Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Jalan Penantian (Ep 1)


"Aku gak bisa berangkat ke Jogja, bapakku sakit."

Dia tak membalas pesanku sejak kemaren. Mungkin dia kecewa, karena rencana kuliah bersama di Jogja sudah kami ikrarkan sejak kelas XI. Pada pengumuman SBMPTN, kami diterima, meski di kampus yang berbeda.

Namun beberapa hari setelah tes ujian, bapakku terjatuh saat beranjak dari kursi kayu tempat biasa ia menghabiskan waktu di sore hari.

Kami pun membawa bapak ke rumah sakit. Bapak terserang stroke, dan harus diopname. Sebagian tubuhnya sulit digerakkan, bahkan bicara pun kesulitan.

"Ibu gak bisa kalau harus ngurus toko sendiri," Keluh Ibu saat tahu kondisi bapak.

Sementara aku anak pertama, lelaki satu-satunya. Dua adikku masih kelas VII SMP dan X SMA. Melihat kondisi bapak yang seperti ini, tentu Ibu akan lebih banyak meluangkan waktu merawat bapak ketimbang mengurus toko.

"Kamu yang urus toko ya, kuliahnya di Blitar saja," Pinta Ibu.

###

Aku menyusul sampai pintu peron stasiun. Kulihat ramai penumpang membawa tas ransel besar. Sembari mencari-cari sosok perempuan yang ingin kutemui, sekadar mengucapkan selamat jalan dan hati-hati selama di Jogja, juga sekaligus mengucapkan maaf karena tidak bisa ikut berangkat hari ini.

"Daffa.. daffa...," Suara perempuan meneriakiku dari kejauhan.

Kualihkan pandangan ke pusat suara. Itu Bu Zuli, Ibu Mey. Akhirnya.

Setengah berlari aku menghampiri mereka. Mey bersama Ibu dan Ayahnya, menanti kereta api Malioboro jurusan Blitar-Yogyakarta datang.

"Kamu bener gak jadi kuliah ke Jogja?"

Bu Zuli langsung memastikan kabar itu, bahwa benar aku memang tidak jadi kuliah di Jogja.

"Engga bulek, saya harus jaga toko, karena bapak sakit," Jawabku.

Ayah Mey dengan penuh empati memegang dan memijati pundakku.

"Mey,, selamat ya kamu udah jadi mahasiswa di Jogja," Ucapku pada Mey.

Namun ia hanya tersenyum kecut.

"Ma... maaf," Lanjutku.

Ayah Mey memberi isyarat ke Bu Zul, dan mereka meninggalkan kami berdua, meski hanya bergeser beberapa meter di kursi sebelah.

Namun Mey hanya mengangguk, pandangannya juga tidak terfokus ke arahku.

"Mey."

Mey memegang pundakku, matanya nampak mengembun.

"Aku gak bisa bilang kalau aku baik-baik saja, karena aku gak pernah bayangin bakal di Jogja tanpa kamu," Ucapnya sedikit terisak.

"Tapi kamu juga harus jaga keluarga kamu. Semangat ya, kamu gak perlu minta maaf," Lanjut Mey sambil berkali-kali menepuk pundakku.

Tak berselang lama, Kereta datang, dan Mey pun berpamitan. Sedih rasanya melihat Mey berjalan sendirian menuju gerbong kereta api.

"Bulek, maafin saya," Ucapku pada Bu Zul,"Saya sudah berjanji buat jaga Mey, tapi ..."

"Ushh.. sudah sudah.. mungkin memang ini jalan Tuhan, kamu tidak perlu merasa bersalah. Keluargamu lebih membutuhkanmu saat ini."

Kereta pun melenggang pergi, menuju ke barat. Hampir 6 jam Mey berada di dalamnya, sampai tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta. Berulang kali aku melihat kereta api melaju, namun kali ini terasa beda.

Ada kesedihan, rasa bersalah, pengorbanan, dan segala rasa yang tertumpah. Terasa berat. Berat sekali.

Bersambung...
Ditulis oleh Ahmad Fahrizal Aziz
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments