Oleh A Fahrizal Aziz |
Cara fikir pedagang tidak saja dimiliki oleh pedagang. Tapi juga oleh kita semua, bahkan dalam hal ibadah. Kata Ibnu Arabi, ada tiga tipe manusia dalam beribadah. Pertama, ibadahnya para budak. Ia beribadah agar tidak mendapat siksa dari Tuhan. Kedua, Ibadahnya pedagang, ia ibadah karena ingin meraih pahala, menikmati surga yang menggiurkan. Ketiga, ibadahnya para sufi. Ia ibadah tanpa berfikir siksa dan pahala. Ia menyebah, menghamba pada Tuhan karena Tuhan memang paling layak disembah.
Era sekarang, tipe pertama dan kedua bisa jadi paling banyak. Diluar konteks ibadah, tipe kedua jauh lebih banyak. Dari ketiga tipe itu, sebenarnya tidak ada yang salah. Semua benar berdasarkan kadar masing-masing. Kadar keimanan juga tidak selalu bisa dijelaskan secara verbal. Jika saya ditanya, masuk tipe yang mana, saya juga tidak tahu. Apalagi sampai mengaku tipe ketiga, betapa naifnya saya.
Tapi dalam berdagang, kita memang harus berfikir keuntungan. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa berkembang? Bagaimana bisa meneruskan usaha? Misal kita punya modal lima juta, kita buat dagang pulsa. Tiap nominalnya kita untung 1000 rupiah. Katakanlah kalau rata-rata orang beli pulsa 10.000, maka kita dapat untung 500rb dari modal 5 juta. Itu angka minimal, karena keuntungannya pasti lebih.
Logika pedagang adalah, bagaimana modal itu bisa kembali dan ada kelebihannya. Itulah ukuran suksesnya. Bila modal 5 juta kembalinya 5 juta lagi, maka itu dianggap rugi. Jika kembalinya dibawah 5 juta, maka masuk kategori bangkrut. Logika itu harus digunakan untuk berbisnis. Lalu bagaimana untuk hal lain?
Cerita menarik pernah saya dapatkan dari salah seorang adik kelas. Biasanya memang banyak yang curhat ke saya, baik via WA, BBM, atau sosmed lain. kadang lewat email. Kalau bisa saya respon, saya akan respon. Termasuk adik kelas yang galau karena ingin melanjutkan kuliah, tapi disisi lain punya insting enterpreneur yang kuat.
Ceritanya, dia pernah ikut workshop kewirausahaan. Dalam workshop tersebut narasumber mengkalkulasi biaya kuliah selama empat tahun. Mulai biaya masuk, biaya kost, biaya semester, biaya makan, dan biaya lain-lain. Totalnya puluhan bahkan ratusan juta. Saya sendiri tidak mengira dan tidak pernah berfikir kalau hasilnya akan sedemikian banyak.
Kata si narasumber, sudah habis puluhan bahkan ratusan juta, setelah lulus masih harus mencari kerja, kerja awal gajinya kecil, apalagi kalau jadi guru, masih nunggu waktu untuk jadi PNS, gajinya berapa, kapan kayanya? Lebih baik dana besar itu dijadikan modal usaha. Hanya berbekal wawasan kewirausahaan, dengan modal itu bisa menjadi pengusaha sukses.
Wah, dalam bathin saya ini benar-benar kebablasan. Menyamakan guru dengan pengusaha ini benar-benar “kecelakaan berfikir” yang parah. Iya kuliah mahal, iya biaya semester mahal, tapi tidak semua yang bersifat “materi” itu kembalinya menjadi “materi”. Anda bayangkan orang sakit yang berobat ke rumah sakit, mereka bayar mahal bukan untuk balik modal, tapi untuk balik sehat. Berapa biaya sehat? Bisa anda kalkulasikan? Tidak bisa.
Seseorang bayar mahal untuk ikut kelas meditasi. Apa untuk balik modal? Tidak. Tapi untuk dapat ketenangan hidup, terlepas kita setuju atau tidak. Termasuk kuliah, termasuk menjadi pendidik. Ini soal pengabdian. Para pendidik kuliah dengan biaya mahal, dan setelah menjadi guru gaji mereka kecil. Tapi keahlian mereka bisa mencerdaskan murid-murid, itulah “bayarannya”, tidak melulu soal balik modal.
Seseorang memelihara kucing atau anjing, dengan pembiayaan mahal. Tiap bulan harus dibawa ke salon, ke dokter hewan, harga makanannya pun juga mahal, tapi tidak untuk dijual. Hanya untuk dipelihara.
Si narasumber itu memang tidak salah, dia punya kepentingan untuk bisnisnya, untuk mencetak para pengusaha. Saya menulis ini juga punya kepentingan, kepentingan untuk melihat kehidupan dari sisi yang lebih luas. Memberikan counter persepsi atas pemikiran si narasumber tersebut, yang diyakini adik kelas saya, yang kebetulan curhat. Kalau memang ingin terjun jadi pengusaha, terjun saja secara total, tapi jangan dengan logika semacam itu. itu berarti kita menafikan peran para pengabdi-pengabdi, yang meski hidup dengan finansial pas-pasan, tapi produktif dalam bidangnya. Bidang pelayanan hingga kemanusiaan.
Jadi, tidak semua yang bersifat “materi” kembalinya juga “materi”. Meski kita tidak bisa hidup tanpa materi. Para pengabdi bisa disebut “sufi kehidupan”, tujuan hidupnya bukan untuk balik modal, tapi untuk memberi manfaat. Mereka belajar dapat ilmu, ilmu itu mereka abdikan untuk hidup. Yang seperti itu tidak bisa dikalkulasikan. (*)
Blitar, 24 September 2016
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini