Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Kenapa Kita Malas Membaca?

(Foto: Dok. Okezone)






Menurut data World's Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti! Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Tingkat membaca buku masyarakat kita masih tergolong rendah. Tapi siapa tahu, ada jenis bacaan lain yang diserbu oleh masyarakat Indonesia. Media Online misalkan, atau website-website yang menampung self reporting, opini, atau sekedar notes ringan. Buktinya, banyak website hidup, bahkan kepemilikannya bisa individu, dengan rating dan share yang cukup signifikan.

Artinya, daya baca masyarakat kita mungkin tinggi, tapi jenisnya bukan buku. Banyak yang lebih tertarik membaca artikel-artikel di website yang lebih praktis dan bisa dihabiskan dalam sekali baca. Tapi yang menjadi soal, yang praktis, pendek, bahkan hanya 140 karakter saja, tidak selalu baik. Artinya, yang pendek-pendek itu belum sepenuhnya mampu membahas secara detail kompleksitas dari sebuah ide, gagasan, atau disiplin ilmu tertentu.

Misal, seringkali muncul kritik dari orang-orang yang mudah mengafirkan orang lain (takfirisme) hanya karena menguyah informasi sepotong dari sebuah website. Misal yang dibahas soal fiqh tertentu, belum sampai ia mengklarifikasi dari kitab aslinya yang lebih komplit, atau dari pakar yang serius menggeluti studi tersebut, sudah melakukan justice hanya karena membaca isi yang terlampau subyektif dari penulis/admin yang memposting tulisan tersebut.

Artinya, untuk hal-hal tertentu, media online yang hanya menyediakan ruang 2-3 halaman itu, tidak selalu bisa memberikan penjelasan yang kompleks. Cocoknya hanya untuk berita, atau opini yang membidik satu isu secara spesifik. Untuk kajian-kajian yang terlampau kompleks, buku masih menjadi sarana paling pas untuk menuangkannya. Masalahnya, tidak semua orang kini tertarik membaca buku sampai habis. Tidak saja masyarakat awam, bahkan dilingkungan akademis seperti kampus pun gejala semacam itu bisa terlihat.

Kenapa? Banyak sekali alasannya. Selain karena ketersediaan waktu, juga karena gaya tulisan. Banyak buku-buku hasil penelitian, meski sudah dielaborasi dan diadaptasi menjadi sebuah buku dengan bahasa populer, tetap saja masih banyak istilah ilmiah atau interdisipliner yang susah dipahami. Padahal, buku penelitian itu sangat penting dikonsumsi, karena biasanya memberikan perspektif dan informasi baru.

Berbeda dengan buku-buku sastra, yang sebenarnya tergolong buku populer dengan jumlah pembaca yang cukup signifikan, meski tak bisa dibilang banyak. Karena novel populer seperti Laskar Pelangi, yang merupakan salah satu best selling, jumlah eksemplar yang terjual tidak ada 1% dari total penduduk Indonesia. Apalagi buku-buku lain. Ini sangat Ironi. Misal dari 250 juta penduduk Indonesia, jika 2% saja rakyatnya gandrung membeli buku, maka industri perbukuan di Indonesia bisa berkembang. Apalagi jika sampai 10%.

Bayangkan, sebuah buku bisa terjual 50.000 eksemplar saja merupakan prestasi yang luar biasa. Lalu bagaimana jika sampai terjual 1 juta eksemplar? Atau katakanlah, setiap buku yang terbit, rata-rata terjual diatas 10.000 eksemplar saja, itu merupakan prestasi yang membanggakan. Padahal 1 juta itu adalah jumlah yang terbilang kecil, jika dibanding total keseluruhan penduduk Indonesia. Potensi secara ekonomi sangatlah besar, hanya tinggal membangun kesadaran, serta kultur membaca. Disinilah peran penting kita semua. Keluarga, sekolah, lingkungan hingga komunitas literasi.

Membiasakan Membaca
Tapi kita jangan anti dengan teknologi atau digitalisasi. Memang tidak semua orang tertarik lagi membaca buku, tapi bisa kita maksimalkan melalui internet atau media sosial. Orang malas membaca buku karena memang rata-rata isinya berat. Namun jika buku tersebut dikemas dengan bahasa yang lebih ringan, lebih mengalir, seperti halnya novel-novel, bisa jadi akan laku keras.

Kemalasan membaca, pada hakikatnya karena malas berfikir. Malas menelaah tulisan yang berat-berat, inginnya yang praktis-praktis. Media online menyajikan itu, bahkan kadang kala dengan data dan fakta yang pincang. Disatu sisi, minimnya penyaji tulisan-tulisan yang bermutu, terutama di media sosial atau website.

Buku-buku yang terlampau ilmiah bagi sebagian orang memang membuat dahi berkerut, sehingga malas membaca. Tapi menyederhanakan bahasa juga tidak selalu bisa menjelaskan point dari gagasan tersebut. Maka bisa dimulai dengan membaca yang ringan. Ringan bukan berarti tidak bermutu, ringan bisa dari bahasanya. Misal cerpen atau novel. Kedua jenis bacaan ini tergolong ringan karena naratif. Kata beberapa pakar, bacaan otak kanan. Otak kanan selalu diasosiasikan dengan hal-hal yang menarik.

Tapi step by step, kita juga harus memperbaharui level membaca kita. Termasuk pada gilirannya, mulai membaca bacaan berat, dengan isi dan bahasa yang berat pula. Jangan berharap buku/penulis menyesuaikan dengan taraf intelektual kita, namun kita sendirilah yang musti mengupgrade agar bisa menelaah bacaan-bacaan yang semacam itu, agar otak berkembang. Kita harus mulai membiasakan itu.

Website-website pun juga tidak semuanya dangkal. Ada website yang menyajikan kajian yang mendalam dan komprehenship. Minimal setiap hari, biasakan membaca. Jika bukan buku, bisa online. Tapi paling tidak, dalam sebulan, kita mengkhatamkan satu buku. Rasa malas itu harus dilawan. Karena kalau tidak, kita akan menderita sendiri. Menderita ketika tua nanti, dimana wawasan dan persepsi kita tidak berkembang.

Blitar, 2 September 2016
(*) Ketua Paguyuban Srengenge
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments