Gus Iqdam tentang Fatwa Haram Sound Horeg, Klarifikasi Bijak di Tengah Polemik
Fenomena penggunaan sound horeg dalam berbagai acara masyarakat seperti hajatan, pasar malam, dan arak-arakan, belakangan ini ramai menuai sorotan.
Sorotan itu memuncak ketika sejumlah tokoh dan lembaga keagamaan di Jawa Timur mulai mengeluarkan fatwa haram terhadap penggunaan sound system tersebut.
Hal itu membuat Gus Iqdam pun turut memberikan pendapatnya terkait fatwa yang ramai dibicarakan tersebut.
Dai muda ini memberikan klarifikasi penting bahwa fatwa haram yang ramai dibicarakan bukanlah pelarangan terhadap alatnya, melainkan terhadap perilaku negatif yang sering menyertainya.
Dalam salah satu ceramahnya, Gus Iqdam menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu langsung tersulut emosi terhadap fatwa tersebut.
Ia menekankan bahwa fatwa itu tidak menyasar pada alat sound system-nya, melainkan pada penggunaan yang cenderung merusak moral, menimbulkan kericuhan, atau mengganggu ketertiban umum.
“Jangan buru-buru emosi terhadap fatwa haram, karena fatwa itu tentang aktivitasnya, bukan alatnya,” ujar Gus Iqdam.
Menurutnya, sound hanyalah alat netral. Jika digunakan untuk hal positif seperti pengajian, dakwah, atau kegiatan sosial, maka tidak menjadi masalah.
Namun jika dipakai untuk aktivitas yang menyimpang dari syariat, maka status hukumnya bisa berubah menjadi haram. Dengan nada tenang dan gaya khasnya, Gus Iqdam mengajak masyarakat agar tidak salah paham, apalagi merasa terhakimi secara sepihak.
Ia menyarankan agar kita semua bisa memahami esensi fatwa, yang pada dasarnya adalah upaya menjaga tatanan moral dan sosial masyarakat dari kerusakan.
Fatwa haram mengenai sound horeg sendiri awalnya muncul dari lingkungan pesantren. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk, Kejayan, Pasuruan, menjadi pihak pertama yang menyuarakan keprihatinan terhadap fenomena ini.
Dalam forum Satu Muharram 1447 H yang mereka adakan, para ulama sepakat bahwa penggunaan sound horeg dalam bentuk pesta jalanan, musik berlebihan, hingga hiburan vulgar, telah melampaui batas.
Tokoh utama di balik fatwa ini adalah KH Muhibbul Aman Aly atau yang akrab disapa Gus Muhib. Dalam pandangannya, pelarangan tidak hanya didasarkan pada persoalan kebisingan atau gangguan lingkungan, melainkan juga efek moral dan sosial yang ditimbulkan—seperti tontonan yang tidak pantas, perilaku menyimpang, dan kerusakan akhlak generasi muda.
Fatwa dari Ponpes Besuk ini kemudian didukung oleh lebih dari 50 pesantren di Jawa dan Madura. Bahkan MUI Jawa Timur turut memperkuat fatwa tersebut dengan pernyataan resmi.
Gelombang dukungan semakin meluas ketika MUI Kabupaten Blitar juga ikut mengeluarkan fatwa serupa, menekankan bahwa penggunaan sound horeg dalam bentuk hiburan maksiat atau menyerupai diskotik jalanan dapat dikategorikan sebagai haram.
Meski demikian, baik para ulama pesantren maupun MUI menjelaskan bahwa yang diharamkan adalah konten dan konteks penggunaannya, bukan alatnya itu sendiri.
Hal ini selaras dengan pendapat Gus Iqdam yang menyatakan bahwa sound bisa jadi alat dakwah, jika digunakan dengan niat dan tujuan yang benar.
Polemik ini pun menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik dalam menyampaikan fatwa, agar masyarakat tidak salah persepsi.
Fatwa harus dipahami sebagai bimbingan moral, bukan sebagai bentuk penghakiman.
Di balik nama besar fatwa haram sound horeg ini, KH Muhibbul Aman Aly atau Gus Muhib menjadi figur sentral. Ia adalah ulama karismatik asal Pasuruan yang kini mengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Besuk.
Pendidikan beliau berawal dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, salah satu pesantren terbesar di Jawa Timur. Setelahnya, ia aktif sebagai pengajar di berbagai pesantren besar termasuk Sidogiri, Nurul Jadid, dan Universitas Islam Internasional Dalwa.
Selain itu, Gus Muhib juga dikenal sebagai dosen di Ma’had Aly dan aktif terlibat dalam forum bahtsul masail serta diskusi keagamaan lintas pesantren.
Saat ini, beliau menjabat sebagai Rais Syuriyah PBNU dan menjadi salah satu tokoh yang sering dirujuk dalam pengambilan keputusan keagamaan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Pemikiran beliau dikenal tegas namun tetap rasional. Ia juga menjabat sebagai dewan syariah di Baznas Jawa Timur dan sejumlah lembaga zakat lain.
Konsistensinya dalam menjaga nilai-nilai pesantren serta keberpihakan pada isu moral publik membuat fatwanya mendapat dukungan luas dari kalangan kiai hingga masyarakat umum.
Gus Muhib bukan sekadar pengasuh pondok, melainkan juga pemikir Islam yang selalu resah terhadap fenomena sosial yang bisa merusak akhlak umat.
Sikapnya terhadap sound horeg bukan bentuk kebencian terhadap hiburan, melainkan peringatan dini agar kita tidak kehilangan arah dalam membungkus budaya dengan kemaksiatan.
Di tengah era digital yang serba cepat ini, ketegangan antara tradisi dan gaya hidup modern memang tak bisa dihindari.
Namun dengan pendekatan yang dialogis, pesantren dan ulama mampu memberi arah yang tidak hanya tegas, tetapi juga solutif.
Polemik fatwa haram sound horeg sesungguhnya membuka ruang diskusi yang sehat. Apakah hiburan harus selalu liar dan bising? Apakah kebebasan berekspresi harus mengorbankan nilai dan ketertiban? Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya bisa menjadi refleksi bersama.
Bukan soal siapa yang benar, tetapi bagaimana kita menyeimbangkan nilai agama dengan budaya. []
0 Comments
Tinggalkan jejak komentar di sini