Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

Menyikapi pemblokiran “situs Islam”



Berita tentang pemblokiran 22 situs Islam yang akan dilakukan BNPT dan Kemenkominfo mengundang reaksi keras, dengan hastag #kembalikanmediaIslam yang menjadi trending topic di twitter, pemerintah dinilai “anti-islam” dengan melakukan tindakan tersebut. Meskipun masyarakat harus melihat secara lebih detail persoalannya, sebelum membuat kesimpulan, misal diantaranya kesimpulan tentang Anti-Islam tersebut.

Pertama, Jumlah situs/website/media Islam itu banyak sekali. Yang terbesar diantaranya adalah Republika, yang memiliki versi cetak dan online. Selain itu, Ormas Islam juga banyak yang memiliki media, misalkan Muhammadiyah dengan Suara Muhammadiyah atau versi website-nya. NU punya majalah Aula, maupun websitenya Nu.or.id. Belum lagi Media dan situs-situs Islam lain yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Mereka adalah media Islam, namun tidak di blokir.

Sementara yang akan diblokir, jumlahnya hanya 22 yang memiliki kriteria tersendiri, yang di buat oleh BNPT. Jadi, anggapan Anti Islam itu kurang tepat dan harus di koreksi segera. Karena Islam tidak hanya terwakili oleh 22 media itu dan masih banyak media lain yang juga menggunakan label Islam, namun tidak di blokir.

Sementara dari penjelasan BNPT sendiri, situs-situs yang akan diblokir tersebut memiliki muatan-muatan yang mengarah pada aksi Radikalisme, atau Terorisme. Jadi, pemblokiran tersebut harus dilihat bukan dari sisi dia sebagai media Islam, melainkan sisi lain, yang mengarah pada aksi kejahatan dan melanggar hukum. Karena toh, masih banyak media Islam lainnya, yang mengajarkan perdamaian. Maka harus fair juga memandang Islam, jangan selalu Islam dilekatkan dengan radikalisme dan terorisme.

Kedua, langkah yang dilakukan BNPT dan Kemenkominfo dengan memblokir 22 website tersebut mungkin bisa menjadi solusi, tapi juga bisa menjadi masalah baru. Karena di era cyber semacam ini, membuat website itu sangat mudah dan berbiaya murah. Bahkan ada layanan hosting gratis dan hanya membeli domain. Harga domain pun sangat terjangkau. Jika website di blokir, sangat mungkin akan muncul website baru yang serupa, bahkan dengan militansi yang lebih karena mereka merasa dimusuhi pemerintah.

Akhirnya, alih-alih hendak mencegah radikalisme, justru bisa memunculkan gelombang radikalisme yang lebih masif. Apalagi, susahnya melacak siapa pengelola website tersebut, bisa jadi akan muncul gerilyawan cyber yang menebarkan doktrin-doktrin radikalisme dengan lebih intens.

BNPT, seharusnya melakukan langkah preventif bukan dengan jalan memblokir situs-situs yang ada, melainkan penguatan secara sistemik maupun wacana. Saya pernah mengikuti workshop anti terorisme BNPT di Pesantren Al Hilkam sekitar dua tahun silam. Namun workshop tersebut masih sekedar “introduction”. Padahal, saya yakin biaya yang dikeluarkan cukup besar, karena peserta mendapatkan akomodasi penuh mulai dari seminar kit, makan, penginapan (hotel), hingga transportasi.

Daripada digunakan untuk acara workshop yang sekedar introduction tersebut, alangkah baiknya BNPT mulai membangun jaringan ke sekolah-sekolah, terutama yang memiliki ekstrakurikuler Jurnalistik. Kenapa sekolah? karena biasanya para pelajar lah yang paling rentan terpengaruh doktrin-doktrin radikalisme. BNPT bisa memfasilitasi sekolah atau ekskul Jurnalistik untuk membuat website yang mengusung ide-ide perdamaian dan anti terorisme.

Atau jika memungkinkan, BNPT membangun website tandingan, dengan menggandeng aktivis pers atau pegiat kemanusiaan. Tentu, anggaran satu kali acara workshop, bisa digunakan untuk membangun dan mengelola website. Apalagi, membuat website sangat murah, dan bisa dikelola oleh kelompok kecil. Jadi, kampanye perdamaian dan anti terorisme, terutama media online dan media sosial, bisa berjalan masif. Dengan anggaran yang ada, saya yakin BNPT bisa membuat lebih dari 22 website tandingan beserta tim pengelolanya.

Cara-cara represif semisal pemblokiran situs, mungkin saja baik, tapi kurang begitu efektif. Mengingat internet atau media sosial adalah ruang publik. Siapapun bisa menulis sesuatu disana, siapapun bisa memiliki website, blog, atau akun jejering sosial. Apalagi, untuk kasus media online ini, bukan hanya pelanggaran isu dan ideologi, tapi juga melibatkan kemampuan intelektual, mulai dari kemampuan menulis hingga penguasaan teknologi.

Tentu threatment-nya berbeda, tidak sekedar memblokir situs. Perlu upaya yang lebih efektif, yang juga melibatkan intelektualitas, kemampuan menulis, dan juga penguasaan teknologi. (*)

Blitar, 1 April 2015
A Fahrizal Aziz

Comments