Ada alasan fundamental kenapa Marxisme begitu menghujam jantung para aktivis pergerakan. Tidak saja bagi mereka “kaum kiri”, bahkan tak sedikit “kaum kanan” yang kemudian mengkaji Marxisme dalam sudut pandang agama, salah satunya, H.O.S Tjokroaminoto.
Jawaban paling menyentuh mungkin ada pada buku karangan Louis O. Kattsoff, yang diterjemahkan oleh Prof. Soejono Soemargono. Bahwa perjuangan Karl Marx dulu tidak saja menaikkan perbaikan nasib kaum buruh, melainkan juga memberikan pandangan hidup, yang menyebabkan mereka layak untuk bekerja, dan bahkan layak mati demi pandangan hidup mereka.
Sebagaimana filsuf, atau ideolog, Marx bisa disebut sangat fenomenal. Tidak saja memberikan pandangan hidup bagi kaum buruh, tapi juga memberikan pandangan yang lebih luas kepada pemimpin negara dikemudian harinya, sampai tercetus sosialisme hingga komunisme.
Itu pula yang menyadarkan Soekarno betapa pentingnya falsafah bangsa atau pandangan kebangsaan untuk sebuah negara yang baru merdeka. Karena pandangan itulah yang menjadi titik gerak dan sikap. Manusia yang tidak memiliki pandangan hidup yang kuat akan dengan mudah terombang ambing oleh isu, atau dengan mudah terbakar propaganda.
Kita pun bergerak berdasar pandangan hidup masing-masing. Pengalaman yang berpadu dengan ilmu serta petuah-petuah bijak. Keberadaan kita disuatu jalur juga merupakan pandangan hidup. Kenapa kita ada disini dan kenapa mereka ada disana. Kenapa kita harus menyakinkan orang bahwa tempat kita disini dan bukan disana.
Itulah yang coba dikais oleh para “penghayat kehidupan”. Tidak hanya para spiritualis, tapi juga mereka yang merasa tak pernah dengan matang merenungi apa yang selama ini mereka jalankan. Saat anak-anak selalu diharapkan untuk lekas dewasa, sementara ketika dewasa kita merindukan dunia anak-anak. Dunia dimana senyum nyaris tak pernah dibuat-buat, dunia yang mana pertikaian hanya berlangsung sepersekian detik. Tak pernah berlangsung lama, layaknya orang dewasa.
Kenapa juga orang lebih memilih “jalan sunyi” ketimbang “jalan ramai” yang penuh puji-puji, penuh penawaran, penuh pilihan kenikmatan. Ketika teman saya yang sudah bekerja dengan gaji dua kali UMR, harus resign demi mengejar ambisi kuliahnya yang tertunda karena keterbatasan dana. Padahal, ia sudah mendapatkan posisi strategis untuk sekedar memuaskan hasrat ekonomi. Lucu dan diluar logika. Katanya, ilmu tak bisa ditawar. Lantas berapa harga ilmu?
Bahkan ketika seseorang menolak tawaran prestisius dengan alasan “tidak berkah”. Apa itu berkah? Kenapa sebegitu pentingnya sampai harus diutamakan? Sementara pergaulan dan trend memaksa kita untuk lekas memiliki banyak benda yang merepresentasikan kebahagiaan hidup.
Di pojok taman, di gang-gang perumahan, beberapa anak muda menggelar tikar dan memajang buku-buku agar dibaca dan dipinjam anak-anak. Mereka tidak memungut biaya apapun atas buku yang dipinjam, bahkan kadang kala buku itu tidak kembali. Mereka menjadi pegiat baca, menyisakan waktunya, yang padahal bisa ia gunakan untuk mengerjakan hal-hal yang lebih bisa menghasilkan uang, ketimbang bergerak menjadi sukarelawan.
Dalam pandangan mereka, anak-anak harus diperkenalkan dengan buku, agar mereka terbiasa membaca. Itu akan menjadi bekal penting untuk hidupnya kelak. Mereka menyasar tempat-tempat dimana kemungkinan anak-anak susah mendapatkan akses bacaan.
Pandangan hidup yang kuat, membuat mereka bisa menjawab kenapa dan untuk apa. Begitu pula dengan para pegiat literasi lain, para penikmat diskusi, pecandu puisi, atau mereka yang memilih bergerak dalam bidang itu. Para pengelola komunitas, media massa, yang memproduksi idealisme atau sekedar persepsi-persepsi tambahan agar bisa dikunyah oleh publik dengan renyah.
Pandangan hidup menciptakan visi yang kuat ; integritas dan totalitas. Kepedulian, kekuatan, sampai kepuasaan tersendiri. Kenapa kita ingin berpolitik sampai pada jabatan tertentu, kenapa kita ingin menjadi pengusaha dengan omzet yang besar, kenapa... kenapa... lainnya.
Selamat tahun baru, selamat bergerak, selamat menempuh suatu bidang dengan penuh penghayatan. Salam srengenge. Wollohu’alam
A Fahrizal Aziz
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini