Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Memaafkan Ahok, Buni, dan Dhani




Penyelesaian secara hukum memang hak bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali. Namun tidak semua konflik, perbedaan, dan kesahalan orang harus diselesaikan lewat jalur hukum. Termasuk soal penistaan, ujaran kebencian, sampai munculnya kata-kata kotor dari seorang publik figur. Ada hati yang terbuka untuk menyelesaikannya.
 
ilustrasi
Kasus pidato Ahok tentang surat Al Maidah 51 tersebut memang hanya secuil dari pidato panjangnya soal program pemberdayaan di Kepulauan Seribu. Namun itu benar-benar mengoyak fikiran Umat Islam di Indonesia. Resistensi terhadap Ahok sebenarnya tidak saja karena cuilan pidato tersebut, namun ada rentetan peristiwa yang berkepanjangan, mulaiw dari penggusuran, reklamasi, sumber waras, dll. Mau tidak mau, rentetan-rentean peristiwa itulah yang turut membakar emosi publik.

Disatu sisi Buni Yani kemudian menyebarkan cuilan video tersebut, yang membuat heboh keadaan. Ia diduga provokator.Petisi agar Buni Yani dipenjarakan pun juga ditandatangani banyak orang. Suasana kian memanas, seolah ada head to head yang sengit. Antara yang pro bahwa itu penistaan, dengan yang kontra. Banyak yang kemudian menjadi sosok-sosok emosional.

Belum lagi, dengan ujaran kebencian atau kata-kata kotor yang dimunculkan Ahmad Dhani, yang diduga menyerang Kepala Pemerintahan. Barisan Pendukung Jokowi pun lantas melaporkannya ke Polisi. Kasus hukum terus bergulir, mewarnai jagad pemberitaan kita. Seolah penjara akan menyelesaikan masalah, atau kita senang melihat orang dihukum.

Buya Syafii Maarif pernah berkata, Ahok bukan orang jahat. Setelah kata-kata itu, muncul banyak hujatan dilayangkan pada beliau. Tapi terminologi jahat itu harus kita cerna betul-betul. Di Negara ini, yang berhak menentukan jahat atau tidak adalah lembaga penegak hukum. Entah itu Kepolisian, Kejaksaan, sampai KPK. Meski banyak dugaan Ahok terlibat dalam skandal korupsi, sampai saat ini belum ada lembaga penegak hukum yang memvonisnya terlibat. Jadi dia belum disebut melakukan kejahatan, karena definisi jahat itu artinya melanggar hukum dan terkena vonis.

Namun Ahok mungkin berdosa, atas nama Agama. Tidak saja Islam, namun juga Agama yang diyakini Ahok. Bahwa berkata-kata kotor dan menyakiti orang lain itu akan mendapatkan dosa, Pengadilannya di Akhirat, Hakimnya adalah Tuhan. Tuhan maha tahu apa yang ditampakkan atau disembunyikan. Sementara Hukum yang ditegakkan manusia, terbatas pada fakta-fakta yang bisa ditunjukkan. Hukum manusia tidak ada yang benar-benar adil.

Begitupun dengan kekhilafan yang mungkin dilakukan Buni Yani. Entah karena apa kemudian ia memotong video tersebut pada bagian yang sangat sensitif, yang akhirnya menyulut emosi banyak orang. Apa karena ia memang tidak suka dengan Ahok, atau bagaimana. Hati manusia susah diterka, sebagaimana pepatah berbunyi : dalamnya lautan bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu. Sampai kemudian muncul Ahmad Dhani dengan orasinya kontroversial, hingga dilaporkan.

Jika iya karena muncul dari rasa benci yang bertumpukan, rasa tidak suka dan sebagainya. Sebaiknya kita luruhkan. Saya sendiri bukan pengagum Ahok. Tidak sama sekali. Bahkan andai saya warga DKI Jakarta, saya akan mendukung Anies Baswedan, karena kekaguman saya sejak dulu, bahkan sejak sebelum nyalon Cagub. Perihal ada ketidak sempurnaan, memang tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Apalagi manusia tempatnya salah dan lupa.

Dalam bidang Musik, saya mengagumi Ahmad Dhani sejak SD. Sejak Dewa atau Dewa19 berganti vokalis dari Ari Lasso ke Once Mekel, saya mengikuti musik-musiknya. Ahmad Dhani adalah maestro dalam hal ini. Hampir semua lagu-lagunya saya suka. Kepakaran Ahmad Dhani dalam bidang musik mungkin tidak sepadan dalam bilang politik, sehingga keluarlah bahasa-bahasa demikian.

Ahok sudah minta maaf. Jika Buni dan Dhani juga mau minta maaf. Maka seharusnya sudah selesai, dan fokus untuk membangun. []

Blitar, 9 November 2016
A Fahrizal Aziz

Comments