Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Belajar Filsafat





Filsafat itu bukan ilmu elit. Namanya saja yang terdengar asing. Dalam beberapa khutbah yang saya dengarkan, tidak sedikit khotib/penceramah yang menyatakan filsafat itu haram, bahkan dengan intonasi yang meledak-ledak, seolah belajar filsafat itu memang gawat sekali.

Saya kurang tahu ke-haraman dalam aspek yang mana. Mungkin ketika mengenali filsafat, buku yang dibaca pertama kali adalah karya Jujun Juriasumantri, yang dalam pengantarnya, pernah seorang Jujun bertanya pada Profesornya begini : Jika Tuhan itu maha besar, bisakah Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih besar dariNya?

Pertanyaan itu memang sangat menohok jantung logika kita semua. Bagi yang pondasi spiritualnya lemah, ia akan terombang ambing, bahkan bisa lepas kontrol. Karena pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh siapapun. Karena tidak bisa dijawab, maka akan menjadi pembenaran tersendiri bagi yang bertanya, bahwa keyakinan atas Tuhan yang maha besar itu hanya omong kosong.

Namun bagi saya, apa pentingnya pertanyaan semacam itu, dan apa gunanya kita tahu jawabannya?

Filsafat sendiri mengalami perjalanan yang panjang. Sejak era Thales dkk, filsafat menjadi cara mendalami alam semesta, bersambung ke era Socrates, Plato, dan Aristoteles yang mulai membuat filsafat sebagai disiplin ilmu yang sistematik. Namun era setelah itu, ketika kondisi sosial berantakan, filsafat pernah menjadi “jamu mujarab” untuk meraih kebahagiaan hidup. Salah satu tokoh besarnya adalah Epicurus, yang kemudian dikenal dengan mahzab epicurianisme. Bagaimana filsafat dialihkan untuk berfikir bagaimana orang bisa menemukan kebahagiaan hidup. Disini peran filsafat nyaris serupa dengan agama.

Sampai kemudian muncul agama-agama samawi yang memperkenalkan Tuhan dalam konsep monoteistik (tunggal). Islam adalah agama samawi terakhir yang muncul pada abad ke-6.

Tidak bisa dipungkiri, pada zaman kegemilangan agama-agama, terutama Yahudi dan Kristen, filsafat redup sedemikian rupa. Tokoh-tokoh penting seperti Galileo Galilei, harus mendekam dalam penjara karena berbeda pendapat dengan gereja. Begitupun dengan tokoh-tokoh lain yang berjubel jumlahnya.

Anehnya, ketika peradaban barat redup, di timur tengah peradaban Islam tumbuh, pasca Khulafaurrasyidin, sampai kemudian bersambung dengan Bani Umayyah dan Abbasiyah. Pada era ini pula Umat Islam memiliki tokoh-tokoh gemilang yang karyanya dibaca luas oleh ilmuan eropa, sebut saja Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Ibnu Sina (atau dalam lidah eropa disebutnya Avicenna) bahkan disebut sebagai peletak dasar sains modern, terutama dalam bidang kesehatan. Ibnu Rusyd (atau yang lebih dikenal dengan nama Averrous) lebih ajaib lagi, konon Ibnu Rusyd adalah peletak dasar Renaissance di Eropa. Renaissance eropa itu menjadi moment penting, bahkan hingga saat ini.

Dua Muslim “kelas berat” diatas adalah orang-orang dengan otak canggih yang tidak saja disebut filsuf, tapi juga saintis dan agamawan. Ibnu Kholdun juga, disebut sebagai peletak dasar ilmu sosiologi, meski secara sistematikanya baru dikemukakan oleh August Comte yang kemudian dikenal sebagai bapak sosiologi.

