Pimpinan
Daerah Muhammadiyah Kabupaten Blitar menggelar acara bedah buku “Muhammadiyah
Jawa” karya Ahmad Najib Burhani, Ph.D di Local Education Center (LEC) Garum,
Kab. Blitar Ahad (18/09). Acara itu dihadiri langsung penulisnya, yang juga
putra asli Blitar. Serta diikuti lebih dari 100 peserta dari unsur pimpinan,
warga, dan masyarakat umum.
Menurut Taufik,
salah satu pimpinan yang membuka acara menggantikan Ketua PDM yang sedang
menunaikan ibadah haji, bahwa bedah buku ini penting agar warga Muhammadiyah
tahu apa identitasnya, tahu bagaimana seharusnya berMuhammadiyah dengan benar.
Selama ini, banyak warga Muhammadiyah yang tidak tahu apa identitasnya.
Rencananya,
bedah buku tersebut akan dipanelkan dengan Dr. Pradana Boy
ZTF, namun sayang batal hadir, sehingga dibuatlah sesi bedah buku tunggal.
Kendati demikian, tidak mengurangi kekusyukan peserta untuk mengikuti agenda
bedah buku. Pertama, penulis buku menyampaikan rasa bahagianya bisa bertemu
dengan pengurus dan warga Muhammadiyah di Blitar. Penulis buku, yang saat ini
juga mejabat sebagai wakil ketua Mejelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah
itu adalah putra kelahiran Blitar, tepatnya desa Gandekan Kecamatan Wonodadi
Kab. Blitar.
Selanjutnya,
Doktor dari Leiden University Belanda itu menyampaikan isi dari buku yang
dibedah. Muhammadiyah Jawa menjelaskan garis besar bagaimana Muhammadiyah
memandang budaya jawa kala itu. Menurutnya, sebagai Organisasi yang lahir di
Yogyakarta, Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari budaya Jawa.
“Diawal
berdirinya, Muhammadiyah tidak serta merta anti dengan budaya jawa, termasuk
sekaten. Bahkan Kyai Ahmad Dahlan tidak selalu menggunakan sorban, seringkali
menggunakan simbol-simbol jawa dalam dakwahnya, karena Muhammadiyah lahir di
dalam lingkungan keraton” Jelas Najib.
Najib juga
menjelaskan, bahwa diawal berdirinya, Muhammadiyah tidak begitu konsen terhadap
hal-hal fiqh. Gerakan utama ada tiga, Feeding (Menolong kaum duafa dan anak
yatim), Schooling yaitu dengan mendirikan sekolah, Healing menolong umat melalui
balai pengobatan. Najib juga menjelaskan, bahwa Schooling itu tidak saja
membangun sekolah atau perguruan tinggi, namun juga literasi, termasuk
publikasi dan informasi. Salah satunya melalui Majalah Suara Muhammadiyah yang
merupakan majalah tertua di Indonesia yang masih terbit.
Lebih
lanjut, Peneliti senior LIPI itu juga menjelaskan, bahwa sebagai gerakan,
Muhammadiyah sangatlah dinamis, selain cirinya sebagai Organisasi modernis dan
Purifikatif. Meski lahirnya di Jawa, namun Muhammadiyah mengalami penyebaran
yang merata dengan kultur yang berbeda. Semisal di Padang dan Makassar. Untuk
itu membaca Muhammadiyah Jawa sekaligus merefleksikan ide dasar Kyai Dahlan
agar Muhammadiyah tidak selalu mengikuti tradisi nenek moyang, dan terus
memperbaharui diri sebagai Organisasi yang berkemajuan.
“Termasuk
soal Fiqh jilid telu, dulu banyak yang mengira Muhammadiyah meninggalkan ajaran
awalnya, padahal Muhammadiyah sendiri memiliki ciri yang terus bergerak
kedepan. Dulu memasang foto Kyai Dahlan saja diharamkan, karena takut ada
pengkultusan berlebih di kalangan Muhammadiyah, tapi sekarang menjadi mubah dan
bisa kita temui hampir disetiap kantor Muhammadiyah,” tandas alumnus MTsN Kunir
Blitar tersebut.
Najib juga
menyinggung makna purifikasi, bahwa purifikasi menurut James L. Peacook yang
pernah meneliti tentang Muhammadiyah, sebenarnya tidak saja memurnikan ajaran
Islam dari TBC (Takhayul, Bid’ah, Khurafat), namun secara lebih luas,
menyingkirkan hal-hal yang tidak berguna bagi agama agar Umat Islam memiliki
etos kerja yang tinggi.
“Dulu
Muhammadiyah kritis terhadap budaya jawa, karena banyak aktivitas yang membuat
Umat tidak produktif. Semangat purifikasi dalam arti yang luas itu, bagaimana
menerapkan Islam secara lebih produktif, misalkan bagaimana umat Islam bisa
membangun amal usaha yang bermanfaat bagi sekitarnya,”
Termasuk
soal kenapa Muhammadiyah sering dilekatkan sebagai gerakan Wahabi, karena dalam
konteks ketauhidan, Muhammadiyah memang hampir sama dengan Wahabi, meski dalam
konteks lain sangat berbeda. Misalkan Wahabi tidak memberikan ruang aktualisasi
bagi gerakan perempuan, namun Muhammadiyah justru mendorongnya sehingga
lahirlah Aisyiyah.
“Jadi
Muhammadiyah itu tidak eksklusif, Muhammadiyah menyerap hal-hal positif dari
semua kultur yang ada, sehingga terbentuklah kultur baru yang toleran, terbuka,
dan berkemajuan,” pungkasnya. (red.s)
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini