Tradisi Takir Plonthang di Blitar


Di tengah laju modernisasi dan derasnya budaya luar, masyarakat Blitar masih memegang erat nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. 

Salah satunya adalah tradisi takir plonthang, sebuah ritual budaya yang hidup dan lestari, terutama setiap menyambut bulan Suro atau Tahun Baru Islam. 

Tradisi ini adalah lambang spiritual, solidaritas, dan jati diri orang Blitar.

Jejak Sejarah yang Masih Bernyawa

Takir plonthang bukan tradisi baru. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Blitar sejak zaman nenek moyang. 

Dulu, tradisi ini menyatu dalam baritan, yakni doa bersama di tempat-tempat yang dianggap sakral seperti perempatan jalan atau musala desa. 

Fungsi utamanya adalah memanjatkan rasa syukur atas keselamatan dan rezeki sepanjang tahun, sekaligus memohon perlindungan untuk hari-hari ke depan.

Seiring waktu, bentuk pelaksanaannya berkembang. Di desa-desa seperti Sidorejo, Jatimalang, dan beberapa kawasan lainnya di Kabupaten Blitar, takir plonthang kini menjadi pusat perhatian dalam kirab atau arak-arakan seribu takir yang diiringi musik, doa-doa, dan semangat kebersamaan warga. 

Meski zaman berubah, nilai dasarnya tetap: syukur, doa, dan gotong royong.

Secara fisik, takir plonthang adalah wadah dari daun pisang yang dibentuk menyerupai perahu kecil atau kotak segi empat. Namun, setiap elemen dalam takir punya filosofi mendalam.

Bentuk segi empat melambangkan empat macam nafsu dalam ajaran Jawa: aulama, mainah, riya, dan amarah

Ikatan janur di tiap sudutnya dimaknai sebagai harapan agar manusia mendapat cahaya—nur—dari Tuhan, agar mampu menaklukkan nafsu dan menjalani hidup dengan bijak. 

Bahkan kata “janur” berasal dari “ja’a nur”, yang berarti datangnya cahaya, perlambang doa agar masyarakat selalu dalam bimbingan Ilahi.

Daun pisang sebagai bahan utama takir juga bukan kebetulan. Ia melambangkan kesederhanaan dan keikhlasan, dua sikap utama yang menjadi fondasi dalam hidup orang Jawa. 

Makanan yang diisi dalam takir pun sederhana, namun sarat makna: nasi, ayam, telur, mie, kacang, serundeng, hingga kepala atau ceker ayam—melambangkan permohonan perlindungan dari ujung kepala hingga kaki.

Prosesi yang Merekatkan Warga

Pelaksanaan tradisi takir plonthang biasanya digelar secara kolektif. Warga dari berbagai usia dan latar belakang membawa takir buatan sendiri ke lokasi yang telah ditentukan—bisa di simpang jalan, halaman musala, atau lapangan desa. 

Di sana, mereka duduk bersila, membaca doa, dan mengikuti tahlil yang dipimpin tokoh agama atau sesepuh desa.

Setelah doa selesai, takir dibagikan atau ditukar antarwarga. Proses tukar-menukar ini bukan soal makanan semata, tetapi simbol solidaritas sosial. 

Orang tua, anak-anak, tetangga, bahkan orang yang lewat pun bisa ikut menikmati hidangan. Dalam suasana itu, tidak ada sekat status sosial. Yang ada hanya rasa syukur dan kebersamaan.

Di beberapa tempat, acara ini ditutup dengan kirab budaya, seribu takir plonthang dibawa berkeliling kampung bersama tumpeng raksasa. 

Kadang iring-iringan ini juga mengunjungi sumber air atau tempat keramat yang dipercaya sebagai pusat energi spiritual desa. Setelah itu, makanan dinikmati bersama, mempererat hubungan antargenerasi.

Menolak Bala, Menjemput Berkah

Selain sebagai bentuk syukur, takir plonthang juga dipercaya sebagai tolak bala—penangkal musibah. Dalam kepercayaan lokal, bulan Suro dianggap bulan penuh laku spiritual. 

Tradisi ini diyakini dapat menangkal hal buruk dan mendatangkan keselamatan. Tak heran, suasana pelaksanaannya selalu khusyuk namun hangat.

Tradisi ini juga menjadi pengingat akan pentingnya memberi. Setiap orang yang membuat takir akan berbagi, baik dengan tetangga maupun orang yang tidak dikenal. 

Nilai sedekah dan kepedulian sosial tumbuh alami dari tradisi ini, tanpa perlu program formal dari pemerintah atau lembaga manapun.

Menjaga Warisan Leluhur

Di tengah gempuran budaya digital dan perubahan gaya hidup, takir plonthang tetap eksis. Bahkan, banyak sekolah, komunitas budaya, dan tokoh desa di Blitar yang mulai mengangkat kembali tradisi ini dalam bentuk edukatif dan kreatif. 

Tak sedikit juga yang menjadikan takir plonthang sebagai tema lomba atau festival budaya tahunan.

Namun, pelestarian tidak cukup hanya dengan perayaan. Generasi muda perlu memahami makna dan filosofi di balik daun pisang, janur, dan bentuk segi empat itu. Tanpa pemahaman nilai, tradisi hanya akan jadi formalitas tanpa jiwa.

Takir plonthang adalah contoh konkret bagaimana budaya lokal bisa menjadi jembatan spiritual, sosial, dan budaya yang kuat. 

Di Blitar, tradisi ini menjadi bagian dari identitas masyarakat. Ia mengajarkan tentang syukur, berbagi, dan hidup selaras dengan sesama.

Selama takir plonthang terus dihidupkan dan dimaknai, selama itu pula akar budaya Blitar akan tetap kokoh berdiri, meski diterpa zaman yang terus berubah.

Referensi:

  • [1] Radar Tulungagung (2024) – Rayakan 1 Muharram, Ini Makna Takir Plontag Bagi Wong Blitar
  • [2] NU Online – Baritan, Tradisi Masyarakat Blitar Sambut Tahun Baru Hijriyah
  • [3] Jurnal UAD – Tradisi Baritan di Dusun Palulo Kabupaten Blitar
  • [4] Jurnalmataraman – Kirab 1000 Takir dan Tumpeng Raksasa Warga Sidorejo
  • [5] Warta Transparansi – Takir Plontang, Wujud Syukur Warga Blitar

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini