Alamat

Jalan Trisula 32 Kademangan, Kabupaten Blitar./ Rumah Gendola Blitar. | Insight Blitar adalah media informasi, bukan produk Jurnalistik.

For you

Artikel Lainnya

Skip to main content

JIMM, dalam Perbincangan Ummat




Kelahiran JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) menjadi perbincangan serius ketika Muktamar Muhammadiyah 2005 di Malang. Sayangnya, moment tersebut bertepatan dengan boomingnya pemikiran liberal yang secara institusi diwakili JIL (Jaringan Islam Liberal). JIL sendiri, sebagian besar diisi oleh anak-anak muda NU, salah satunya Ulil Abshar Abdalla yang sangat kontroversial itu. JIMM, karena juga menggunakan nama Jaringan, dianggap memiliki “jenis” yang sama dengan JIL. Itu berujung pada munculnya resistensi terhadap JIMM, terutama ketika Muktamar di Malang tersebut.

Tahun 2015 ini, Muhammadiyah akan kembali menggelar Muktamar di Makassar. Yang menarik, akankah JIMM menjadi Perbincangan kembali? Tentu saja, tahun 2005 silam, usia JIMM belum genap 3 tahun. Berbeda dengan sekarang, 10 tahun berselang, tentu ada banyak hal yang berbeda ketika membicarakan JIMM. Apalagi, tahun 2014 yang lalu, JIMM kembali menggelar tadarus Pemikiran yang dihadiri langsung oleh ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, beserta beberapa narasumber lain seperti Pak Haedar Nashir, yang sekaligus menginformasikan ke Publik jika JIMM masih eksis.

Forum Tadarus Pemikiran tersebut, menjadi moment penting kepada JIMM untuk mengenalkan, sekaligus mengklarifikasi hal-hal yang mungkin saja disalah pahami oleh Ummat, terutama kader-kader Muhammadiyah. Misalkan, banyak yang menilai jika anak-anak JIMM adalah pembelot di Muhammadiyah, Ingin bergerak atas nama Intelektual Muhammadiyah namun tidak mau berproses di dalam Organasi Muhammadiyah atau Ortom-ortomnya. Ada juga yang menilai jika JIMM adalah gerakan liberal di Muhammadiyah, sama dengan JIL. Ada juga yang mengatakan jika JIMM sudah dibubarkan pada Mukatamar 2005 silam, dan seabrek sangkaan lainnya yang membutuhkan klarifikasi dan dialog lebih intens.

Pradana Boy ZTF, yang sekarang menjadi koordinator JIMM Nasional, dalam beberapa kesempatan mencoba menjelaskan soal itu. Pada Bulan Ramadhan tahun 2014 kemaren, sebelum Tadarus dilangsungkan, saya dan beberapa teman berbincang di rumahnya, di daerah Klandungan Kota Malang. Menurutnya, JIMM bukanlah sebuah organisasi yang berdiri secara administratif atau pun struktural. Jadi kalau ada yang mengatakan JIMM dibubarkan, apanya yang dibubarkan? Selain itu, banyak yang berkecimpung di JIMM juga aktif di Muhammadiyah. Baik di dalam Organisasi maupun amal usaha. Pradana Boy sendiri adalah Dosen UMM, yang juga aktif di Pemuda Muhammadiyah, bahkan baru-baru ini beliau terpilih menjadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur.

Selain itu, penggerak awal JIMM sebelumnya juga rata-rata adalah aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dari berbagai daerah, mulai dari Malang, Solo, Jogjakarta, dan Jakarta. Sangkaan lain yang mengatakan jika JIMM sama dengan JIL, tentu saja harus didialogkan dengan serius. Salah satunya, adalah metodologi gerakan yang digunakan. Apakah metodologi Gerakan JIMM sama dengan JIL?

