Kemarau Basah, Bagaimana Nasib Petani?

Kondisi alam ketika kemarau basah. Sumber: BMKG

Kemarau Basah, Bagaimana Nasib Petani?

Di tengah harapan akan musim kemarau yang memberi waktu bagi lahan untuk beristirahat dan mengering, para petani di banyak daerah Indonesia justru dikejutkan oleh kondisi alam yang tak biasa. 

Alih-alih langit cerah dan tanah retak karena kekeringan, mereka malah disambut hujan yang turun hampir setiap pekan. 

Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah, dan seperti dua sisi mata uang, dampaknya pada sektor pertanian bisa menjadi berkah sekaligus bencana.

Kemarau basah terjadi ketika musim kemarau masih diwarnai oleh curah hujan yang cukup tinggi, meskipun tidak setinggi musim penghujan. 

Fenomena ini bukan hanya mengacaukan pola tanam, tetapi juga menciptakan ketidakpastian dalam aktivitas pertanian yang selama ini sangat bergantung pada prediksi cuaca.

Sisi Terang, Air yang Tak Pernah Habis

Bagi sebagian petani, terutama yang menggarap tanaman hortikultura seperti bayam, kangkung, dan sawi, kemarau basah adalah anugerah. 

Irigasi alami tetap mengalir, membuat kebutuhan air bagi tanaman terpenuhi tanpa harus mengandalkan pompa atau pengairan buatan yang memakan biaya. 

Mereka bisa menanam lebih dari sekali, bahkan berharap panen ganda jika cuaca terus mendukung.

"Tanaman sayur saya tumbuh lebih cepat karena tidak kekurangan air, bahkan saya tidak perlu menyiram tiap hari," ujar Pak Rudi, petani sayuran di daerah Sleman, DIY. 

"Biasanya musim kemarau bikin repot, tapi tahun ini beda," lanjutnya.

Beberapa petani di dataran tinggi bahkan merasakan bahwa musim seperti ini memperpanjang siklus tanam mereka. Dengan suhu tidak terlalu panas dan ketersediaan air cukup, beberapa varietas padi lokal justru tumbuh lebih baik.

Bayangan Gelap, Saat Air Menjadi Musuh

Namun di sisi lain, bagi petani tanaman musiman seperti tembakau, bawang merah, atau palawija seperti kedelai dan jagung, kemarau basah adalah mimpi buruk. 

Tembakau yang seharusnya dikeringkan justru menjadi lembap dan berjamur. Bawang rentan busuk sebelum dipanen, dan benih jagung atau kedelai sering kali membusuk di dalam tanah karena kelembapan berlebih.

"Kalau terus hujan begini, daun tembakau saya rusak semua. Warnanya pucat, kualitasnya turun drastis," keluh Pak Dul, petani tembakau di Temanggung. 

Ia bahkan terpaksa menunda panen dan harus membuang sebagian tanaman yang terinfeksi jamur.

Tak hanya itu, proses pengeringan hasil panen seperti gabah dan jagung menjadi tantangan besar. Tanah yang becek membuat mesin panen sulit beroperasi, dan hasil panen yang tidak kering sempurna rawan membusuk di gudang.

Ancaman Lain di Balik Hujan

Kemarau basah juga membawa serta ledakan populasi gulma dan hama tanaman. Kondisi lembap menjadi surga bagi jamur, bakteri, dan serangga. 

Biaya tambahan untuk pestisida dan herbisida pun membebani petani, yang sebelumnya berharap musim kemarau akan menjadi masa "tenang" dari serangan organisme pengganggu tanaman.

Di wilayah perbukitan, hujan yang terus turun di tengah musim kemarau juga berisiko memicu longsor. 

Tanah menjadi labil, dan sawah terancam hilang terbawa banjir bandang. Tidak sedikit petani yang mengaku was-was setiap hujan datang, takut jika ladang mereka hanyut atau rusak.

Tak Pasti, Tak Menentu

Yang paling menyulitkan dari kemarau basah adalah ketidakpastian. Pola tanam yang selama ini disesuaikan dengan kalender musim menjadi kacau. 

Petani bingung menentukan kapan waktu terbaik menanam, karena curah hujan tidak mengikuti pola yang biasa.

"Biasanya bulan ini tanah sudah kering, tapi sekarang masih becek. Kami ragu mulai tanam atau menunggu," kata Bu Sari, petani palawija di Bojonegoro.

Ketidakpastian ini bukan hanya mengganggu proses pertanian, tetapi juga berdampak pada keuangan keluarga petani. Mereka harus menunda tanam, menambah biaya pengolahan lahan, dan bersiap menghadapi kemungkinan gagal panen.

Adaptasi adalah Kunci

Pakar klimatologi menyebut kemarau basah sebagai dampak dari perubahan iklim global yang mengganggu pola muson. Fluktuasi suhu laut, seperti fenomena La Niña yang berkepanjangan, ikut memperparah kondisi ini.

Di tengah perubahan ini, para petani diimbau untuk lebih fleksibel dan adaptif. Penggunaan varietas tanaman tahan lembap, penerapan pertanian presisi, dan informasi cuaca berbasis teknologi dapat menjadi solusi. Namun tentu, itu semua butuh pendampingan, modal, dan akses yang tidak semua petani miliki.

Kemarau basah adalah cermin dari bagaimana perubahan iklim tak hanya berdampak di kota, tetapi juga mengguncang fondasi kehidupan petani desa. 

Dalam dunia yang semakin sulit diprediksi, harapan petani kini bukan hanya panen yang melimpah, tetapi juga cuaca yang bisa ditebak. 

Karena di balik hujan yang turun di musim kemarau, ada cerita getir tentang ketahanan pangan dan perjuangan mereka yang menggantungkan hidup pada tanah dan langit. []

📝 Alvira

0 Comments

Tinggalkan jejak komentar di sini