Dibandingkan NU, Muhammadiyah sudah sejak lama memiliki konsepsi tentang corak Islam di Indonesia yang di sebut “Islam Berkemajuan”. Tafsir Islam berkemajuan ini secara implementatif diterapkan baik secara struktural maupun kultural. Untuk menjadi Islam berkemajuan, Muhammadiyah berani melakukan upaya Tadjid. Bahkan dalam hal ibadah, berani melakukan purifikasi, yang akhirnya Muhammadiyah disalah artikan sebagai gerakan Wahabi.
Tafsir lain tentang Islam Berkemajuan lainnya adalah, bahwa Umat Islam harus mampu bersaing dalam beberapa bidang, seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Kala itu, ketika kolonialisme merajalela, penetrasi misionaris juga semakin gencar. Warisan terbesar kolonialisme adalah agama gereja, baik Katolik ataupun protestan. Maka, Muhammadiyah berupaya agar Islam menjadi agama yang kuat yang mampu bersaing dengan agama-agama tersebut.
Dengan tagline “Islam berkemajuan” itu, Muhammadiyah berhasil merubah image masyarakat Islam yang kumuh, miskin, dan terbelakang, menjadi bersih, kaya, dan maju. Banyak Sekolah, Universitas, atau Rumah Sakit Muhammadiyah yang kompetitif, bahkan beberapa mampu mengalahkan Lembaga milik negara yang didanai full dari APBN dan APBD.
Kemajuan lainnya adalah soal mental Umat Islam. Muhammadiyah sudah jauh-jauh hari mempersonifikasikan diri bahwa Muslim itu tidak selalu “Sarungan”. Tapi juga “Berdasi”. Artinya, Muslim itu tidak hanya di Masjid, tapi juga ada yang jadi Politisi, enterpreneur, Intelektual, Insinyur, Dokter dll. Gagasan “Islam Berkemajuan” inilah yang sedikit banyak memberikan corak berfikir masyarakat Muslim di Indonesia.
Maka, sumbangsih Muhammadiyah tidak hanya soal Material berupa lembaga-lembaga pendidikan, rumah sakit, dll. Tapi juga “Revolusi Mental” seorang Muslim. Akhirnya, banyak orang PeDe menjadi Muslim, karena Muslim itu berkemajuan.
NU, terutama dalam Muktamar ke 33 di Jombang ini, akan mengukuhkan “Islam Nusantara”. Saya akan sedikit membidik diksi “Nusantara” yang digunakan.
Pertama, berbeda dengan Muhammadiyah yang menggunakan diksi “Berkemajuan” yang diambil dari kata “Maju”. Maju itu bisa kata sifat, kata kerja atau sekedar kata keterangan. Artinya, bisa berarti Islam itu memuat nilai-nilai ajaran yang menyuruh umatnya untuk maju, atau Islam yang secara kelembagaan diwakili Muhammadiyah ingin selalu bergerak maju. Jadi kata “Berkemajuan” ini menunjukkan kesiapan diri bahwa Muhammadiyah akan menjadi Organisasi yang dinamis.
Sementara NU, memilih diksi “Nusantara” yang itu menjelaskan kata tempat. Nusantara, adalah definisi kuno yang menjelaskan wilayah kepulauan. Wilayah Nusantara sendiri meliputi Thailand, Kamboja, Filipina, dan Taiwan. Bahkan, jika merujuk pada sejarah, Papua yang kini menjadi bagian dari NKRI, dulunya bukan wilayah Nusantara.
Saya sudah membaca penjelasan “Islam Nusantara” dari Prof. Azyumardi Azra dan memang secara substansial itu sangat bagus, namun diksi “Nusantara” ini yang sepertinya akan menjadi perdebatan panjang, karena diksi menjelaskan tempat, betatapun konsepnya global, akan terkesan me-lokalisir suatu corak Islam tertentu yang justru bertentangan dengan sifat Islam sendiri sebagai Agama Rahmatal lil alamin.
Kedua, Orang Arab, Eropa, Amerika dan bagian bumi lainnya, hanya akan menerima “Islam Nusantara” sebaga tafsir lokal, tapi akan sangat sulit bagi mereka untuk menerimanya sebagai “Tafsir global”. Alasannya, bisa karena diksi “Nusantara” tersebut. Sama dengan sebagian dari kita yang menolak “Arabisasi Islam”. Apalagi secara konseptual, “Nusantara” yang dimaksud lebih pada pengukuhan tafsir fiqh empat Mahzab, teologi Asyari-Maturidy, dan Tasawuf Imam Ghazali yang tidak semua Ormas menjadikannya sebagai dasar gerakan, termasuk Muhammadiyah.
Ketiga, berbeda dengan istilah “Islam Berkemajuan” yang mencoba bergerak dinamis berdasar tantangan zaman. “Islam Nusantara” kedepan justru bisa menjadi Doktrin Lokal yang jumud. Kalau misal ada yang berfikir diluar konsep “Islam Nusantara” akan dianggap tidak sejalan dengan Islam Nusantara. Berbeda dengan Islam Berkemajuan yang memberikan ruang bagi siapapun untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru agar dakwah bisa semakin dinamis. Alasannya, agar Islam maju maka harus ada pembaharuan (tajdid).
Tulisan ini tentu bukan bermaksud membandingkan keduanya, namun mempertimbangkan efek jangka panjang yang mungkin terjadi. Apalagi, kini NU tengah mengalami transformasi yang cukup dinamis. jangan sampai “Islam Nusantara” itu justru akan mengunci keberagaman yang ada. Sehingga yang timbul justru keseragaman.
Bisa saja, di akar rumput, ketika ada warga NU yang berjenggot, berjubah, dan secara personifikasi mirip orang arab, disebut bukan Islam Nusantara. Kalau yang berwajah Arab, padahal warga NU, nanti dibilang : Islam Nusantara itu tidak begini.
Kalau begitu bisa repot kan. hehe, (*)
11 Syawal 1436 H
*Ahmad Fahrizal Aziz
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini