Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Epicurus, Filsafat, dan Untuk Apa Hidup?




Oleh A Fahrizal Aziz*



“..Saya menulis ini sambil mendengarkan lagunya Josh Groban “broken vow”, entah ada ketersambungan atau tidak, tapi saya menikmatinya. Menikmati suara dan musiknya. Nyaman di telinga dan jiwa saya..”

Pengakuan diatas adalah sebagian kecil dari menikmati hidup. Musik yang sesuai dengan jiwa kita, akan mudah kita nikmati. Telinga kita nyaman mendengarnya, jiwa ikut bergejolak, kadang ikut bergoyang, atau hanya sekedar bergerak-gerak. Itulah hidup, bagi Epicurus –seorang Filsuf era Helenistik—bahwa tujuan dari hidup adalah menuju kebahagiaan. Meski lagu yang saya dengar diatas mungkin bercerita perihal kepedihan.

Sebagai filsuf era helenistik, Epicurus menekankan bagaimana filsafat mengajarkan tentang etika, dan membuat hidup bisa lepas dari penderitaan. Sekilas tentang Epicurus, ia adalah murid Pamphilus. Pamphilus sendiri adalah salah satu murid Plato, filsuf yang sangat berpengaruh. Epicurus lahir dari keluarga miskin di Samos, yang konon keluarganya berasal dari Athena.

Era helenistik, disebut sebagai era kekacauan, era kekuasaan Makedonia. Di era itu, muncul beberapa aliran, seperti Stoisme, Sinisme hingga Epicurianisme. Ciri khas pemikiran filsuf Helenistik memang berbeda dengan filsuf sebelumnya, baik era Pra Socrates seperti Thales dan Anaximandros dsb yang lebih memikirkan tentang alam, serta era Sokrates, Plato, dan Aristoteles yang mencoba membangun sistem filsafat secara utuh. Filsuf Helenistik banyak yang menyingkir dari arena politik dan berfikir bagaimana filsafat bisa menjadi terapi bagi hidup yang sedang kacau dan genting itu.

Russel bahkan menulis, era itu para filsuf berfikir bagaimana manusia bisa tetap luhur ditengah dunia yang durjana, atau berbahagia di dunia yang syarat derita. Filsafat kemudian diarahkan untuk hal-hal yang bersifat perenungan mendalam, terapi jiwa, dan mengais-ngais kebahagiaan ditengah penderitaan yang mengancam kapanpun.

Epicurus termasuk yang memiliki pandangan tajam soal itu. Soal hidup dan kebahagiaan. Bahkan terkenal dengan tagline, hidup tanpa penderitaan, mati tanpa ketakutan. Penderitaan adalah ketakutan yang akut, termasuk tentang kematian. Kematian diasosiakan dengan rasa sakit, kehilangan, dan kesendirian. Maka, pemikiran-pemikiran Epicurus sangat tajam menyoroti bagaimana manusia bisa mendapatkan kebahagiaan dalam hidup.

Tentu tidak mungkin membahas satu per satu gagasan Epicurus dalam tulisan ini, tapi setidaknya kita bisa mengambil intisari dari pemikirannya. Bahwa untuk apa hidup? Apa yang dimaksud kebahagiaan? Dan bagaimana kita menghindari penderitaan?

Jika ditarik dalam konteks kekinian, hal itu bisa ditemukan, meski dengan intensitas penderitaan yang berbeda. Dimana kita melihat begitu kacaunya negara dalam mengurus sumber energi mereka, kacaunya pengelolaan pendidikan dan kesehatan, serta kesenjangan yang akut antara si kaya dan si miskin. Dimana kemewahan dan penderitaan hanya dibatasi sekat tembok. Dibalik tembok ada orang kaya yang menikmati privat area sambil berjemur disamping kolam renang, sementara dibaliknya ada orang miskin yang hidup dalam rumah bambu, dengan ruang sempit dimana kamar tidur berdekatan dengan dapur dan kakus.

Kesenjangan akut yang memperlihatkan betapa kacaunya hidup ini. Betapa serakahnya manusia, dan betapa tidak berdayanya negara dalam mengatur itu semua. Meski kekacauan itu tidak sebanding dengan yang dulu, diantara kekacauan sekarang ini, kita masih punya celah-celah untuk merasa bangga dan bahagia. Minimal kita masih memiliki harapan atas hidup kita, karir, cita-cita, hingga mimpi.

Kita masih bisa menyerap kenikmatan, tanpa harus mengorbankan etika. Semisal, mendengarkan musik dengan penjiwaan yang mendalam, menikmati secangkir kopi buatan sendiri di sore yang teduh, membuat orang lain tersenyum, entah dengan joke yang kita buat atau dengan bantuan sederhana yang kita berikan. Membuat bangga kedua orang tua, menikmati perhatian tulus dari orang yang kita sayangi.

Filsafat harus mengajarkan tentang itu, bukan semata seperangkat teori yang melangit, atau istilah-istilah ilmiah yang susah dimengerti dan apalagi diterapkan. Bagi Epicurus, filsafat adalah seni berfikir untuk merenungi kehidupan, mengais kebahagiaan, dan sebisa mungkin menghindarkannya dari penderitaan. Karena bahagia tidak segalanya berasal dari fikiran, bukan selalu dari keadaan.

Katanya, Tubuh merasakan kenikmatan ketika aku hidup hanya dengan roti dan air, serta kunistakan pelbagai kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangannya itu sendiri, namun karena ketidaknyamanan yang diakhibatkan (Epicurus dalam Russel, 2002 : 330)

Bahagia itu menciptakan rasa nyaman kita sendiri, meski ditengah ketidaknyamanan. Bagaimana caranya dan prosesnya, itulah yang harus kita renungi dalam kehidupan kita masing-masing. (*)

Blitar, 16 September 2016
(*) Ketua Paguyuban Srengenge
Blogger dan Aktivis Literasi

Comments