Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Pram, Legenda, dan kisah pilunya



Perbincangan tentang Pram memang selalu menarik. Penuh kebanggaan, rasa senang, sekaligus pilu. Termasuk kemarin (21/07/16) ketika nonton 3:60 di Mentro tv.


Ada sesi wawancara dengan Prof. Koh Youghun asal Korea Selatan, yang concern dan respect dengan sastra Indonesia, karena ia juga mengajarkan sastra Indonesia di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS).


Kampus yang berdiri sejak tahun 1954 di Korea Selatan ini punya dua jurusan yang mempelajari bahasa Indonesia, yaitu Department of Malay-Indonesian di College of Oriental Languages dan Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation di College of Interpretation and Translation.


Salah satu sastrawan Indonesia yang menjadi idola Prof. Koh adalah Pramoedya Ananta Toer. Pram memang salah seorang sastrawan yang karyanya paling dibaca di Indonesia, juga didunia, dan menjadi sastrawan Indonesia pertama yang menjadi nominator penerima nobel sastra.


Meski mengaku seorang individualistik, karya-karya Pram memang fenomenal di eranya. Novel yang multiperspektif, mencerahkan, sekaligus menyadarkan. Sudah diterjemahkan ke puluhan bahasa di dunia.


Tapi, kisah hidup Pram terbilang memilukan dibawah rezim orde baru. Ia disiksa, dipenjara, karya-karyanya dilarang dan dibakar. Meski pada ujungnya, Pram ternyata dinyatakan tidak bersalah, dan tidak melanggar hukum apapun, termasuk dengan tuduhan keterlibatannya ketika G30S PKI.


Namun demikian, Pram sudah terlanjur mengalami penderitaan yang pahit. Siksaan yang ia terima, membuat pendengarannya terganggu. Dalam satu video dialognya dengan Sitor Situmorang (Alm), nampak Sitor harus mendekatkan mulutnya ke telinga Pram jika hendak berbicara.


Prof. Koh sendiri sempat beberapa kali bertemu sebelum Pram meninggal tahun 2005. Prof. Koh respect dengan kesederhanaan Pram, meski di dunia figur Pram begitu populis kala itu.

Sekarang ini kita bersyukur karena berada di era demokrasi, era keterbukaan, era digital yang serba aksestable. Karya-karya Pram menjadi energi bagi penulis lainnya untuk terus berkibar, meski sejauh ini belum ada yang melampauinya.

Memang ada Laskar Pelangi yang fenomenal, juga ada Eka Kurniawan, Novelis moncer belakangan ini. Ada banyak karya sastra Indonesia yang bagus dan berbobot, termasuk Pradana Boy ZTF penulis novel Kembara yang karyanya amat dibaca di Singapura dan Malaysia.


Pram dengan kesederhanaannya kini sudah menjadi legenda. Semoga itu bisa menjadi spirit bagi kita semua, yang bisa terus bebas berkarya tanpa bayang-bayang siksaan dan penderitaan.


Blitar, 21/07/16
A Fahrizal Aziz

Comments