Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Melawan Rasa Malas Membaca





Judul diatas sebenarnya bukan sebuah tips, tapi itu juga problem yang saya hadapi sendiri. Rasa malas, apalagi untuk membaca habis sebuah buku. Lebih sering hanya membaca part-part tertentu yang sekiranya menarik, padahal setiap bagian dalam buku (kecuali buku bunga rampai), memiliki keterkaitan. Tapi lumayan, karena saya masih punya ‘tradisi’ membaca novel sampai habis, karena kalau membaca novel tidak sampai habis, tidak menemukan rangkaian maknanya.

Malas membaca buku itu bukan saja karena jenuh, tapi karena tidak punya orientasi khusus. Dulu waktu masih Aliyah, setidaknya tiga kali dalam seminggu saya berkunjung ke Perpustakaan Bung Karno untuk membaca-baca, entah majalah, buku, dlsb. Lama-lama saya berfikir, buat apa saya membaca ya? Jawaban standartnya, biar tambah wawasan, karena buku adalah jendela dunia. Lalu kalau sudah tambah wawasan mau ngapain?

Pertanyaan itu muncul karena semakin lama saya menghabiskan banyak waktu di Perpustakaan, semakin saya tercerabut dalam pergaulan sosial. Bahkan dulu itu, kemana-mana bawa buku, pas di kantin baca buku, di bus baca buku, di kereta api baca buku, jam istirahat tempat tujuannya ke perpustakaan, sementara yang lain ke kantin, atau ke kantor OSIS untuk sekedar ngobrolin agenda-agenda sekolah.

Untuk apa saya membaca dan untuk siapa? Pertanyaan itu begitu dalam, sampai saya menjadi kacau. Seolah tak ada manfaatnya, membaca yang selama ini saya anggap sesuatu yang wah dan menarik, menjadi terbalik. Sampai akhirnya saya jarang membaca lagi, dan entah kenapa menjadi malas. Mungkin karena belum menemukan jawaban “untuk apa” tadi. Akhirnya waktu yang biasanya buat membaca, jadi saya gunakan untuk jalan-jalan dengan teman, Chattingandi Warnet atau PS-an. Kadang pula untuk main futsal, meski saya kurang begitu bisa main futsal.

Tapi ada moment tertentu yang secara tak langsung membuat saya menemukan jawaban “untuk apa membaca” itu tadi. Suatu ketika, karena saya ditunjuk menjadi Ketua Ekskul Jurnalistik, saya banyak bertemu dengan orang, ngobrol dengan mereka, dan dari obrolan itu selalu mendapatkan wawasan baru. Kadang saya bertanya, kok bisa mengerti banyak hal seperti itu? jawabannya selalu, karena membaca.

Artinya begini, kesalahan saya dulu adalah terlalu banyak membaca, tapi tidak memiliki cukup ruang untuk menyampaikannya. Jadinya nampak useless(tak berguna). Padahal namanya membaca, tetap saja bermanfaat, minimal untuk diri kita sendiri, untuk memperbaiki persepsi kita atas suatu hal. Dulu saya banyak menelan, tapi tidak banyak memuntahkan. Seperti siklus pencernaan, makanan yang masuk harusnya diolah jadi energi dan kotoran. Energi itu juga akan habis “dibuang” untuk beraktifitas dan perkembangan tubuh, sementara kotoran juga harus dibuang. Tidak boleh terlalu lama mengendap dalam tubuh.

Harusnya ruang-ruang diluar aktivitas membaca, digunakan untuk ngobrol. Di halte, di kereta, di bus, di kelas pas jam kosong, dll. Dalam Interaksi itulah, insight kita muncul, apa yang selama ini kita masukkan ke otak juga akan kita munculkan, persepsi kita diadu dalam sebuah perbincangan. Tapi usahakan jangan gosip. Buat perbincangan itu hidup dengan mengomentari sebuah peristiwa, atau gagasan.

Jadi kita harus bisa membagi ruang. Ada ruang yang mengharuskan kita membaca, ada ruang dimana kita harus berbincang. Jangan sampai ruang yang harusnya kita buat untuk interaksi, justru kita buat untuk membaca. Karena ruang untuk interaksi itu tak kalah pentingnya untuk merawat ingatan atas apa yang kita baca, sekaligus transfer wawasan.

Kelebihannya orang yang banyak membaca, ia selalu punya bahan perbincangan, ia selalu memberikan kita sesuatu yang baru. Anda bayangkan ketika berbincang dengan orang yang suka membaca, dengan yang malas. Yang suka membaca akan memberikan satu wawasan atau persepsi baru, kita jadi dapat tambahan wawasan. Sementara yang malas membaca, biasanya monoton. Maka ada pepatah, membaca itu memang membosankan, tapi orang yang malas membaca jauh lebih membosankan, karena tidak ada hal baru darinya.

Seorang akademisi rajin membaca, selain karena mereka gandrung membaca, juga karena tuntutan akademik. Misal membuat makalah, tugas akhir, penelitian, bikin buku, dll harus disertai dengan tinjauan pustaka, atau sumber teori. Pengajar rajin membaca, karena mereka dituntut untuk menyampaikan sesuatu pada murid-muridnya. Seorang pengajar yang baik adalah yang menyajikan keluasan ilmu.

Nah, lalu untuk apa orang biasa membaca? Tidak untuk dapat banyak duit, tapi untuk mengisi ruang-ruang tak terbatas dalam otak kita, untuk memperbaiki cara pandang, untuk lebih mewarnai sebuah perbincangan, untuk memunculkan insight (kebijaksanaan) dalam hidup. Semoga tulisan ini sedikit mencairkan rasa malas yang terlanjur membeku untuk sekedar membaca. (*)

Blitar, 22 Septermber 2016
A Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments