifnya.
Barangkali, bagi aktivis sejati, “pensiun” bukan berarti berhenti — melainkan berpindah cara. Dari rapat-rapat dan kepanitiaan yang melelahkan menuju ruang-ruang kecil yang lebih personal, lebih sunyi, namun tetap menyala: obrolan ringan, secangkir kopi, dan sebaris kalimat yang menghidupkan. []

0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini