Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Kita Tidak Sempat Mengakrabi Buku



Selasa, 16 Oktober 2018
SRENGENGE.ID | Seri Catatan Literasi

Oleh Ahmad Fahrizal Aziz

Tradisi lisan begitu kuat dan mengakar, sejak zaman dahulu. Orang lebih suka mendengarkan daripada membaca, disebabkan pada beberapa hal, khususnya pendidikan yang belum merata.

Barangkali memang benar, bahwa proses terbentuknya budaya butuh waktu yang lama. Termasuk budaya membaca, dan apalagi menulis. Itu juga keterkaitan dengan ketersediaan bacaan pada setiap zamannya.

Indonesia merdeka tahun 1945. Dalam situasi kemerdekaan itu, tingkat buta huruf masih di atas 90%. Tradisi membaca dan menulis sebelumnya, hanya di kalangan tertentu, kalangan elite dan priyanyi.

Mereka yang bisa mengenyam pendidikan hingga AMS (Setingkat SMA di zaman Belanda) saja yang sepertinya punya tradisi baca dan tulis yang baik, dan itu jumlahnya sangat sedikit.

Kemerdekaan memberikan harapan, dari kalangan apapun, sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan. Maka terbit kebijakan wajib belajar 9 tahun dan 12 tahun.

Kini banyak orang mulai menyadari, bahwa lulus SMA saja tidak cukup. Harus kuliah minimal S1, dan pada saatnya juga muncul kesadaran baru bahwa, lulusan S1 sudah biasa. Perlu S2 atau kalau perlu S3.

Itu baru kesadaran dalam aspek pendidikan formal. Meski muncul kritik, apakah tingkat pendidikan kemudian berkorelasi dengan minat baca atau menulis? Apalagi jika yang ditampakkan hanya gelar akademiknya. Bukan karya atau penelitian dalam bidangnya.

Tumbuhnya organisasi, komunitas, atau gerakan literasi itulah yang sebenarnya lebih menjadi barometer. Tanpa skat pendidikan dan stratifikasi sosial.

Membaca buku misalkan, menjadi hal yang digaungkan dan diperjuangkan, lewat lapak-lapak buku, lewat perpustakaan keliling, lewat obrolan-obrolan di warung kopi.

Setelah tujuh dasawarsa kita merdeka, sayangnya persoalan dasar seperti kebutuhan ekonomi belum juga terpenuhi secara merata, meski sudah mulai muncul kelas menengah, tidak saja dalam hal ekonomi, namun juga intelektual. Jika menurut Gramsci, semua orang apapun latar pendidikannya adalah seorang intelektual.

Kaum terdidik bisa tumbuh dari kalangan manapun. Tidak ada lagi pembatas, jika membaca dan menulis sudah menjadi gaya hidup, yang membedakan paling hanya pangkat, jabatan, gelar akademik. Sementara pengetahuan bisa bersaing, wawasan bisa diadu.

Apakah setelah tujuh dasawarsa merdeka, budaya membaca buku itu sudah mengakar di masyarakat? Jelas belum. Tidak perlu dijelaskan dengan teori manapun, kita tahu bahwa budaya membaca masih lemah. Namun ada harapan. Ada geliat kearah sana.

Sayangnya, belum sampai terbentuk dengan baik, sudah diserbu oleh digitalisasi. Sudah dibombardir oleh gawai, ponsel pintar, internet, dan lain sebagainya.

Belum sempat kita akrab dengan buku, membacanya dengan serius, menjadikannya gaya hidup, kita sudah disuguhkan gaya hidup baru ; ruang maya yang terbuka untuk beropini, berekspresi, namun budaya membaca kita belum kuat.

Orang lebih suka membaca postingan pendek di sosial media atau WAG, dibanding novel ratusan lembar. Orang banyak menghabiskan waktu menonton youtube ketimbang menulis. Orang lebih suka membeli kuota atau langganan wifi per bulannya ketimbang membeli buku.

Tidak ada yang keliru dengan teknologi, kemajuan zaman adalah sunnatullah, karena ilmu yang terus berkembang. Hanya mungkin tidak semua siap menerima kemajuan zaman yang cepat.

Bagi bangsa Indonesia, barangkali ini sangat cepat. Jangan bandingkan dengan Jepang, Jerman, atau USA. Mereka mungkin sudah akrab dengan buku-buku sebelumnya. Hal-hal dasar di negara maju nampaknya sudah tuntas.

Di Jepang misalkan, budaya jalan kaki dan bersepeda juga sudah mengakar. Maka, meski produsen motor dan mobil adalah mereka, namun sebagian besar warganya justru tak menggubris.

Negara berkembang seperti kita jadi korbannya, dengan wawasan yang rendah soal kesehatan fisik dan lingkungan, kita menerimanya sebagau simbol kemajuan zaman.

Mirip dengan produk ponsel sekarang ini, tingkat konsumsi kita sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari negara asal produksinya.

Kita terpaksa harus mengikuti, dengan terus berupaya mengejar ketertinggalan, termasuk pada budaya membaca dan menulis. Pada perasaan asing ketika berada di perpustakaan, atau ketidak akraban kita pada buku-buku. []

Comments