Bagi KPU, satu suara saja sangat penting. Meski untuk membuat tingkat golput menjadi nol persen, itu tidak mungkin.
Ketika partisipasi publik dalam pemilu meningkat, mengindikasikan 3 hal :
Pertama, demokrasi kita, dalam hal politik elektoral, dinilai lebih baik.
Kedua, KPU sebagai penyelenggara pemilu dianggap berhasil, sehingga legitimasi dan kepercayaan publik terhadapnya makin kuat.
Ketiga, legitimasi pemenang pemilu pun lebih kuat, karena dipilih oleh sebagian besar DPT. Artinya memang pemimpin yang dikehendaki sebagian besar masyarakatnya.
Itulah petikan diskusi bertema "Seberapa berdampakkah golput?" yang disampaikan oleh Ketua KPU Kota Blitar, Bapak Choirul Umam.
Acara yang difasilitasi oleh Rumah Pintar Pemilu (RPP) Ir. Soekarno tersebut digelar pada Sabtu, 14 Desember 2019 oleh Komunitas Muara Baca dan UKM Sejarah Unisba.
Lebih lanjut, Choirul Umam menjelaskan ada dua jenis golput. Pertama, golput secara ideologis, artinya golput karena memang perbedaan pandangan terkait sistem politik, ideologi negara, dan sejenisnya.
Kedua, golput karena permasalahan teknis. Misalnya tidak terkaver sebagai DPT, meskipun KPU sudah berupaya untuk memperbaharui data pemilih. Bisa juga tidak memilih karena kesibukan, pekerjaan, atau kendala yang tak disangka-sangka.
Selain itu, trend golput (tingginya tingkat tidak memilih) biasanya bisa terbaca ketika pemilihan (Pilkada) dan angka golput menurun ketika pemilu (Pilpres dan Pileg).
Pemilu 2014 tingkat partisipasinya lebih tinggi dibanding pilwali 2015 dan Pilgub 2018.
Kenapa partisipasi pemilu (pilpres dan pileg) lebih tinggi? Choirul Umam menyebutkan karena ketika pemilu, mesin politik caleg juga hidup. Mereka bekepentingan mengajak orang ke bilik suara, sehingga tingkat pertisipasi Pilpres dan Pileg lebih tinggi.
Lalu bagaimana jika golput dikarenakan tidak cocok dengan calon yang ada? Calon yang tersedia tidak sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat?
Menjawab hal ini, Budi Kastowo, Pustakawan yang sekaligus pembina Muara Baca mengajak agar sejak dini masyarakat membuat kriteria pemimpin idaman. Misalnya, seperti apa walikota Blitar idaman masyarakat?
Ini penting agar calon-calon yang nantinya muncul bisa menyesuaikan dengan keinginan masyarakat, dan masyarakat pun bisa mengawal programnya selama memimpin.
Budi Kastowo bahkan merefleksikan dengan sejarah terbentuknya negara Indonesia. Bahwa negara Indonesia ini dibentuk oleh bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan bangsa Indonesia, negara baru lahir sehari setelahnya.
Jadi, jangan sampai golput karena suara kita adalah saham yang kita titipkan pada sebuah negara bernama Indonesia, yang harus kita kawal bersama-sama.
Itulah sekilas catatan diskusi perdana bertajuk "Kajian Pemilu dan Demokrasi". Kajian ini rutin diadakan dua minggu sekali di Rumah Pintar Pemilu (RPP) Ir. Soekarno, Jalan Pemuda Sampono 72, Gedog, Sananwetan, Kota Blitar.
Sampai jumpa pada diskusi berikutnya. Untuk mendapatkan info diskusi, silahkan gabung di WAG (KLIK DI SINI)
Comments
Post a Comment
Tinggalkan jejak komentar di sini