Lahirnya JIMM, atau gerakan Pemikiran Intelektual Muslim lainnya patut mendapatkan perhatian serius. Apalagi, tak sedikit dari penggerak/eksponen JIMM yang kini bergelar Master dan Doktor, baik dari dalam maupun luar negeri. Meskipun sempat dikritik oleh Deliar Noer karena menggunakan istilah “Intelektual”, namun dengan banyaknya Master dan Doktor di dalamnya, tidak berlebihan juga JIMM menggunakan istilah “Intelektual”.

Sekitar bulan november 2014, saya bertemu lagi dengan Pradana Boy ZTF di rumahnya. Pertemuan itu secara tidak sengaja terjadi karena ajakan Mas Hasnan Bachtiar, salah satu penggerak JIMM juga. Dalam pertemuan singkat tersebut, Pradana Boy menjelaskan konsep gerakan JIMM kedepan. Ia pun mengkombinasikannya dengan membentuk Rumah Inspirasi. Ada banyak agenda di dalamnya, salah satunya kajian sejarah Islam, bahasa arab, kitab kuning dan beberapa agenda lain. Ia sedikit berseloroh jika istilah “liberal” yang disematkan kepada eksponen JIMM tersebut karena soal Mantiq (Bahasa). Misalkan, nama Jaringan diganti dengan Jamaah, maka mungkin saja JIMM tidak akan disebut liberal.

JIMM sendiri tidak bisa dilepaskan dari sosok Alm. Moeslim Abdurrahman, yang bisa disebut sebagai ideolog awal JIMM. Meskipun menurut Pradana Boy, Kang Moeslim –sapaan akrab Moeslim Abdurrahman—sempat mengkritik juga tulisan anak-anak JIMM yang lebih menyorot pada isu Pluralisme dan Liberalisme. Menurutnya, secara khusus itu bukan domain JIMM. Domain JIMM adalah melakukan transformasi sosial, sebagaimana gagasan Islam Transformatif yang digaungkan Kang Moeslim.

Saya pun juga mendapatkan cerita tentang Kang Moeslim, yang ingin menghabiskan masa tua-nya di Yogjakarta. Budi Asya’ari Afwan, salah satu penggerak JIMM Jogja dalam acara tadarus pemikiran pernah bercerita, bahwa Kang Moeslim sudah mendirikan Sumbu Panguripan di Dusun Wintaos, desa girimulyo, kecamatan panggang, Gunung Kidul. Sumbu Panguripan itu adalah upaya untuk menafsirkan gagasan Islam Transformatif tersebut. Disana, Kang Moeslim dan beberapa orang mencoba membangun masyarakat, salah satunya dengan memberikan pembekalan kepada anak-anak dan orang tua agar terlepas dari kemiskinan yang sudah seperti lingkaran setan.

Hal lain yang menjadi cita-cita Kang Moeslim dan belum terealisasi sampai Ia meninggal, adalah mengusung buku-bukunya yang ada di Jakarta ke Bantul, Yogyakarta. Disana ia sudah membeli tanah untuk didirikan perpustakaan, serta mendirikan gedung sebagai wadah untuk melatih kader-kader Intelektual yang nantinya secara praksis akan mempraktekkan ilmunya untuk melakukan transformasi sosial di daerah-daerah terbelakang sebagaimana yang telah ia lakukan dengan Sumbu Panguripan.

Melihat apa yang dilakukan Kang Moeslim dan apa yang kini digerakkan oleh Pradana Boy melalui Rumah Inspirasinya, tentu bisa menjadi bahan perbincangan yang lebih utuh tentang JIMM, dibandingkan tahun 2005 silam, saat JIMM baru saja muncul dan belum menampakkan bentuknya secara lebih jelas. Beberapa sangkaan negatif yang sempat muncul ke permukaan, seiring waktu pun terjawab dengan sendirinya.

Tentu saja, JIMM tidak hanya secara simplikatif, dibaca sebagai gerakan “latah” untuk menyaingi lahirnya JIL. Tidak pula sebagai jembatan menuju kekuasaan, atau pembacaan lain yang berangkali jauh dari substansi kelahirannya. (*)

Blitar, 21 Mei 2015
A Fahrizal Aziz

Comments