Namun masa Rennaissance itu menjadi trauma tersendiri bagi kekuasaan gereja. Masa Rennaisance adalah masa awal kesadaran bangsa eropa atas kemundurannya, atas dominasi agama (gereja). Pendobrak ideologisnya tentu saja para filsuf. Sampai masuk pada zaman pencerahan, dimana agama nyaris hanya sebagai simbol-simbol religi. Kekuasaan agama kian menipis. Agama terus didobrak habis. Sampai muncul protestanisasi, yang kemudian memunculkan istilah kristen protestan oleh Martin Luther King. Salah satu puncaknya juga mungkin pada era Karl Marx, yang menyebut agama sebagai candu.

Sampai kini, Marx mewarisi kebencian dari kaum beragama, melalui pemikiran sosialismenya, atau secara ideologi yang lebih besar, melalui komunisme. Di Indonesia, kebencian akut terhadap PKI juga muncul sedemikian adanya. Tapi perlu diingat, era pencerahan eropa bukan saja era kritis terhadap agama, tapi juga ilmu pengetahuan.

Kekhawatiran atas apa yang pernah dialami eropa mungkin juga merasuk ke kalangan Umat Islam. Padahal peletak dasar renaissance eropa sendiri adalah tokoh Muslim yang kaliber. Filsafat dikhawatirkan akan menggerus keimanan dan akidah. Akan banyak Umat Islam yang murtad gara-gara belajar filsafat. Benarkah demikian?

***
Bagi saya filsafat itu sederhana. Ketika kita meragukan kebenaran sesuatu, disitulah kita mulai berfilsafat. Jika dari rasa ragu itu kita kemudian tertarik untuk menelisik kebenarannya, maka disitulah kita telah mengamalkan filsafat secara tidak langsung. Yang jadi problemnya, apa yang mustinya harus kita ragukan? Apa iya kita harus selalu meragukan adanya Tuhan?

Sebagai orang yang beragama, kita harus menempatkan agama atau ajaran agama pada ruang yang berbeda. ada ruang intelektual, dimana ruang itu segala hal bisa diragukan, ditelisik kebenarannya. Ada juga ruang spiritual, dimana itu adalah ruang yang tidak bisa kita telisik kebenarannya secara langsung. Ini adalah ruang keyakinan, keimanan.

Perihal Tuhan, adalah hal yang sulit kita bahas. Tapi tidak semua sisi agama adalah hal yang jauh dari sisi intelektual. Perihal hadits saja, itu bisa ditelisik kebenarannya. Para perawi hadits harus meragukan dulu hadits tersebut, sebelum ia benar-benar menemukan sendiri apakah sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad atau tidak, atau ada sanad yang lemah.

Tidak gampang lo, bahkan satu per satu sanadnya harus diteliti. Apakah ia merupakan tokoh yang bisa dipercaya, track recordnya bagus, apakah ada pernah catatan buruknya seperti berbohong, dlsb. Bukankah itu kerja yang sangat ilmiah.

Juga dalam menafsir Al Qur’an, tiap Mufassir punya pendekatan yang berbeda. Baik tafsir via teks (bil matsur) atau via akal (bil ro’yi), mungkin ada pendekatan lain yang bisa dikompilasikan, termasuk pendekatan hermeneutik yang sempat menimbulkan pro dan kontra.

Ketika dalam suatu kondisi yang tidak nyaman, kacau, dan nyaris depresi, lalu kita mencoba beradaptasi dengan  merubah pola pikir kita atas sesuatu, mencoba beradaptasi dengan keadaan untuk meraih rasa bahagia, sesungguhnya kita telah mencoba cara-cara yang pernah dilakukan oleh Epucurianisme.

Ada skala tertentu, tidak saja dalam skala ilmiah yang hanya bisa dijalankan oleh para peneliti, namun ada skala umum dimana pada saatnya kita berfilsafat. Meski tidak tahu istilah-istilahnya. Perihal filsafat yang bisa merusak keimanan, itu karena menempatkan hal-hal spiritual dalam kerangka intelektual yang serba debatable. Ataupun sebaliknya, menempatkan hal-hal yang intelektual, pada hal spiritual. []

Blitar, 30 November 2016
A Fahrizal Aziz

Comments