“Dulu itu sambil nunggu wisuda iseng-iseng nulis cerpen dan dikirim, eh ternyata ada yang masuk,” ucap Masdhar Zainal, ketika saya datang ke rumahnya untuk mengirimkan surat permohonan menjadi pemateri workshop menulis FLP UIN, di perumahan tidar, Malang. “Cerpen pertama termuat di Surabaya Post,” lanjutnya.
Saya pertama kali bertemu Masdhar di tahun 2009, saat ia menjadi panitia acara writing camp di Villa Hidayatullah, Batu. Kala itu ketua panitianya Mbak Fauziyah Rachmawati, yang juga ketua FLP Ranting UM. Ketua FLP Cabang Malangnya, Pak Fariz Khoirul Anam, dan Ketua FLP Jatim, Bu Sinta Yudisia. Semuanya hadir. Termasuk Jurnalis perempuan terkenal, Bu Sirikit Syah.
Kini Masdhar Zainal sudah menjadi cerpenis produktif yang cerpennya termuat dimana-mana, bahkan pernah masuk kompilasi cerpen terbaik koran kompas. Sebagai cerpenis, namanya begitu diperhitungkan. Tidak menyangka saja jika awalnya, hanya karena mengisi waktu luang menunggu wisuda.
***
Pernah juga saya berbincang dengan Pak Kholid Amrullah, Redaktur Radar Malang. “Waktu Kuliah saya tidak pernah ikut organisasi menulis apapun,” ucapnya. Bahkan setelah lulus, Pak Kholid sempat menjadi guru di sekolah swasta, pernah terfikir untuk menjadi TKI, sampai kemudian mendaftar menjadi wartawan dan belajar menulis secara otodidak. “Sembilan tahun saya menjadi wartawan lapangan,” jelasnya.
Kalau sedang mengisi pelatihan menulis, Pak Kholid lebih menekankan pada praktek, bukan teori. “karena menulis itu proses alamiah, sama halnya dengan kita bernafas.” kata-kata itu nyangkut kuat dalam ingatan saya.
Pun saat mengikuti Diklat Jurnalistik di Aula Kampus II UMM, pematerinya Pak Abdul Halim, wartawan Malang Post. Ketika memulai materi, Pak Abdul Halim sedikit mengomentari sambutan ketua panitia, dst yang sedikit menjelaskan sejarah jurnalistik. “Saya saja malah tidak tahu lo sejarah Jurnalistik itu seperti apa, sampai tadi disebut Julius cesar segala. Saya ya nulis saja,” timpalnya, disambut gelak tawa peserta diklat, saya salah satu di dalamnya.
Hal yang kontras justru terjadi pada diri saya. Berbagai dikat, workshop, dan seminar menulis saya ikuti, sampai sertifikat menumpuk. Beberapa buku trik menulis saya baca. Tapi tidak mahir-mahir juga. Mungkin saya kurang disiplin, karena hampir semua genre saya pelajari.
Suatu malam, saya nongkrong di warung panggung Dinoyo, Malang, bersama Fiqh Vredian. Ia memperlihatkan cerpennya. Fiqh termasuk salah satu pengurus FLP UIN Malang yang saya kagumi karena kemampuan menulisnya diatas yang lain. Tapi bukan cerpen, melainkan artikel ilmiah, termasuk diantaranya tulisan-tulisan berat hasil penelitian. Malam itu saya membaca cerpennya, dan ternyata bagus. “Kamu sering ikut pelatihan menulis cerpen?” tanya saya. Ia hanya mengernyitkan dahi.
Ini memang agak kontras lagi, saya butuh beberapa tahun untuk bisa nulis cerpen, melalui pembelajaran yang intens. Itupun selalu belum puas. Meski Fiqh kemudian lebih memilih jalur sebagai peneliti, dan fokus menghasilkan karya-karya ilmiah, dibandingkan karya sastra semisal cerpen.
Barangkali dalam hidup ini memang muncul orang-orang yang dibekali kecerdasan tertentu. Kecerdasan itu meliputi kemampuan menyerap segala hal dengan baik. Termasuk soal menulis. Ia tidak begitu perlu ikut pelatihan ini itu, cukup membaca karya tulis yang ada, otaknya akan merespon sendiri bentuk struktur tulisan tersebut. Lalu bisa membuat yang serupa.
Namun juga ada yang harus berusaha keras. Membutuhkan lebih banyak panduan dan latihan yang intens. Konsistensi sangat dipertaruhkan untuk orang tipe ini. Seperti halnya dalam bidang-bidang lain. Kadang kita seolah melihat dua orang dengan kecerdasan yang sama, padahal prosesnya sangat berbeda. []
Blitar, 27 November 2016
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini