Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Muhammadiyah dan kaum Intelektualnya



Ada satu pesan penting yang pernah disampaikan Pak Haedar Nashir kepada anak-anak muda Muhammadiyah, terutama yang tergabung dalam JIMM. Pesan tersebut ialah, jangan hanya bergerak diluar struktur. Kaum Intelektual juga harus berjuang di dalam struktur. Memang tidak semua anak-anak muda tersebut berada dalam struktur, baik Muhammadiyah-nya atau ortomnya, namun rata-rata mereka adalah mantan aktivis IMM, IPM, atau setidak-tidaknya kader kultural.

Kabar baiknya, Koordinator JIMM Nasional, Pradana Boy ZTF, belum lama ini terpilih sebagai Ketua Pemuda Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Setidaknya, selain bergerak di JIMM yang memang tidak memiliki kaitan secara vertikal dengan Organisasi Muhammadiyah, anak-anak muda tersebut memiliki ruang aktualisasi ke dalam struktural.

Namun kehadiran JIMM, dan beberapa LSM yang secara kultural dekat dengan Muhammadiyah seperti Maarif Institute, juga menjadi wadah yang penting untuk mengikat kader-kader Muhammadiyah yang sedang menempuh studi di luar negeri dan belum masuk ke dalam struktur. Sebagian, seperti Pak Andar Nubowo dahulu, bahkan mengelola Cabang Istimewa Muhammadiyah di Perancis. Begitu pun dengan mantan aktivis IMM Universitas Brawijaya yang mendirikan PCIM di Taiwan yang menjadi negara studi mereka.

Kaum Intelektual, yang secara definitif menamakan diri Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah ini, semestinya menjadi salah satu aset penting untuk menyongsong Muhammadiyah abad kedua. Sebagaimana yang ditulis Politisi senior Muhammadiyah Hajriyanto Y. Tohari di Majalah Gatra edisi 39, 30 Juli-5 Agustus 2015 di halaman 106, bahwa Muhammadiyah tentu tidak relevan lagi disamakan dengan Ikhwanul Muslimin atau Wahabi. “Rival” terberat Muhammadiyah dalam ber-fastabiqul khoirot saat ini adalah The Gulen Movement di Turky.

The Gulen Movement (TGM) sendiri saya ketahui pertama kali dari Prof. Amin Abdullah. TGM telah melebarkan “dakwah Pendidikan”-nya hingga ke 180 Negara di dunia. Padahal usia Gerakan ini belum sampai seperempat abad. Muhammadiyah jauh lebih tua. TGM berhasil membuat progres yang sangat baik dalam Internasionalisasi Gerakan. Itulah yang belakangan diperbincangkan JIMM. Hanya saja, yang diperbincangkan lebih pada Internasionalisasi Pemikiran.

NU sudah berancang-ancang, bahkan sedikit “Berpolitik” dengan menjadikan Islam Nusantara sebagai diskursus kontemporer yang harapannya akan menjadi corak khusus Islam di Indonesia. Bahkan dikuatkan oleh statement Presiden Joko Widodo, dan beberapa Pemikir Islam papan atas seperti Prof. Azyumardi Azra. Hanya saja, kita tidak tahu, apakah gagasan tentang Islam Nusantara ini kedepannya akan “di eksport” dalam bentuk karya Ilmiah ke negara-negara lain atau tidak. Tapi tentu saja, dengan dikukuhkannya istilah “Islam Nusantara” ini, pasti akan banyak Sarjana-sarjana Barat dan Timur yang bergairah untuk menelitinya.

Sementara, Upaya untuk melakukan Internasionalisasi Gerakan itu tentu tidak sebatas mengeksport gagasan, melainkan juga membuat gerakan institusional di negara-negara lain. Inilah yang menjadi capaian gemilang TGM. Untuk itu, perlu sosok-sosok yang memang memiliki reputasi Internasional seperti Mahasiswa yang pernah studi diluar negeri. Kader-kader Muhammadiyah yang pernah studi diluar negeri sekarang ini banyak berhimpun di dalam JIMM. Sebagian sudah kembali ke tanah air, sebagian masih proses studi, sebagian bahkan memilih tinggal disana.

Kaum Intelektual ini tentu menjadi Pilar kekuatan yang besar juga bagi Muhammadiyah disamping tiga pilar yang ditulis Pak Hajriyanto, yaitu MPM, MDMC, dan LAZISMU. Dan terpilihnya Pak Haedar Nashir sebagai ketua Umum PP Muhammadiyah, memberikan Optimisme tersebut. Minimal, ada ruang terbuka bagi kader-kader intelektual ini untuk mem-bumikan gagasan-gagasannya melalui Muhammadiyah.

Misal, berkat gagasan dari Alm. Moeslim Abdurrahman dan Alm. Said Talahuley, Muhammadiyah memiliki MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) yang mencoba menajamkan peran dakwahnya ke sektor pertanian dan sektor-sektor lain yang selama ini jarang tersentuh. Gagasan Alm. Moeslim Abdurrahman tentang Islam Transformatif memang sangat terasa sekali dalam Majelis Pemberdayaan Masyarakat ini.

Selain itu, Buya Syafii Maarif dan Prof. Din Syamsudin pun juga ikut menggagas berdirinya LAZISMU yang mencoba menghimpun dana Ummat untuk didistribusikan ke masyarakat kurang mampu atau kaum mustadafin. Inilah dua sumbangsih praksis yang kemudian secara institusional muncul di dalam Muhammadiyah. Belum lagi kehadiran MDMC yang turut serta membantu masyarakat yang terdampak bencana. Bahkan MDMC memimpin aksi kemanusiaan di Nepal atas nama Negara Indonesia.

Kita tentu menantikan “Jurus-jurus” lain dari kaum Intelektual muda tersebut. Salah satu yang menurut saya juga penting, selain gerakan pemikiran tersebut, ialah gerakan budaya dan sastra. Kita berharap kedepan akan muncul generasi baru Buya Hamka atau Taufiq Ismail.

Selain mewarnai dunia pendidikan dengan banyaknya lembaga pendidikan, aksi sosial melalui LAZISMU, MDMC dan MPM, memenuhi rak-rak buku pemikiran, kedepan juga akan muncul banyak sastrawan, cerpenin, dan novelis Muhammadiyah, yang karyanya bisa diakses di toko-toko buku yang ada.

Ide terakhir ini mungkin kurang populer, tapi berdasarkan statistik yang ada, jumlah pembaca novel memang lebih banyak daripada pembaca buku-buku pemikiran, apalagi jurnal. Dan tentu saja, lebih banyak lagi jumlah penonton film, sinetron, dan FTV yang belakangan ide ceritanya banyak diambil dari novel dan cerpen.

Tapi apapun itu, upaya untuk melebarkan sayap dakwah itu sangat perlu. Apalagi, ketika sosok-sosoknya sudah muncul dan berhimpun. Kaum Intelektual akan sangat mempengaruhi arah Muhammadiyah kedepannya. (.)

Blitar, 2 September 2015
A Fahrizal Aziz
@fahrizalaziz22

Comments